SIGIT SALESEVEN
KARYA FOTO diambil tgl 14/07/09 di kali kuning kaliurang
Friday, September 23, 2016
Berkarya dengan Film Dokumenter
Berkarya dengan Film Dokumenter: Film dokumenter tak ayal seperti halnya melakukan rutinitas sehari-hari.
Friday, August 19, 2016
Terinspirasi Dunia Pendidikan, FISIP Unsera Gelar Festival Film Dokumenter Rachmatoellah Siddik Awards 2016
Terinspirasi Dunia Pendidikan, FISIP Unsera Gelar Festival Film Dokumenter Rachmatoellah Siddik Awards 2016: Program Studi Ilmu Komunikasi akan menyelenggarakan Workshop Film dan Festival Film Rachmatoellah Siddik Awards 2016 (F2DRSA 2016) dengan mengusung tema pendidikan.
Tuesday, December 23, 2014
Reprsentation Metropolitan Women in Film 7 Hearts 7 Love 7 Women - Semiotics Analysis Roland Barthes
ABSTRAK
Sigit
Surahman/201221310007 / Manajamen Ilmu Komunikasi / Magister Ilmu Komunikasi
x + 138 Halaman + Lampiran
Judul :
Reprsentasi Perempuan Metropolitan dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7
Wanita – Analisis Semiotika Roland Barthes
Kata
Kunci : Representasi,
Perempuan Metropolitan, Semiotika Roland
Barthes
Latar Belakang : Film menyajikan konstruksi
realitas social masyarakat. Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita ini menghadirkan
representasi perempuan dalam konteks ke-Indonesia-an melalui tanda-tanda,
konsep, pemikiran, dan bahasa tertentu. Representasi yang dimaksud tersebut
dapat berupa penggambaran kekerasan fisik maupun psikis, subordinasi, beban
kerja, kekuasaan, ataupun hak-hak reproduksi perempuan.
Tujuan
: Menginterpretasikan
representasi perempuan metropolitan
dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Mendeskripsikan
bentuk-bentuk pemaknaan representasi perempuan metropolitan yang dibangun dalam
film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita.
Metode Penelitian : Model analisis
semiotika yang digunakan peneliti untuk menganalisis film dalam penelitian ini
adalah model analisis semiotika Roland Barthes. Dengan menggunakan pendekatan
paradigma konstruktivisme, metode penelitian penelitian ini mendiskripsikan
representasi tentang perempuan metropolitan yang merupakan hasil konstruksi
realitas.
Hasil
Penelitian : Film 7
Hati 7 Cinta 7 Wanita ini setidaknya ada tiga poin temuan penelitian: 1. Aspek
domestifikasi perempuan dan politik gender, yang mendorong untuk menempatkan
perempuan dalam posisi tradisional sebagai ibu rumah tangga. 2. Aspek segresi,
yakni menempatkan perempuan pada posisi yang lemah dalam hubungannya dengan
laki-laki. 3. Perempuan banyak mengalami kenyataan yang menempatkannya pada
posisi subordinat.
Kesimpulan : Representasi
perempuan metropolitan digambarkan sebagai objek eksploitasi dan segala yang
ditampilkan dalam film ini perempuan menjadi objek representasi perempuan yang
buruk.
Saran : 1. Film sebagai media massa yang efektif
dalam mempengaruhi pola pikir masyarakat merupakan pemegang kendali
transformasi sosial yang cukup powerful dengan kekuatan audio
dan visual , untuk itu penggambaran
dalam film hendaknya lebih jelas dan mendetail; 2. disarankan menggunakan
pendekatan metode penelitian kritis, agar hasil penelitian lebih mendalam untuk
bisa membongkar ideologi di balik film ini.
Acuan : Buku; 46, Jurnal
dan Karya Ilmiah; 14, Sumber lain; 5 (1987 – 2013)
Tuesday, December 16, 2014
PARADIGMA KRITIS
Ilmu
komunikasi dapat dikategorikan dalam ilmu pengetahuan yang mempunyai aktivitas
penelitian yang bersifat multi paradigma. Ini berarti, ilmu komunikasi
merupakan bidang ilmu yang menampilkan sejumlah paradigma atau perspektif dasar
pada waktu bersamaan (Hidayat, 1999:431-446). Istilah paradigma sendiri dapat
didefinisikan sebagai:
“a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or
first principles…a world view that defines, for its holder, the nature of the
‘world’…(Guba, dalam Denzin & Lincoln, 1994:107).
