Friday, September 23, 2016

Tuesday, December 23, 2014

Reprsentation Metropolitan Women in Film 7 Hearts 7 Love 7 Women - Semiotics Analysis Roland Barthes

ABSTRAK

Sigit Surahman/201221310007 / Manajamen Ilmu Komunikasi / Magister Ilmu Komunikasi
x + 138 Halaman + Lampiran
Judul : Reprsentasi Perempuan Metropolitan dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7
 Wanita – Analisis Semiotika Roland Barthes
Kata Kunci : Representasi, Perempuan Metropolitan, Semiotika Roland
Barthes
Latar Belakang : Film menyajikan konstruksi realitas social masyarakat. Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita ini menghadirkan representasi perempuan dalam konteks ke-Indonesia-an melalui tanda-tanda, konsep, pemikiran, dan bahasa tertentu. Representasi yang dimaksud tersebut dapat berupa penggambaran kekerasan fisik maupun psikis, subordinasi, beban kerja, kekuasaan, ataupun hak-hak reproduksi perempuan.
            Tujuan : Menginterpretasikan representasi perempuan metropolitan  dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Mendeskripsikan bentuk-bentuk pemaknaan representasi perempuan metropolitan yang dibangun dalam film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita.
Metode Penelitian : Model analisis semiotika yang digunakan peneliti untuk menganalisis film dalam penelitian ini adalah model analisis semiotika Roland Barthes. Dengan menggunakan pendekatan paradigma konstruktivisme, metode penelitian penelitian ini mendiskripsikan representasi tentang perempuan metropolitan yang merupakan hasil konstruksi realitas.
Hasil Penelitian : Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita ini setidaknya ada tiga poin temuan penelitian: 1. Aspek domestifikasi perempuan dan politik gender, yang mendorong untuk menempatkan perempuan dalam posisi tradisional sebagai ibu rumah tangga. 2. Aspek segresi, yakni menempatkan perempuan pada posisi yang lemah dalam hubungannya dengan laki-laki. 3. Perempuan banyak mengalami kenyataan yang menempatkannya pada posisi subordinat.
Kesimpulan : Representasi perempuan metropolitan digambarkan sebagai objek eksploitasi dan segala yang ditampilkan dalam film ini perempuan menjadi objek representasi perempuan yang buruk.
Saran : 1. Film sebagai media massa yang efektif dalam mempengaruhi pola pikir masyarakat merupakan pemegang kendali transformasi sosial yang cukup powerful dengan kekuatan audio dan visual , untuk itu penggambaran dalam film hendaknya lebih jelas dan mendetail; 2. disarankan menggunakan pendekatan metode penelitian kritis, agar hasil penelitian lebih mendalam untuk bisa membongkar ideologi di balik film ini.
Acuan : Buku; 46, Jurnal dan Karya Ilmiah; 14, Sumber lain; 5 (1987 – 2013)


Tuesday, December 16, 2014

PARADIGMA KRITIS



Ilmu komunikasi dapat dikategorikan dalam ilmu pengetahuan yang mempunyai aktivitas penelitian yang bersifat multi paradigma. Ini berarti, ilmu komunikasi merupakan bidang ilmu yang menampilkan sejumlah paradigma atau perspektif dasar pada waktu bersamaan (Hidayat, 1999:431-446). Istilah paradigma sendiri dapat didefinisikan sebagai: 

a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first principles…a world view that defines, for its holder, the nature of the ‘world’…(Guba, dalam Denzin & Lincoln, 1994:107).

