Friday, September 6, 2013

EPISTIMOLOGIS ILMU PENGETAHUAN MENURUT JURGEN HABERMAS

EPISTIMOLOGIS ILMU PENGETAHUAN MENURUT JURGEN HABERMAS
                                                   




A.    Sekilas tentang Habermas

Jurgen Habermas, lahir di Jerman pada 18 Juni 1929, termasuk seorang filsuf yang paling berpengaruh di abad kontemporer. Pergulatan pemikirannya terbentuk setelah ia memasuki sebuah aliran filsafat yang sejak 60 tahun semakin berpengaruh dalam dunia filsafat maupun ilmu-ilmu sosial, yaitu filsafat kritis, yang tergabung dalam Mazhab Frankfurt (Suseno, 1997: 175). Habermas merupakan anak Ketua Kamar Dagang propinsi Rheinland Westfalen di Jerman Barat. Ia dibesarkan di Gummersbach, sebuah kota menengah di Jerman dengan dinamika lingkungan Borjuis-Protestan.
Dia seorang filsuf generasi kedua yang terkenal dari Frankfurt School of Social Research. Habermas meraih gelar Ph.D setelah menyelesaikan disertasinya yang membicarakan bagaimana pertentangan antara yang mutlak dan sejarah dalam pemikiran Schelling. Habermas juga diangkat sebagai asisten Theodor Adorno di Frankfurt yang kemudian dia diangkat manjadi professor filsafat sekaligus direktur daripada Institut Max Planck di Starberg
Dia menentukan minatnya pada filsafat secara serius di Universitas Bonn, di mana tahun 1954, ia meraih gelar doktor filsafat dengan sebuah disertasi berjudul Das Absolute und dia Geshiclite (Yang Absolut dan Sejarah), yang merupakan studi tentang pemikiran Schelling (Bertens, 2002: 236).
Meskipun Habermas merupakan anggota dalam mazhab Frankfurt yang sangat dipengaruhi oleh karya Hegel dan Marx, Habermas menolak teori yang membahas pesimisme yang ada pada generasi pertama sebelumnya yang dikemukakan Marx. Seperti sependapat dengan pendapat Weber.
Karya-karya dari seorang habermas diantaranya adalah :
1. Legitimationsprobleme im Spatkapitalismus (Masalah legitimasi dalam kapitalisme kemudian hari, 1973)
2. Kultur und Kritik (Kebudayaan dan Kritik, 1973)
3. Zur Rekonstruktion des Historischen Materialismus (Demi rekonstruksi materialisme historis, 1976).
4. Theorie des kommunikativen Handelns (Teori tentang praksis komunikatif, dua jilid, 1981).


B. Epistimologi Ilmu Pengetahuan menurut Habermas

Habermas membagi tiga kelompok ilmu pengetahuan diantaranya :
1. Kelompok ilmu empiris, adalah ilmu alam yang menggunakan paradigma positivisme, kepentingannya adalah menaklukkan, menemukan hukum-hukum dan mengontrol alam.
2. Ilmu-ilmu humaniora, yang memiliki kepentingan praktis dan saling memahami, seperti ilmu pengetahuan sosial budaya. Kepentingan ilmu ini bukan untuk mendominasi atau menguasai, juga bukan membebaskan, tetapi memperluas saling pemahaman.
3. Ilmu kritis yang dikembangkan melalui refleksi diri, sehinga melalui refleksi diri, kita dapat memahami kondisi-kondisi yang tidak adil dan tidak manusiawi dalam kehidupan. Kepentingannya adalah emansipatoris.