Paradigma
merupakan orientasi dasar untuk teori dan riset. Pada umumnya suatu paradigma
keilmuan merupakan sistem keseluruhan dari berfikir. Paradigma terdiri dari
asumsi dasar, teknik riset yang digunakan, dan contoh seperti apa seharusnya
teknik riset yang baik. Ilmu sosial kritis sering dikaitkan dengan
teori konflik, analisis feminis, dan psikoterapi radikal serta dikaitkan dengan
teori kritis yang pertama kali dikembangkan oleh Frankfurt School di Jerman pada tahun 1930an. Ilmu sosial kritis
mendefinisikan ilmu sosial sebagai proses kritis penyelidikan yang melampaui
ilusi permukaanuntuk mengungkap struktur nyata di dunia material dalam rangka
membantu orang mengubah kyang lebih baik dari kondisi dan membangun dunia bagi
diri mereka sendiri (Neuman, 2013:123-124).
Paradigma kritis pada dasarnya adalah paradigma ilmu pengetahuan yang meletakkan epistemologi kritik Marxisme
dalam seluruh metodologi penelitiannya. Fakta menyatakan bahwa paradigma
kritis yang diinspirasikan dari teori kritis tidak bisa melepaskan diri dari
warisan Marxisme dalam seluruh filosofi pengetahuannya. Teori kritis pada satu
pihak merupakan salah satu aliran ilmu sosial yang berbasis pada ide-ide Karl
Marx dan Engels (Denzin, 2000: 279-280).
Asumsi dasar dalam paradigma
kritis berkaitan dengan keyakinan bahwa ada kekuatan laten dalam masyarakat
yang begitu berkuasa mengontrol proses komunikasi masyarakat. Ini berarti
paradigma kritis melihat adanya “realitas” di balik kontrol komunikasi
masyarakat. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang mempunyai kekuatan kontrol
tersebut? Mengapa mengontrol? Ada kepentingan apa?. Dengan beberapa kalimat
pertanyaan itu, terlihat bahwa teori kritis melihat adanya proses dominasi dan
marginalisasi kelompok tertentu dalam seluruh proses komunikasi masyarakat. Hal
ini menyatakan bahwa proses penyebaran dan aktivitas komunikasi massa juga
sangat dipengaruhi oleh struktur ekonomi politik masyarakat yang bersangkutan.
Paradigma
kritikal melihat bahwa pengkonstruksian suatu realitas itu dipegaruhi oleh
faktor kesejarahan dan kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan
media yang bersangkutan. Kritik sosial yang berkaitan dengan munculnya budaya
massa dimulai setidaknya sejak pertengahan abad ke-19, dan pada pertengahan
abad ke-20 terjadi di Inggris dengan munculnya teori kritis (critical theory) yang lebih radikal (dan
populis) seperti yang disampaikan oleh Richard Hoggart, Raymond William, dan
Stuart Hall (McQuail, 2012:125).
Paradigma kritis lahir sebagai koreksi dari
pandangan kontruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan
reprosuksi makna yang terjadi secara historis maupun intitusional. Analisis
teori kritis tidak berpusat pada kebenaran atau ketidakbenaran sebuah struktur
tata bahasa, simbol, atau proses penafsiran seperti pada konstruktivisme.
