Friday, September 28, 2012

FILM PINGGIRAN MODAL “THANK YOU”


FILM PINGGIRAN MODAL “THANK YOU”
Oleh : Sigit Surahman

Dunia seni merupakan dunia yang sangat tidak terbatas dalam bentuk ekspresi manusia menuangkan semua ide dan konsep pemikirannya. Jika dilihat dari sudut cara berkesenian, maka bisa dibagi menjadi dua macam: seni rupa dan seni suara. Yang pertama dimaknai sebagai kesenian yang bisa dinikmati dengan mata, sedangkan yang kedua kesenian yang bisa dinikmati dengan pendengaran (telinga). Ranah seni rupa pada praktiknya meliputi seni patung, seni relief (termasuk seni ukir), seni lukis, dan seni rias. Seni suara meliputi seni musik vokal, instrumental, dan seni sastra. Lebih khususnya terdiri dari prosa dan puisi. Disamping itu ada pula seni yang meliputi keduanya yaitu seni gerak atau seni tari, karena kesenian ini dapat dinikmati dengan mata dan telinga. Kemudian pada perkembangannya akhirnya muncul suatu bentuk kesenian yang meliputi keseluruhannya, yaitu seni drama, karena kesenian ini mengandung unsur-unsur seni lukis, rias, musik, sastra, dan seni tari, yang semua diintegrasikan menjadi satu kebulatan. Seni drama bisa bersifat tradisional seperti Wayang Wong (wayang orang) atau bisa bersifat modern dengan teknologi seperti film.
Berbicara tentang dunia film, tentunya kita pasti pernah mendengar apa itu film indie/film pinggiran. Kenapa demikian? Karena sampai saat ini film indie/film pinggiran nyaris luput dari perhatian para produser-produser besar yang mau mendanai produksi film indie/film pinggiran, jadi memang terkesan sangat terpinggirkan. Dengan demikian film indie boleh dikata film pinggiran. Durasi dari film indie/film pinggiran sudah pasti tidak akan sama dengan dunia film panjang, film komersial, film televisi, atau film-film yang terpampang di baliho-baliho besar yang tayang di bioskop atau cineplex-cineplex. Film indie atau yang bisa dibahasakan sebagai film pinggiran sudahlah pasti merupakan film yang durasinya bebas, akan tetapi dengan kebebasan durasi yang dimiliki itu, para sineasnya dituntut harus bisa lebih kreatif dan selektif dalam mengangkat tema dan materi yang akan ditampilkan. Dengan munculnya kreatifitas dan selektifitas dari sineas maka, setiap angle, shot, dan elemen-elemen pendukung tampilan film pinggiran itu sendiri akan memiliki makna yang cukup luas untuk bisa ditafsirkan oleh penontonnnya.