Habermas menolak sikap yang dikatakan sebagai bebas nilai dalam bentuk ilmu pengetahuan, menurutnya semua ilmu pengetahuan dan pembentukan teori selalu dibarengi oleh interest-kognitif atau kepentingan konstitutif – pengetahuan tertentu yaitu suatu orientasi dasar yang mempengaruhi jenis pengetahuan dan objek pengetahuan dan objek pengetahuan tertentu
Melalui pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Universitas Frankfurt Habermas berusaha mengembalikan ilmu pada posisinya sebagai salah satu (bukan satu-satunya) bentuk pengetahuan yang mungkin mengenai kenyataan. Habermas menunjukan bahwa situasi keilmuwan tersebut membutuhkan suatu pandangan kritis dari ilmu-ilmu sosial. Pandangan kritis tersebut berfungsi untuk meneropong kepentingan-kepentingan penguasaan yang tanpa disadari telah menjerumuskan teori-teori positivis itu ke dalam bahaya. Tegasnya, Ilmu-ilmu sosial kemanusiaan tidak boleh mengacu pada ilmu-ilmu alam. Harus dikatakan bahwa ilmu-ilmu manusia mempunyai nilai yang khas dan, karenanya, sama sekali lain dari ilmu-ilmu alam dimaksud.

C. Kritik Habermas terhadapat teori sebelumnya

Meskipun sejalan dengan Husserl, Habermas menihilkan konsep teori sejati yang dipahami oleh fenomenologi Husserl tersebut. Fenomenologi Husserl memang berusaha menemukan hubungan antara teori dengan dunia kehidupan yang dihayati (Santoso, 2003: 231). Tetapi Habermas tidak setuju akan tujuan akhir fenomenologi untuk menghasilkan teori murni yang diyakini dapat diterapkan pada praktik.
Teori murni hasil pendekatan fenomenologi itu juga merupakan tujuan ontologi. Husserl memang berhasil mengkritik positivisme, tetapi, menurut Habermas, dia tidak melihat kaitan positivisine dengan ontologi dalam hal pemahaman tentang teori murni itu. Berdasarkan pemahaman ini, Habermas mencoba mengembalikan pendasaran epistemologinya pada konsep asli tentang ‘theoria’, yang artinya kontemplasi dalam kosmos atau realitas, yang berakar pada tradisi kontemplasi Yunani Kuno. Melalui kontemplasi. filsuf memisahkan unsur-unsur yang tetap dan yang berubah-ubah.
Usaha untuk menemukan tatanan yang tetap abadi di dalam kosmos dan seluruh realitas itulah yang merupakan dasar proses perubahan teori menjadi ontologi. Yang ingin dicapai oleh ontologi adalah sebuah penjelasan obyektif tentang seluruh realitas, atau dengan kata lain, teori murni. Habermas berusaha mengaitkan usaha untuk memperoleh teori murni dengan proses emansipasi (Hardiman, 1993: 5-6).
Pencarian teori murni untuk menemukan tatanan kosmos yang bersifat tetap dan abadi, menurut Habermas, merupakan ikhtiar yang sia-sia atau ilusi, ketika subyektivitas peneliti `dihilangkari. Bagaimana mungkin dapat diperoleh sebuah penjelasan ilmiah yang bersih dari kepentingan-kepentingan subyek peneliti, tatkala subyek ikut terintegrasi dalam kegiatan tersebut. Bagi Habermas, dengan menyembunyikan kaitan pengetahuan dengan kepentingan dan pengklaiman diri obyektif, ilmu pengetahuan akan melaksanakan kepentingannya.