Paradigma
kritis bersifat realism historis,
sesuatu realitas diasumsikan harus dipahami sebagai sesuatu yang plastis (tidak
sebenarnya). Artinya realitas itu dibentuk sepanjang waktu oleh sekumpulan faktor,
seperti: sosial, politis, budaya, ekonomik, etnik, dan gender; yang justru
bahkan dikristalisasikan (direikasi) ke dalam serangkaian stuktur yang sekarang
ini (hal yang tidak sesuai) dianggap sebagai sesuatu yang “nyata”, dan ini
dianggap alamiah dan tetap (Pambayun, 2013:24-25)
Meskipun terdapat banyak
keragaman tradisi kritik, semuanya sama-sama memiliki tiga keistimewaan pokok. Pertama,
tradisi ini mencoba memahami sistem yang sudah dianggap benar, struktur
kekuatan, dan keyakinan – atau ideologi – yang mendominasi masyarakat, dengan
pandangan tertentu di mana minat-minat disajikan oleh struktur-struktur
kekuatan tersebut. Kedua para ahli teori kritik pada umumnya tertarik
dengan membuka kondisi-kondisi sosial yang menindas dan rangkaian kekuatan
untuk mempromosikan emansipasi atau masyarakat yang lebih bebas dan lebih
berkecukupan. Memahami penindasan dalam menghapus ilusi-ilusi ideologi dan
bertindak mengatasi kekuatan-kekuatan yang menindas. Teori kritik yang ketiga,
menciptakan kesadaran untuk menghubungkan teori dan tindakan. Teori-teori
tersebut bersifat normatif dan bertindak untuk mendapatkan atau mencapai
perubahaan dalam kondisi-kondisi yang mempengaruhi masyarakat (Littlejohn dan Foss,
2011:68-69).
Dapat dikatakan bahwa pendekatan teori kritis pada
dasarnya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx. Bisa juga dikatakan bahwa
gagasan-gagasan pemikiran Marx ini merupakan gerakan Post Pencerahan,
kebalikan dari jaman Pencerahan di abad 18 yang dipandang titik kulminasi
rasionalisme barat yang yakin dengan individualisme dan kebebasan universal
(positivisme).
Max Horkheimer dan rekan-rekannya di Mazhab Frankfurt
menjadikan pemikiran Marx sebagai landasan mereka dalam mengkaji gejala, kasus
dan permasalahan yang ada di masyarakat. Mereka dapat dikatakan sebagai
penginterpretasi pemikiran Marx dan sedikit memodifikasinya sesuai dengan
kajian mereka. Karena Marx sendiri misalnya tidak menyinggung secara langsung
atau barangkali sedikit membahas bagaimana peran dan posisi media massa dan
ranah komunikasi secara langsung.
Di era mahzab Frankfurt
komunikasi mulai menjadi bagian penting dari teori kritik dan kajian komunikasi massa menjadi lebih
penting. Teori kritik berada dalam paradigma modernis. Baik itu intelektual
atau pandangan populer, ada sebuah kepercayaan pada alasan yang dibangun
melalui ilmu pengetahuan, bahwa individu sebagai agen perubahan dan penemuan aspek-aspek
budaya yang cuma-cuma. Ada empat cabang kelompok teori kritik yang melanggar
modernitas dengan cara yang beragam : post-modernisme, post-kolonialisme,
post-strukturalisme, dan kajian feminis (Littlejohn & Foss, 2011:70).
Sebagian besar teori komunikasi
kritis berhubungan dengan media terutama karena kekuatan media untuk
menyebarkan ideologi yang dominan dan kekuatannya untuk mengungkapkan ideologi
alternatif dan ideologi yang bertentangan. Menurut McQuail dalam bukunya Teori
Komunikasi Massa (2012:72-75) ada lima cabang utama teori kritis media. Pertama
Marxisme klasik di mana menganggap terdapat ideologi alternatif, idealis, dan
terkadang utopis, tetapi tidak ada sebuah model ideal sistem sosial yang
bekerja dimanapun. Meskipun demikian terdapat dasar kesamaan yang cukup untuk
menolak ideologi tersembunyi dari pluralisme dan fungsionalisme konservatif. Kedua
karakter politik dan ekonomi dari struktur dan organisasi media secara nasional
dan internasional, seperti Marxisme
klasik menyalahkan kepemilikan media bagi keburukan masyarakat di mana strategi
operasional yang jauh dari netral dan non-ideologis. Teoritis yang ketiga
adalah Frankfurt, teori ini memandang media sebagai cara untuk membangun dan
mempromosikan pandangan alternatif dari budaya populer komersial yang dominan.