Paradigma merupakan orientasi dasar untuk teori dan riset. Pada umumnya suatu paradigma keilmuan merupakan sistem keseluruhan dari berfikir. Paradigma terdiri dari asumsi dasar, teknik riset yang digunakan, dan contoh seperti apa seharusnya teknik riset yang baik. Ilmu sosial kritis sering dikaitkan dengan teori konflik, analisis feminis, dan psikoterapi radikal serta dikaitkan dengan teori kritis yang pertama kali dikembangkan oleh Frankfurt School di Jerman pada tahun 1930an. Ilmu sosial kritis mendefinisikan ilmu sosial sebagai proses kritis penyelidikan yang melampaui ilusi permukaanuntuk mengungkap struktur nyata di dunia material dalam rangka membantu orang mengubah kyang lebih baik dari kondisi dan membangun dunia bagi diri mereka sendiri  (Neuman, 2013:123-124).
Paradigma kritis pada dasarnya adalah paradigma ilmu pengetahuan yang meletakkan epistemologi kritik Marxisme dalam seluruh metodologi penelitiannya. Fakta menyatakan bahwa paradigma kritis yang diinspirasikan dari teori kritis tidak bisa melepaskan diri dari warisan Marxisme dalam seluruh filosofi pengetahuannya. Teori kritis pada satu pihak merupakan salah satu aliran ilmu sosial yang berbasis pada ide-ide Karl Marx dan Engels (Denzin, 2000: 279-280).
Asumsi dasar dalam paradigma kritis berkaitan dengan keyakinan bahwa ada kekuatan laten dalam masyarakat yang begitu berkuasa mengontrol proses komunikasi masyarakat. Ini berarti paradigma kritis melihat adanya “realitas” di balik kontrol komunikasi masyarakat. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang mempunyai kekuatan kontrol tersebut? Mengapa mengontrol? Ada kepentingan apa?. Dengan beberapa kalimat pertanyaan itu, terlihat bahwa teori kritis melihat adanya proses dominasi dan marginalisasi kelompok tertentu dalam seluruh proses komunikasi masyarakat. Hal ini menyatakan bahwa proses penyebaran dan aktivitas komunikasi massa juga sangat dipengaruhi oleh struktur ekonomi politik masyarakat yang bersangkutan. 
Paradigma kritikal melihat bahwa pengkonstruksian suatu realitas itu dipegaruhi oleh faktor kesejarahan dan kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan media yang bersangkutan. Kritik sosial yang berkaitan dengan munculnya budaya massa dimulai setidaknya sejak pertengahan abad ke-19, dan pada pertengahan abad ke-20 terjadi di Inggris dengan munculnya teori kritis (critical theory) yang lebih radikal (dan populis) seperti yang disampaikan oleh Richard Hoggart, Raymond William, dan Stuart Hall (McQuail, 2012:125).
 Paradigma kritis lahir sebagai koreksi dari pandangan kontruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reprosuksi makna yang terjadi secara historis maupun intitusional. Analisis teori kritis tidak berpusat pada kebenaran atau ketidakbenaran sebuah struktur tata bahasa, simbol, atau proses penafsiran seperti pada konstruktivisme.
Paradigma kritis bersifat realism historis, sesuatu realitas diasumsikan harus dipahami sebagai sesuatu yang plastis (tidak sebenarnya). Artinya realitas itu dibentuk sepanjang waktu oleh sekumpulan faktor, seperti: sosial, politis, budaya, ekonomik, etnik, dan gender; yang justru bahkan dikristalisasikan (direikasi) ke dalam serangkaian stuktur yang sekarang ini (hal yang tidak sesuai) dianggap sebagai sesuatu yang “nyata”, dan ini dianggap alamiah dan tetap (Pambayun, 2013:24-25)
Meskipun terdapat banyak keragaman tradisi kritik, semuanya sama-sama memiliki tiga keistimewaan pokok. Pertama, tradisi ini mencoba memahami sistem yang sudah dianggap benar, struktur kekuatan, dan keyakinan – atau ideologi – yang mendominasi masyarakat, dengan pandangan tertentu di mana minat-minat disajikan oleh struktur-struktur kekuatan tersebut. Kedua para ahli teori kritik pada umumnya tertarik dengan membuka kondisi-kondisi sosial yang menindas dan rangkaian kekuatan untuk mempromosikan emansipasi atau masyarakat yang lebih bebas dan lebih berkecukupan. Memahami penindasan dalam menghapus ilusi-ilusi ideologi dan bertindak mengatasi kekuatan-kekuatan yang menindas. Teori kritik yang ketiga, menciptakan kesadaran untuk menghubungkan teori dan tindakan. Teori-teori tersebut bersifat normatif dan bertindak untuk mendapatkan atau mencapai perubahaan dalam kondisi-kondisi yang mempengaruhi masyarakat (Littlejohn dan Foss, 2011:68-69).
Dapat dikatakan bahwa pendekatan teori kritis pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx. Bisa juga dikatakan bahwa gagasan-gagasan pemikiran Marx ini merupakan gerakan  Post Pencerahan, kebalikan dari jaman Pencerahan di abad 18 yang dipandang titik kulminasi rasionalisme barat yang yakin dengan individualisme dan kebebasan universal (positivisme).
Max Horkheimer dan rekan-rekannya di Mazhab Frankfurt menjadikan pemikiran Marx sebagai landasan mereka dalam mengkaji gejala, kasus dan permasalahan yang ada di masyarakat. Mereka dapat dikatakan sebagai penginterpretasi pemikiran Marx dan sedikit memodifikasinya sesuai dengan kajian mereka. Karena Marx sendiri misalnya tidak menyinggung secara langsung atau barangkali sedikit membahas bagaimana peran dan posisi media massa dan ranah komunikasi secara langsung.
Di era mahzab Frankfurt komunikasi mulai menjadi bagian penting dari teori kritik  dan kajian komunikasi massa menjadi lebih penting. Teori kritik berada dalam paradigma modernis. Baik itu intelektual atau pandangan populer, ada sebuah kepercayaan pada alasan yang dibangun melalui ilmu pengetahuan, bahwa individu sebagai agen perubahan dan penemuan aspek-aspek budaya yang cuma-cuma. Ada empat cabang kelompok teori kritik yang melanggar modernitas dengan cara yang beragam : post-modernisme, post-kolonialisme, post-strukturalisme, dan kajian feminis (Littlejohn & Foss, 2011:70).
Sebagian besar teori komunikasi kritis berhubungan dengan media terutama karena kekuatan media untuk menyebarkan ideologi yang dominan dan kekuatannya untuk mengungkapkan ideologi alternatif dan ideologi yang bertentangan. Menurut McQuail dalam bukunya Teori Komunikasi Massa (2012:72-75) ada lima cabang utama teori kritis media. Pertama Marxisme klasik di mana menganggap terdapat ideologi alternatif, idealis, dan terkadang utopis, tetapi tidak ada sebuah model ideal sistem sosial yang bekerja dimanapun. Meskipun demikian terdapat dasar kesamaan yang cukup untuk menolak ideologi tersembunyi dari pluralisme dan fungsionalisme konservatif. Kedua karakter politik dan ekonomi dari struktur dan organisasi media secara nasional dan internasional,  seperti Marxisme klasik menyalahkan kepemilikan media bagi keburukan masyarakat di mana strategi operasional yang jauh dari netral dan non-ideologis. Teoritis yang ketiga adalah Frankfurt, teori ini memandang media sebagai cara untuk membangun dan mempromosikan pandangan alternatif dari budaya populer komersial yang dominan. Cabang teori kritis yang keempat adalah teori hegemoni yang merupakan dominasi ideologi palsu atau cara pikir terhadap kondisi sebenarnya. Sedangkan teori kritis atau tradisi kritis yang kelima menurut McQuail adalah kajian “penelitian budaya”. Tradisi ini sangat bergantung pada semiotik yang cenderung  pada pemaknaan budaya tentang hasil-hasil media, misalnya video, musik, iklan, dan film yang masing-masing merupakan hasil produksi budaya.
Penelitian atau kajian budaya menjadi pendekatan yang sangat populer dan berguna, dan pendekatan ini dapat digunakan untuk menggabungkan beberapa pemahaman dari beragam pemikiran, salah satunya penelitian budaya dengan aplikasi tertentu pada media – penelitian media feminis. Penelitian media massa lebih diletakkan dalam kesadaran bahwa teks atau wacana dalam media massa mempunyai pengaruh yang sedemikian rupa pada manusia. Seluruh aktivitas dan pemaknaan simbolik dapat dilakukan dalam teks media massa. Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai. Pada titik kesadaran pokok manusia, teks selalu memuat kepentingan. Teks pada prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang memihak. Tentu saja teks dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan ide, kepentingan atau ideologi tertentu kelas tertentu. Pada titik tertentu, teks media pada dirinya sudah bersifat ideologis (Littlejohn dan Foss, 2011:183-217).