Kepentingan ini hilang dalam setiap perbincangan mengenai ilmu, dan tugas teori kritis, menurut Habermas, adalah menunjukkan kepentingan-kepentingan (Hardiman, 1993: 7). Pertautan antara pengetahuan dengan kepentingan tersebut dijelaskan dalam tiga cakupan ilmu yaitu; Pertama, ilmu-ilmu empiris-analitis (ilmu-ilmu alam) yang berada pada kepentingan teknis untuk menguasai proses-proses yang dianggap obyektif. Sistem acuan ilmu-ilmu ini adalah penguasaan teknis; kedua, ilmu-ilmu historis-hermeneutis yang berusaha memahami makna (Sinnverstehen), dan
bukan menjelaskan (Erklaren) fakta yang diobservasi. Dalam terminologi ini maka tugas penafsir memegang peranan penting untuk mengkomunikasikan makna dalam fakta. Pada konteks ini, kepentingan praktis ditekankan untuk mencapai saling pengertian atau consensus; ketiga , ilmu-ilmu kritis merupakan usaha lebih lanjut terhadap apa yang dilakukan oleh ilmu-ilmu sosial dalam menjelaskan berbagai tingkah laku sosial.
Pernyataan dan teori-teori sosial cenderung mengenai proles-proses sosial tersebut sebagai keniscayaan sebagaimana ilmu-ilmu alam. Lebih dari usaha tersebut, ilmu-ilmu kritis berusaha menunjukkan bahwa keajegan-keajegan tertentu yang merupakan pola hubungan ketergantungan ideologis pada dasarnya dapat diubah. Apa yang dianggap sebagai `hukum-hukum' yang mengatur proses proses sosial itu, dianggap sudah tidak berlaku. Sebagai contoh metodenya Habermas menyebut `refleksi diri' (substreflexion).
Kepentingan yang berkaitan dengan proses refleksi diri ini adalah kepentingan kognitif-emansipatoris. Melalui refleksi diri, orang harus dibebaskan dari segala sesuatu yang mendominasi, yang membelenggu dan mengarah pada kemungkinan adanya hubungan-hubungan ketergantungan tersebut (Hardiman, 1993: 165-178).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hubungan antara kepentingan dengan pengetahuan tersebut hanyalah kepentingan teknis belaka yang telah menghasilkan ilmu-ilmu empiris-analitis, baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial empiris. Dominasi kepentingan teknis menjadikan ilmu-ilmu empiris-teknis lebih berhubungan dengan kekuatan-kekuatan produktif atau berorientasi pada usaha untuk melakukan kontrol teknis atas alam, manusia dan masyarakat. Sementara dominasi kepentingan praktis telah menghasilkan ilmu-ilmu historis-hermeneutis, baik ilmu-ilmu humaniora maupun ilmu sosial-simbolis.
Kepentingan ini bertujuan menjadi bagian dari kekuatan-kekuatan komunikatif yang memajukan interaksi sosial, yaitu dapat memperluas intersubyektivitas otentik serta mengurangi intersubyektivitas yang tertindas maupun yang tidak terartikulasikan. Sedangkan ilmu-ilmu kritis lebih menekankan diri pada kepentingan kognitif emansipatoris melalui kekuatan refleksi diri untuk melakukan kerja emansipatons manusia dari kesadaran palsu (Hardiman,1993: 192-193).