Dalam film pinggiran mungkin tidak akan mengenal apa itu super star, tidak pernah memperdulikan kaidah-kaidah baku pada saat produksi film yang terkesan sangat rumit. Para sineas film pinggiran dari berbagai kota di Indonesia telah banyak menunjukkan aktifitas berkaryanya. Bagi mereka semua tidak ada sebuah keharusan untuk terlebih dahulu mendalami teknik-teknik sinematografi, tata artistik, tata cahaya, make-up, atau hal-hal lain sebelum memproduksi sebuah karya film. Hal itu mencerminkan semangat independen dari para sineas-sineas film indie/film pinggiran yang tidak perlu berpatokan pada teori-teori yang memang sudah selazimnya.
Selain dari aspek bagaimana proses produksi, cerita, dan misi yang akan disampaikan, film indie/film pinggiran biasanya tidak ditentukan dengan durasi seperti halnya kebanyakan film komersial yang banyak beredar di saat ini. Bahkan dalam beberapa event festival film indie sering film-film yang dikirimkan hanya berdurasi sekitar antara 10-30 menit tayang saja. Kejadian-kejadian ini akan sangat mungkin terus terjadi, karena film independen yang memang tidak melibatkan produser/pemodal yang kaya. Bagi sineas film indie/film pinggiran, jika mereka memang hanya mempunyai dana untuk membeli kaset mini DV, makan, dan minum selama proses produksi berlangsung, bahkan hingga proses pasca produksi saja, itu sudah merupakan anugerah buat mereka. Hanya menggunakan pemain dengan bayaran “Thank You” artinya hanya dengan bayaran ucapan terima kasih, itu fenomena yang hanya terjadi dalam film indie/film pinggiran dan bukan dalam film-film komersial. Disitulah letak dari keistimewaan film indie/film pinggiran. Alat yang digunakan juga tidak harus menggunakan kamera yang profesional atau kamera VHS, betacam, atau kamera digital. Tidak jarang yang memproduksi film indie hanya dengan kamera handycam kecil saja.
Dewasa ini, film muncul selain sebagai alternatif hiburan, film juga sebagai produk dari alkulturasi budaya dan perkembangan budaya tradisi dan budaya modern. Kebudayaan sebagai bukti peradaban manusia mengalami perkembangan dan perubahan. Penetrasi kebudayaan antardaerah, antarnegara, atau antarbenua sekalipun bisa terjadi melalui berbagai macam cara, baik damai maupun kekerasan, determinasi ideologi, politik, maupun ekonomi menjadi suatu media perubahan kultural tersebut yang semua bisa dimunculkan melalui cerita film. Dengan cara damai, kebudayaan masuk dan mempengaruhi kebudayaan lain melalui media cetak maupun elektronik. Kalau kita coba melacak perkembangan budaya massa saat ini, kita akan dihadapkan pada sekian banyak istilah yang saling berkaitan: budaya tradisi, budaya pop, budaya modern, budaya konsumen, budaya komersil, industri budaya, budaya post modern, dan seterusnya. Objeknya bisa berupa karya sastra, teater, lukis, lagu/musik, film, dan lainnya.
Film adalah salah satu media audio visual yang saat ini bisa dibilang paling ampuh untuk digunakan dalam penetrasi budaya. Film pada dasarnya merupakan suatu produk yang dihasilkan oleh seorang sineas melalui proses yang melibatkan kemampuan imajinasi, pengembangan daya cipta berkreasi, kepekaan rasa dan karsa yang dimiliki oleh sineasnya. Semua film yang banyak beredar tentunya merupakan karya yang mengandung pesan-pesan untuk disampaikan kepada khalayak umum. Pesan-pesan atau nilai-nilai yang ada pada film inilah yang mampu akan mensosialisasi, mencipta, merepresentasi, dan merefleksi suatu nilai budaya di negeri ini. Pada dasarnya suatu pesan yang ada dalam film bertujuan untuk pembinaan maupun pengembangan nilai sosial-kultural, mencerdaskan suatu bangsa, maupun peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Secara historis bisa kita lihat ada beberapa karya film indie/film pinggiran yang kiprahnya mampu menembus hingga tingkat internasional. Beberapa diantaranya: Film Revolusi Hijau Revolusi Harapan karya sineas Nanang Istiabudhi berhasil mendapatkan Gold Medal untuk kategori Amateur dalam The 39th Born Sexteen International Competition of Non-Comercial Featur and Video di Republik Cekoslovakia (1998). Film Novi karya sineas Asep Kusdinar masuk nominasi dalam Festival Film Henry Langlois, Perancis (1998). Dalam Singapore Internasional Film Festival (1999), sekitar lima film pendek Indonesia ikut serta bersaing, yaitu Revolusi Harapan kreasi Nanang Istiabudhi, Bawa Aku Pulang buah karya Lono Abdul Hamid, film Novi karya Asep Kusdinar, Sebuah Lagu karya Eric Gunawan, dan Jakarta 468 karya Ari Ibnuhajar.
Dari sini kita dapat melihat bahwa film indie yang masih dianggap film pinggiran merupakan suatu media praktis yang dapat membangun jati diri bangsa. Walaupun demikian kita harus sadar di tengah keterbatasan itu semua, semangat independen dari para sineas film indie harus tetap menjadi dan mendapatkan perhatian. Dalam posisi yang serba terbatas akan modal, para sineas senantiasa dapat memunculkan ide-ide gilany untuk tetap berkarya. Salah satu cara yang efektif yaitu modal “Thank You” atau dengan kata lain memanfaatkan jaringan modal sosial, seperti jaringan sosial para pemerhati, praktisi, dan penikmat film indie.
Saat ini berbagai komunitas film indie/film pinggiran semakin banyak bermunculan di Indonesia. Kemunculan komunitas-komunitas film indie/film pinggiran ini memiliki peran yang cukup besar dalam hal pelestarian budaya maupun perluasan jaringan film indie/film pinggiran itu sendiri. Maka untuk itu diperlukan adanya upaya dari berbagai pihak untuk senantiasa mendorong kemajuan perkembangan film indie/film pinggiran di daerah-daerah bukan hanya di kota besar saja, salah satunya bisa melalui pembinaan dan memberikan ruang terbuka pada komunitas-komunitas yang sudah ada dan ingin mulai menapakkan jejak kakinya di dunia film indie/film pinggiran.