Cabang teori kritis yang keempat adalah teori hegemoni yang merupakan
dominasi ideologi palsu atau cara pikir terhadap kondisi sebenarnya. Sedangkan
teori kritis atau tradisi kritis yang kelima menurut McQuail adalah
kajian “penelitian budaya”. Tradisi ini sangat bergantung pada semiotik yang
cenderung pada pemaknaan budaya tentang
hasil-hasil media, misalnya video, musik, iklan, dan film yang masing-masing
merupakan hasil produksi budaya.
Penelitian atau kajian budaya
menjadi pendekatan yang sangat populer dan berguna, dan pendekatan ini dapat
digunakan untuk menggabungkan beberapa pemahaman dari beragam pemikiran, salah
satunya penelitian budaya dengan aplikasi tertentu pada media – penelitian
media feminis. Penelitian media massa
lebih diletakkan dalam kesadaran bahwa teks atau wacana dalam media massa
mempunyai pengaruh yang sedemikian rupa pada manusia. Seluruh aktivitas dan pemaknaan simbolik dapat dilakukan
dalam teks media massa. Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang
bebas nilai. Pada titik kesadaran pokok manusia, teks selalu memuat
kepentingan. Teks pada prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang memihak.
Tentu saja teks dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan ide, kepentingan
atau ideologi tertentu kelas tertentu. Pada titik tertentu, teks media pada
dirinya sudah bersifat ideologis (Littlejohn
dan Foss, 2011:183-217).
SEMIOTIKA
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda atau
teori tentang pemberian tanda. Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori
filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol
sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengkomunikasikan
informasi. Semiotika meliputi tanda-tanda visual dan verbal (semua tanda atau
sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita
miliki), ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara
sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan
dan perilaku manusia.
Semiotika adalah studi mengenai tanda (sign) dan simbol yang merupakan tradisi
penting dalam pemikiran tradisi komunikasi. Tradisi semiotika mencakup teori
utama mengenai bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi, keadaan, perasaan,
dan sebagainya yang berada di luar diri. Studi ini tidak saja memberikan jalan
atau cara dalam mempelajari komunikasi tetapi juga memiliki efek besar pada
setiap aspek (prespektif) yang digunakan dalam teori komunikasi (Morissan, 2013:32).
Semiotika ini merupakan salah satu tradisi dalam ilmu
komunikasi yang menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan
itu merupakan tanda-tanda, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda atau
simbol-simbol tersebut mempunyai arti atau makna. Semiotika menurut Charles S.
Peirce dalam Fiske, 1990 dan Littlejohn 1998, semiotika berangkat dari tiga
elemen utama yakni teori segitiga makna atau triangle meaning. Yang dikupas teori segitiga ini adalah persoalan
bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada
waktu berkomunikasi (Kriyantono, 2012:267).
Berikut tabel hubungan tanda, objek, dan interpretant (triangle of meaning) :
Tabel 2.2. : Triangle of Meaning
Sign
Interpretant Object
Sumber
: Rahmat Kriyantono, Teknis Praktis Riset
Komunikasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta 2012 : 268.
a.
Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik
yang dapat diungkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang
merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Acuan tanda ini
disebut objek.
b.
Acuan tanda (objek) adalah konteks sosial
yang menjadi referensi tanda atau suatu yang dirujuk tanda.
c.
Pengguna tanda (interpretant) adalah konsep
pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna
tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk
sebuah tanda.
Semiotika atau penyelidikan simbol-simbol, membentuk
tradisi pemikiran yang penting dalam teori komunikasi. Tradisi semiotik terdiri
atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda merepresentasikan benda,
ide, keadaan, situasi, perasaan, dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri
(Littlejohn dan Foss, 2011:53).
Pemikiran Saussure yang paling penting dalam konteks
semiotik adalah pandangannya mengenai tanda. Saussure meletakkan tanda dalam
konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilihan antara apa yang disebut signifier (penanda) adalah bunyi yang
bermakna atau coretan yang yang bermakna (aspek material), yakni apa yang
dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified
(petanda) adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental
dari bahasa. Saussure menggambarkan
tanda yang terdiri atas signifier dan
signified itu dalam bentuk tabel sebagai
berikut :
Tabel
2.3. : Elemen-Elemen Makna Saussure
Sign
Composed of
Signification
Signifier Plus Signified External reality
(physical (metal of meaning
existence concept)
of
the sign)
Sumber
: John Fiske, Introduction to
Communication Studies, 1990 : 44 dalam Alex Sobur, Analisis Teks Media, Remeja Rosda Karya, Bandung, 2009 : 125)
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir
strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussure.