Daftar Pustaka
Bertens, K. 2002. Filsafat Barat Kontemporer, Inggris – Jerman, edisi IV. Jakarta : Gramedia. Bleicher, Josep. 1980.

Fautanu, Idzam, Filsafat Ilmu teori dan Aplikasi, (Cet.1: Jakarta, 2012

Habermas, Jurgen. Maret 2007. Teori Tindakan Komunikatif II: Kritik atas Rasio Fungsionaris. Terjemahan oleh Nurhadi. Kreasi Wacana Yogyakarta

Hardiman, Budi. 1990. Kritik Idiologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Yogyakarta: Kanisius.

Suseno, Fran Magnis. 1997. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius.

Sunday, July 14, 2013

KONSTRUKSI IDENTITAS POSTMODERN DALAM IKLAN LA LIGHT VERSI “DON’T QUIT”


KONSTRUKSI IDENTITAS POSTMODERN

DALAM IKLAN LA LIGHT VERSI “DON’T QUIT”


TELEVISI dan IKLAN

Ensiklopedi Britanika mendefinisikan televisi adalah transmisi gambar-gambar gerak elektrik dan transmisi elektrik simultan yang dilengkapi dengan suara. Kamus Ensiklopedi The Reader’s Great mendefinisikan televisi adalah reproduksi visual secara simultan dari adegan-adegan sasaran pertunjukan dan sebagainya yang diterima dari jarak jauh. Sedangkan di dalam Ensiklopedi Internasional dijelaskan definisi televisi adalah perangkat unik yang membedakan televisi dengan radio adalah konversi gambar ke dalam denyut listrik kemudian dikonversi kembali dalam gambar yang sebenarnya (Alimuddin, 2007 : 1).
Televisi adalah sebuah pengalaman yang kita terima begitu saja. Kendati demikian, televisi juga merupakan sesuatu yang membentuk cara berpikir kita tentang dunia. Perkembangan televisi sebagai media massa begitu pesat dan sangat dapat dirasakan manfaatnya. Dalam waktu yang relatif singkat, televisi dapat menjangkau wilayah dan jumlah penonton yang tidak terbatas  (Darwanto, 2007:26). Dewasa ini televisi telah menjadi salah satu bentuk media komunikasi sosial yang populer dan berkembang luas di masyarakat.  Terutama dalam masyarakat industri maju, situasi nyaris sangat universal hampir setiap rumah memiliki lebih dari satu pesawat televisi.
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa perkembangan dunia televisi menyalip media-media yang lebih dulu ada, seperti media cetak dan radio. Jumlah peredaran pesawat televisi yang ada di masyarakat dan jumlah belanja iklan untuk media televisi menunjukkan bahwa media televisi nyata sebagai media strategis. Kepemilikan dan kehadiran televisi di masyarakat telah mendorong untuk melihat posisi televisi dalam perubahan sosial dan kultur budaya yang begitu pesat. Hal tersebut menjadikan televisi tidak hanya sebagai media hiburan semata. Televisi juga mempunyai konsekuensi-konsekuensi untuk menghadirkan siaran berita, pendidikan, kebudayaan, dan sosial yang mempunyai peran penting kehadirannya dalam kehidupan keluarga.
Membincangkan televisi tentunya tidak bisa lepas dari program-program acara yang ditayangkan di dalamnya. Bagi setiap stasiun televisi tentunya membutuhan biaya operasional yang tidak sedikit jumlahnya, dalam hal ini iklan menjadi sponsor atau penyandang dana terbesar atas berlangsungnya penyiaran/program acara televisi.
Dalam sejarah, terbukti periklanan telah ada kurang lebih 3000 tahun yang lalu. Periklanan awalnya ditemukan di zaman Mesopotamia dan Babilonia, 1992 : 2, (dalam Bungin, 2008 : 73). Dunia periklanan di Indonesia kini semakin menunjukkan perkembangan yang pesat baik melalui media televisi maupun media online. Periklanan merupakan salah satu strategi yang dilakukan guna menghadapi persaingan produk jasa maupun barang. Secara signifikan iklan mampu memengaruhi khalayak. Dalam hitungan detik iklan menyampaikan informasi untuk mengubah cara pandang calon konsumen/khalayak dalam membuat suatu keputusan. Salah satu iklan yang cukup kuat mempengaruhi khalayak dan banyak diperbincangkan di dunia periklanan adalah iklan rokok.
Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan, rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan mengakibatkan bahaya bagi kesehatan. Kemudian diperbaharui lagi dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan bahan yang mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi melengkapi Peraturan Pemerintah sebelumnya tentang peraturan tentang iklan rokok melalui Permenkes Nomor 28 Tahun 2013. Selain meluncurkan Permenkes No 28/2013, Nafsiah juga meluncurkan Peta Jalan Dampak Konsumsi Rokok bagi Kesehatan. Peringatan kesehatan yang dimaksud dalam Permenkes No 28/2013 berupa gambar penyakit akibat rokok, (disediakan 5 gambar) dan tulisan “Peringatan”. Gambar itu terdiri atas gambar kanker tenggorokan, kanker paru, kanker mulut, asap yang membentuk tenggorokan, dan gambar orang merokok dengan gambar anak di dekatnya. Adapun informasi kesehatan harus memuat kandungan nikotin dan tar, pernyataan “Dilarang menjual dan member kepada anak dibawah 18 tahun dan perempuan hamil”, kode, tanggal, bulan, dan tahun produksi, serta nama dan alamat produsen. Disamping itu, dapat ditambahkan bahkan pernyataan “Tidak ada batas aman” dan “Mengandung lebih dari 4000 zat kimia berbahaya serta lebih dari 43 zat penyebab kanker”. Jenis huruf, ukuran huruf, kualitas warna gambar, letak peringatan, dan informasi kesehatan diatur dalam Permenkes ini. Kemasan rokok juga dilarang memuat keterangan menyesatkan atau kata-kata promotif. Selain itu, dilarang memuat kata-kata yang mengindikasikan kualitas, superioritas, pencitraan, dan rasa aman (Kompas 1 Juni 2013 : 14).
Realitasnya iklan rokok cukup banyak hadir di masyarakat dan jumlah konsumen rokok pun tinggi. Jelas bahwa mengonsumsi rokok berdampak pada rendahnya kualitas kesehatan masyarakat sebagai perokok aktif, bahkan juga bagi orang di sekitarnya (perokok pasif). Kehadiran iklan rokok masih cenderung dinikmati oleh khalayak melalui daya tarik pengemasan iklan dengan appeals yang beragam sedangkan secara substansi memperoleh perhatian terbatas. Iklan mampu mengonstruksi image produk secara objektif. Televisi menjadi media yang sangat efektif untuk  beriklan menyajikan bermacam iklan rokok dalam berbagai varian. Iklan Dji Sam Soe menggambarkan realitas berbagai maha karya Indonesia, salah satunya rokok Dji Sam Soe itu sendiri. Iklan yang mengusung tema menuju perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik dan sukses seperti iklan rokok New Dunhill Mild dengan tag lineTime to Change. Iklan rokok Surya 16 dengan tag lineDrive for Success’. Image produk diciptakan melalui pengemasan pesan baik verbal maupun non verbal (visual). Image produk diciptakan melalui pengemasan pesan baik verbal maupun non verbal (visual). Realitas bahasa yang digunakan dalam iklan TVC mampu memberi kesan yang kuat kepada khalayak. Iklan-iklan itu  mampu membawa penonton kepada kesan dunia lain melalui adegan-adegan maupun kesan realistis yang dibangun.
Pemilihan televisi sebagai media iklan rokok mampu menciptakan rekayasa/konstruksi yang optimal. Iklan berupaya meninggalkan kesan tertentu yang bersifat umum. Tidak bisa dipungkiri bahwa iklan rokok sengaja mengarahkan pada kesan spektakuler karena produk rokok yang dekat dengan segmen pasar seperti remaja yang cenderung mengagumi peristiwa spektakuler.
Berbagai macam tema yang mengusung latas dan konteks sosial dalam iklan merupakan bagian dalam perencanaan iklan yang menunjukkan di mana cerita-cerita itu dikonstruksi sedemikian rupa. Hal ini mampu mempertegas image produk meskipun tanpa menampilkan wujud produk rokok yang diusung dalam iklan. Gambaran ini baru sebagian kecil dari iklan yang hadir di media televisi. Modifikasi iklan akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan kreativitas pencipta iklan itu sendiri terlebih dengan perkembangan media di era berbasis teknologi komunikasi.
Kehadiran iklan dalam mengkonstruksi identitas postmodern bisa dikatakan cukup berhasil dalam mempengaruhi khalayak. Pendekatan postmodern tidak menganggap identitas sebagai sesuatu yang didapat begitu saja, tetapi sesuatu yang sengaja dibangun dalam narasi, teks, video, pidato dan media lain yang dapat digunakan dalam penyampaiannya.
 




