Saturday, September 1, 2012

DOKUMENTER dan JURNALISTIK TV


DOKUMENTER BAGIAN DARI JURNALISTIK TELEVISI
Oleh : Sigit Surahman

Pada prinsipnya, penyelenggaraan siaran di stasiun televisi terbagi menjadi dua ketegori, yakni karya artistik dan karya jurnalistik. Siaran karya artistik merupakan produksi acara televisi yang menekankan pada aspek artistik dan estetik, sehingga unsur keindahan menjadi unggulan dan daya tarik acara ini. Sedangkan karya jurnalistik merupakan produksi acara televisi yang mengutamakan kecepatan penyampaian informasi, mengedepankan realitas atau peristiwa yang terjadi.
Dokumenter merupakan salah satu bagian dari karya jurnalistik. Program dokumenter adalah sebuah program yang berkaitan langsung dengan suatu fakta yang berusaha untuk menyampaikan kenyataan dan bukan sebuah kenyataan yang direkayasa. Program atau film-film seperti ini peduli terhadap perilaku masyarakat, suatu tempat atau suatu aktivitas.
Dilihat dari gaya dan bentuknya sebuah film dokumenter memang terlihat memiliki kebebasan yang lebih luas dari pembuatnya/sutradaranya dalam bereksperimen. Akan tetapi kebebasan tersebut tetaplah dalam batasan-batasan kewajaran pada isi cerita yang tetap berangkat dari sebuah cerita/kisah nyata. Seiring perkembangan teknologi saat ini, terutama teknologi audio-visual yang salah satunya adalah kehadiran media televisi. Para sineas dokumenterpun dituntut untuk lebih bisa kreatif lagi dalam mengemas karya-karya dokumenternya, baik dalam bentuk maupun gaya dari kemasan film dokumenter itu sendiri.
Film dokumenter merupakan bagian dari sebuah jurnalistik, karena mengandung nilai berita dan pesan-pesan tertentu didalamnya. Kehadiran media televisi mau tidak mau memaksakan sineas dokumenter untuk mengemas dokumenter agar bisa ditayangkan di media televisi dimana selama ini dokumenter lebih cenderung hanya untuk ditayangkan di layar lebar saja. Produksi program televisi yang sifat dasarnya dalah bertujuan untuk komersial seperti halnya barang dagangan, maka para sineas dokumenterpun mengemas atau membagi dokumenter menjadi 2 (dua) bentuk yang berbeda yaitu : film dokumenter untuk ditayangkan di layar lebar dan dokumenter televisi untuk ditayangkan di media televisi. Apa yang membedakan keduanya? Film dokumenter pada umumnya berdurasi lebih panjang, cenderung menggunakan semua tipe shot, dan biasanya ditayangkan di bioskop atau festival-festival. Sedangkan dokumenter televisi berdurasi lebih pendek, mengikuti selera pasar, dan leih banyak menggunakan shot close up dan medium saja karena media tayang yang kecil yaitu media televisi.
Program dokumenter dapat dipandang sebagai suatu bentuk laporan hasil investigasi atas suatu kejadian atau peristiwa, baik berkaitan dengan bidang sejarah maupun kebudayaan. Perkembangan film dokumenter dalam hal bentuk dan pendekatan tentu berkaitan dengan perkembangan media audio-visual dan industri film saat ini. Kemajuan teknologi elektronik dan informasi memudahkan peneliti, sineas atau siapa saja orang yang berminat, untuk mendokumentasikan berbagai hal yang dilihat, dialami, dan ingin diketahui lebih jauh dalam bentuk audio-visual. Hal inilah yang membuat karya dokumenter bisa masuk mulai dari layar televisi hingga layar lebar ataupun bioskop. Sebuah program dokumenter  telah menjadi salah satu unsur penting dalam performa penyiaran televisi.
Pemirsa televisi dapat menerima ketika menonton tayangan dokumenter sebagai kenyataan baru yang kompleks, bahkan bercampur dengan kenyataan sejarah dan sedikit adanya pengembangan kreatifitas yang dikonstruksi oleh sutradara. Dokumenter televisi memberikan warna baru sebagai hiburan televisi yang selama ini banyak menayangkan film-film ceria fiksi. Dokumenter merupakan film nonfiksi yang berangkat  dari sebuah kisah nyata. Sedangkan film cerita merupakan film fiksi, dimana sineasnya bebas menuliskan cerita dramatik atau naratif sesuai dengan apa yang diinginkan. Jika dilogikakan program dokumenter sebenarnya juga memiliki unsur naratif  dan dramatik karena sifatnya yang memang menuturkan sebuah kisah atau cerita nyata.
Pada prinsipnya program dokumenter dalam tayangan televisi adalah merupakan bentuk-bentuk pengembangan dari format program jurnalistik yang selama ini telah banyak dikenal dan terdiri dari beberapa kategori, yaitu feature, megazine, berita aktual/reportase, dokumenter televisi, dan dokumenter seri televisi. 