SEMIOTIKA



Semiotika adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda atau teori tentang pemberian tanda. Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengkomunikasikan informasi. Semiotika meliputi tanda-tanda visual dan verbal (semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki), ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia.
Semiotika adalah studi mengenai tanda (sign) dan simbol yang merupakan tradisi penting dalam pemikiran tradisi komunikasi. Tradisi semiotika mencakup teori utama mengenai bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi, keadaan, perasaan, dan sebagainya yang berada di luar diri. Studi ini tidak saja memberikan jalan atau cara dalam mempelajari komunikasi tetapi juga memiliki efek besar pada setiap aspek (prespektif) yang digunakan dalam teori komunikasi (Morissan, 2013:32).
Semiotika ini merupakan salah satu tradisi dalam ilmu komunikasi yang menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda atau simbol-simbol tersebut mempunyai arti atau makna. Semiotika menurut Charles S. Peirce dalam Fiske, 1990 dan Littlejohn 1998, semiotika berangkat dari tiga elemen utama yakni teori segitiga makna atau triangle meaning. Yang dikupas teori segitiga ini adalah persoalan bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi (Kriyantono, 2012:267).
Berikut tabel hubungan tanda, objek, dan interpretant (triangle of meaning) :
Tabel 2.2. : Triangle of Meaning

                                                            Sign



Interpretant                                                                    Object


Sumber : Rahmat Kriyantono, Teknis Praktis Riset Komunikasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta 2012 : 268.


a.    Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat diungkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Acuan tanda ini disebut objek.
b.    Acuan tanda (objek) adalah konteks sosial yang menjadi referensi tanda atau suatu yang dirujuk tanda.