KONSTRUKSI REALITAS SOSIAL
Iklan televisi hadir dengan proses yang panjang dalam penggarapan iklan itu sendiri. Iklan televisi memang merupakan jenis iklan yang paling enak ditonton dan pesan-pesan yang disampaikan mudah ditangkap. Selain itu iklan televisi terlihat hidup, terlihat sangat realistis karena berupa audio visual, meskipun itu semua merupakan sebuah konstruksi dari realitas yang ada di masyarakat. Bagaimana iklan yang ditayangkan membawa dan menanamkan ideologi baru kepada khalayaknya untuk akhirnya meniru atas apa yang disaksikan di layar televisi.
Ideologi periklanan ini sejalan postmodern yang dalam permainan bahasanya lebih bersifat ironis, yang dituju budaya postmodern ini bukan lagi keefektifan pesan; postmodern bukan lagi mencari kedalaman makna komunikasi, tetapi hanya mencari kesenangan "bermain-main dengan bahasa" serta kenikmatan lain.  Dalam iklan rokok hampir semua materi iklan yang ditampilkan tidak berhubungan langsung dengan produk yang dipasarkan. Hal ini yang membuat komunikan bertanya-tanya, apa maksud iklan ini dan apa arti iklan-iklan tersebut. Penampilan yang "tidak biasa" untuk model-model iklan di Indonesia dewasa ini; materi iklan LA Light versi Don’t Quit yang begitu kentara mengkonstruksi bagaimana para penikmatnya bisa terbebas dan melakukan apa yang diinginkan dengan mengkonsumsi rokok LA Light. LA Light yang mengusung semangat jiwa muda/kalangan anak muda. LA Light selain melalui iklan televisinya juga bergerak dalam bisnis sponsor, misalnya LA Light Indie Movie, LA Ligth Meet The Labels yang notabene-nya didominasi kalangan muda, tujuannya sudah pasti untuk mengenalkan produk serta untuk memperluas pasar.
Pemilihan dan penggunaan kata “DON’T QUIT menjadi DO IT” dalam iklan LA Light versi Don’t Quit bukan tanpa maksud. Penggunaan kata yang singkat sengaja digunakan untuk memudahkan penulisan, pelafalan, dan mempersingkat durasi, ternyata hal ini juga menjadi pilihan strategi untuk mengkonstruksi istilah-istilah menarik dalam iklan produk rokok LA Light versi Don’t Quit ini. Konstruksi image sengaja dibangun dengan manggunakan simbol-simbol strata kelas sosial, simbol-simbol budaya popoler yang ditonjolkan, misalnya kemewahan, kebebasan, kualitas, citarasa, kemudahan, kenikmatan, aktualisasi, dan simbol-simbol budaya populer dan kelas sosial lainnya. Disinilah inti dari konstruksi iklan atas realitas sosial, bahwa sebenarnya realitas sosial yang ditampilkan dalam iklan adalah sebuah kepalsuan realitas atau realitas yang penuh dengan topeng-topeng media, akan tetapi pada umumnya hampir setiap iklan rokok mudah diterima oleh khalayak/pemirsa.
Sebagaimana realitas sosial lainnya, maka konstruksi iklan televisi juga memiliki nilai acuan yanag dipakai. Nilai acuan itu bisa bersumber dari pencipta iklan televisi, pemilik iklan, atau secara global bersumber dari masyarakat itu semdiri. Dengan demikian, sumber nilai acuan iklan televisi berasal dari bermacam-macam, namun yang jelas bersumber dari tiga komponen tersebut diatas, yaitu: (1) copy-writer dan visualizer; (2) produsen pemilik modal; dan (3) nilai yang hidup di masyarakat (Bungin, 2008 : 164).



