Feature
Feature termasuk dari jenis reportase yang dikemas secara lebih mendalam, luas, dan disertai dengan sedikit sntuhan human interest agar memiliki nilai dramatika. Feature biasanya menyuguhkan topik-topik tertentu yang dilengkapi dengan wawancara, komentar, dan narasi. Feature tidah hanya ada didalam siaran televisi saja, akan tetapi dalam siaran radio dan media cetakpun mengenal dan menggunakan jenis berita yang seperti ini.

Megazine
Megazine ini merupakan paket berita yang ada pada siaran radio maupun televisi, yang menyuguhkan satu hingga tiga topik. Pada awalnya megazine ini biasa disebut sebagai majalah udara di radio, yang merupakan gabungan dari uraian-uraian fakta dan opini yang dirangkai dalam suatu bentuk mata acara.

Dokumenter Televisi
Dokumenter televisi menghadirkan tema dan topik tertentu yang disajikan dengan gaya bercerita menggunakan narasi dan ilustrasi musik yang bermaksud untuk menunjang gambar visualnya. Dokumenter televisi memiliki nuansa dan orientasi yang luas, mulai dari sebab akibat sebuah proses kejadian yang diketengahkan sebagai isinya. Dokumenter televisi juga ditentukan durasinya, yang pada umumnya adalah 24 menit, 48 menit atau 54 menit, akan tetapi untuk di Indonesia kebanyakan mengeas dalam durasi 24 menit untuk durasi tayang 30 menit dimana 24 menit program dokumenter itu sendiri dan 6 menit untuk tayangan iklan.

Dokumenter Seri Televisi
Pada umumnya tema dari dokumenter seri ini adalah mengenai sejarah, ilmu pengetahuan, potret, yang terkadang dikemas menggunakan gaya tutur perbandingan atau kontradiksi. Format dokumenter ini merupakan sajian dokumenter yang berdurasi panjang, dibagi menjadi beberapa subtema atau episode/seri.

perjalanan