c.    Pengguna tanda (interpretant) adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.
Semiotika atau penyelidikan simbol-simbol, membentuk tradisi pemikiran yang penting dalam teori komunikasi. Tradisi semiotik terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan, dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri (Littlejohn dan Foss, 2011:53).
Pemikiran Saussure yang paling penting dalam konteks semiotik adalah pandangannya mengenai tanda. Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilihan antara apa yang disebut signifier (penanda) adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified (petanda) adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Saussure  menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan signified itu dalam bentuk tabel sebagai berikut :

 Tabel 2.3. : Elemen-Elemen Makna Saussure
                        Sign


 


                  Composed of

                                                                        Signification
Signifier            Plus                  Signified                                       External reality
(physical                                   (metal                                          of meaning
existence                                  concept)
of the sign)
Sumber : John Fiske, Introduction to Communication Studies, 1990 : 44 dalam Alex Sobur, Analisis Teks Media, Remeja Rosda Karya, Bandung, 2009 : 125)

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussure. Ia juga seorang intelektual dan kritikus sastra Prancis yang ternama; eksponen penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. Barthes meneruskan pemikiran Saussure tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of significations”.
Tatanan Pertandaan (Order of Signification) terdiri dari :
a.    Denotasi adalah diskripsi dasar, makna kamus dari sebuah kata atau terminologi atau objek (literal meaning of a term or object).

b.    Konotasi adalah makna-makna kultural yang melekat pada sebuah terminologi (the cultural meaning that become attached to a term).
c.    Metafora merupakan alat untuk mengkomunikasikan sebuah analogi atau sebuah perumpamaan yang didasarkan pada identitas.
d.    Simili adalah sebuah subkategori metafora dengan menggunakan kata-kata “seperti”.
e.    Metomini adalah cara mengomunikasikan dengan asosiasi yang dibuat dengan cara menghubungkan sesuatu yang kita ketahui dengan sesuatu yang lain.
f.     Synecdoche adalah sebuah subkategori metomini yang memberikan makna “keseluruhan” atau “sebaliknya”.
g.    Intertextual adalah hubungan antarteks saling bertukar satu dengan yang lain, sadar maupun tidak sadar (Kriyantono, 2012:272-273)
Semiotika kini tidak saja sebagai sebuah cabang keilmuan yang  berorientasi metode kajian (decoding) tetapi juga  sebagai metode penciptaan (encoding). Semiotika ini berkembang  menjadi sebuah model atau paradigma bagi berbagai bidang keilmuan yang sangat luas, yang menciptakan cabang-cabang semiotika khusus, di antaranya adalah semiotika binatang (zoo semiotics), semiotika kedokteran, (medical semiotics), semiotika arsitektur, semiotika seni, semiotika fashion, semiotika film, semiotika sastra, semiotika televisi, termasuk semiotika desain.
Terobosan penting pada semiotika adalah diterimanya penerapan konsep-konsep linguistik ke dalam fenomena lain yang bukan hanya bahasa tertulis; yang dalam pendekatan ini lantas diandaikan sebagai teks. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan produk media, seluruh tampilan media baik dalam bentuk tulisan, visual, audio, bahkan audiovisual sekalipun akan dianggap sebagai teks. Tak terlepas juga berlaku untuk film yang juga merupakan karya audiovisual.
Seiring perkembangannya, pengaruh film semakin kuat bagi kehidupan individu maupun sosial. Hal ini kemudian membuat film dikaji secara mendalam. Setiap gambar yang tersorot di layar dicari maknanya dan apa maksud tujuannya ditampilkan. Karenanya diperlukan pisau bedah khusus untuk mengkaji film. Studi tentang media massa, termasuk film, bisa dilakukan dengan banyak cara. Para ahli komunikasi sudah melakukannya sepanjang abad lalu, mulai dengan memakai pendekatan fungsionalis, pendekatan Marxist, hingga teori hegemoni media. Semua pendekatan itu sekedar alat, peneliti bebas memilih pendekatan atau teori sesuai dengan tujuan penelitiannya. Cultural Studies (kajian budaya) sebagai disiplin ilmu kerap mengkaji film dengan pendekatan misalnya representasi, ideologi, hingga budaya pop. Semiotika adalah instrumen pembuka rahasia teks dan penandaan, karena semiotika adalah puncak logis dari apa yang disebut Derrida sebagai “logosentrisme” budaya Barat: rasionalitas yang memperlakukan makna sebagai konsep atau representasi logis yang merupakan fungsi tanda sebagai ekspresi (Culler, 1981:40 dalam Kurniawan, 2001:12)


perjalanan