KONSTRUKSI IDENTITAS POSTMODERN BAHASA “DON’T QUIT dan DO IT”
Iklan menjadi sebuah jalan untuk menciptakan dan mengkonstruksi  kondisi budaya atau sosial yang ideal dan menjadikan seseorang menjadi seperti yang diinginkan. Nilai ideal yang seperti apa? Dalam sebuah iklan nilai ideal dibangun untuk menciptakan kesadaran-kesadaran palsu bagi konsumen. Konsumen atau pemirsa dikondisikan, didoktrinasi atau diubah perilakunya oleh tayangan iklan yang berujung pada terbentuknya suatu perasaan imajiner tentang kenyataan/realitas yang ada dalam sebuah iklan. Hampir setiap realitas yang dibentuk dalam sebuah iklan selalu melampaui batas-batas kewajaran atau batas-batas realitas yang ada di masyarakat.
Dari sudut pandang postmodern, seiring dengan meningkatnya perluasan, dan kompleksitas masyarakat modern, identitas menjadi semakin tidak stabil dan semakin bias. Wacana postmodernitas mempersalahkan gagasan identitas, menyatakan bahwa identitas hanyalah mitos dan ilusi. Pada gilirannya, kaum post strukturalis melancarkan serangan terhadap gagasan subyek dan identitas, menyatakan bahwa identitas subyektif itu sendiri merupakan mitos, konstruksi bahasa, simbol, dan memecahkan kontradiksi sosial di masyarakat, suatu ilusi yang dipaksakan.
Identitas yang dimunculkan dalam iklan LA Light versi “Don’t Quit” menggambarkan sebuah proses perubahana diri melalui pilihan kata serta ruang lingkup dimana identitas dimediasi melalui citra dan dimunculkan dalam budaya baru yang saat ini banyak dikenal dengan sebutan budaya kontemporer atau budaya postmodern. Iklan menciptakan ratusan, ribuan, bahkan jutaan atau lebih atas simulasi untuk menanamkan simbol-simbol dari objek yang ada disekitar masyarakat.
Pada awalnya, produk-produk yang ditampilkan dalam iklan berdasarkan kualitas material dan fungsinya. Kemudian berangsur secara bertahap seiring dengan kemajuan teknologi dan aturan-aturan pemerintah yang membatasi tampilan dalam iklan rokok, maka iklan mulai menciptakan ”cara baru” untuk membuat asosiasi dari simbol-simbol yang berasal dari objek dengan suatu gaya hidup atau dengan kehidupan sosial yang sedang populer di masyarakat. Dengan demikian penekanan simbol dalam iklan adalah, bagaimana menciptakan budaya baru, gaya baru untuk mengasosiasi objek dengan sesuatu yang diinginkan oleh masyarakat.
Sifat iklan yang memang mampu secara langsung membidik dan mempengaruhi hasrat ataau keinginan masyarakat, maka bisa dikatakan iklan ini bersifat sangat persuasif. Iklan mampu menciptakan mimpi dan ilusi karena memunculkan gambar yang dimanipulasi. Hal tersebut digunakan untuk menciptakan realitas fantasi karena apa yang nampak di dunia nyata tidak lagi dianggap cukup efektif untuk memperoleh apa yang diinginkan seperti dalam iklan LA Light versi ”Don’t Quit” berikut:
Analisis Gambar
Gambar 1