Ia juga seorang intelektual dan kritikus sastra Prancis yang ternama; eksponen
penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. Barthes meneruskan
pemikiran Saussure tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan
pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam
teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan
Barthes ini dikenal dengan “order of
significations”.
Tatanan Pertandaan (Order
of Signification) terdiri dari :
a.
Denotasi
adalah diskripsi dasar, makna kamus dari sebuah kata atau terminologi atau
objek (literal meaning of a term or
object).
b.
Konotasi
adalah makna-makna kultural yang melekat pada sebuah terminologi (the cultural meaning that become attached to
a term).
c.
Metafora
merupakan alat untuk mengkomunikasikan sebuah analogi atau sebuah perumpamaan
yang didasarkan pada identitas.
d.
Simili
adalah sebuah subkategori metafora dengan menggunakan kata-kata “seperti”.
e.
Metomini
adalah cara mengomunikasikan dengan asosiasi yang dibuat dengan cara
menghubungkan sesuatu yang kita ketahui dengan sesuatu yang lain.
f.
Synecdoche
adalah sebuah subkategori metomini yang memberikan makna “keseluruhan” atau
“sebaliknya”.
g.
Intertextual
adalah hubungan antarteks saling bertukar satu dengan yang lain, sadar maupun
tidak sadar (Kriyantono, 2012:272-273)
Semiotika kini tidak saja sebagai sebuah
cabang keilmuan yang berorientasi metode
kajian (decoding) tetapi juga sebagai metode penciptaan (encoding). Semiotika ini berkembang menjadi sebuah model atau paradigma bagi
berbagai bidang keilmuan yang sangat luas, yang menciptakan cabang-cabang
semiotika khusus, di antaranya adalah semiotika binatang (zoo semiotics), semiotika kedokteran, (medical semiotics), semiotika arsitektur, semiotika seni, semiotika
fashion, semiotika film, semiotika sastra, semiotika televisi, termasuk semiotika
desain.
Terobosan penting pada semiotika adalah diterimanya
penerapan konsep-konsep linguistik ke dalam fenomena lain yang bukan hanya
bahasa tertulis; yang dalam pendekatan ini lantas diandaikan sebagai teks. Oleh
karena itu, dalam kaitannya dengan produk media, seluruh tampilan media baik
dalam bentuk tulisan, visual, audio, bahkan audiovisual sekalipun akan dianggap
sebagai teks. Tak terlepas juga berlaku untuk film yang juga merupakan karya
audiovisual.
Seiring perkembangannya, pengaruh film semakin kuat bagi
kehidupan individu maupun sosial. Hal ini kemudian membuat film dikaji secara
mendalam. Setiap gambar yang tersorot di layar dicari maknanya dan apa maksud
tujuannya ditampilkan. Karenanya diperlukan pisau bedah khusus untuk mengkaji
film. Studi tentang media massa, termasuk film, bisa dilakukan dengan banyak
cara. Para ahli komunikasi sudah melakukannya sepanjang abad lalu, mulai dengan
memakai pendekatan fungsionalis, pendekatan Marxist, hingga teori hegemoni
media. Semua pendekatan itu sekedar alat, peneliti bebas memilih pendekatan
atau teori sesuai dengan tujuan penelitiannya. Cultural Studies (kajian
budaya) sebagai disiplin ilmu kerap mengkaji film dengan pendekatan misalnya
representasi, ideologi, hingga budaya pop. Semiotika adalah instrumen pembuka
rahasia teks dan penandaan, karena semiotika adalah puncak logis dari apa yang
disebut Derrida sebagai “logosentrisme” budaya Barat: rasionalitas yang
memperlakukan makna sebagai konsep atau representasi logis yang merupakan
fungsi tanda sebagai ekspresi (Culler, 1981:40 dalam Kurniawan, 2001:12)
Subscribe to:
Posts (Atom)