Gambar satu, tampak terlihat bagaimana cerminan atau gambaran seseorang yang divisualisasikan dengan boneka, dimana boneka manusia ini terbelenggu dan tidak boleh keluar dari dari sebuah lingkungan “don’t quit”.

Gambar 2

Gambar dua, terlihat bagaimana mengkonstruksikan realitas manusia/boneka yang selalu ingin tampil bebas, tidak mau terikat. Hal ini ditampilkan dalam adegan mencoba mendobrak batas-batas aturan “don’t quit” yang ada.
Gambar 3

Gambar tiga, boneka manusia ini terlihat sudah begitu kelelahan berusaha membongkar dan merobohkan dinding pembatas kebebasan “don’t quit”. Ekspresi ketidaknyamanan dalam belenggu, ekspresi kesedian tidak bisa menikmati kebebasan.
Gambar 4

            Gambar empat, terlihat boneka manusia ini melompat lagi dan mencoba lagi merobohkan dinding pembatas kebebasannya “don’t quit”.
 
Gambar 5

Gambar lima, terlihat boneka manusia ini mulai bisa merobohkan satu persatu dengan kekuatan dan keinginannya untuk bisa terbebas dari dinding pembatas “don’t quit”.

Gambar 6

            Gambar enam, boneka manusia sudah bisa mulai tersenyum karena dinding “don’t quit” pembatas kebebasannya mulai runtuh dan berjatuhan, kebebasannya sudah berada di depan mata.
Gambar 7

            Gambar tujuh, pengambilan gambar boneka manusia secara sudut luas untuk memperlihatkan betapa luasnya ketika sudah bisa terbebas dari belenggu “don’t quit” pembatas ruang gerak dan ekspresinya. Kata bertuliskan “don’t quit akhirnya runtuh dan berubah menjadi do it

Gambar 8

            Gambar delapan, dimunculkan logo dari rokok LA Light lengkap dengan jargonnya “Let’s Do It” yang bisa diartikan teruslah menjadi apa yang kamu mau dan lakukan apa yang kamu mau. Dengan mengkonsusmi rokok LA Light maka mereka akan bisa melakukan apa yang mereka inginkan tanpa harus ada batasan-batasan.
Ada prinsip-prinsip lebih mendalam yang ditampilkan oleh tim kreatif/seniman melalui ekspresi budaya postmodernisme dalam iklan rokok ini. Maksud dan tujuan karya-karya postmodernisme bukanlah asal-asalan saja. Sebaliknya postmodern berusaha menyingkirkan konsep mengenai "seorang pengarang/pelukis asli yang merupakan pencetus suatu karya seni". Mereka berusaha menghancurkan ideologi "gaya tunggal" dari modernisme dan menggantikannya dengan budaya "banyak gaya". Untuk mencapai maksud tersebut, para seniman ini memperhadapkan para peminatnya dengan beraneka ragam gaya yang saling bertentangan dan tidak harmonis. Teknik ini - yang mencabut gaya dari akar sejarahnya - dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan berusaha meruntuhkan sejarah/konsep iklan atau peraturan-peraturan yang ada pada awalnya.
Pencampuran gaya, dengan penekanan kepada keanekaragaman, dan penolakan kepada rasionalitas menjadi ciri khas masyarakat kita. Ini semakin terbukti dalam banyak ekspresi iklan-iklan komersial dan juga pada kebudayaan lainnya.

Analisis Bahasa “Don’t Quit dan Do It”

Makna atau meaning merupakan arti asli atau awal ketika teks itu ditulis oleh pengarangnya. Ketika perbincangan makna dituliskan oleh komuniktas bahasa, maka pencarian atau penafsiran makna tempatnya ada di teks tertulis  itu dan teks-teks sejaman (perhitungan waktu) serta yang se-asal lokasi (ruang lokasi). Sebelum makna diberi arti consensus komunitas bahasa dan sebelum ia ditulis, Gadamer (filsuf hermeneutika: ilmu tafsir teks), menamainya sebagai pre-text  (Truth and Metods, 1980). Artinya pra-teks adalah hiruk pikuk wacana pra-tulisan yang harus ditukik pembaca untuk mengungkap makna awal untuk kemudian dijernihkan dalam tatap temu teks (Mudji Sutrisno&Hendar Putranto, 2008:28).
 Prinsip-prinsip penafsiran dalam mendekati makna selalu berada pada teks dan konteks bahasa itu sendiri. Bahasa yang memuat meaning, dicari dan didekati lewat khalayak/masyarakat yang meyaksikan iklan itu bersama dengan kurun waktu dan lokasi (sesuai jamannya). Teks Don’t Quit dalam iklan rokok LA Light merupakaan teks ‘semu’ yang memiliki banyak arti (multi tafsir) di kalangan pemirsanya sendiri. Dengan demikian bisa dikatakan sesuai dengan cirri identitas postmodern yang senang dengan bermain bahasa.  Postmodernisme menawarkan watak yang bertolak belakang dari era pendahulunya (modern) yakni menekankan emosi daripada rasio, media daripada isi, tanda dan makna, kemajemukan daripada penunggalan, kemungkinan daripada kepastian, permainan daripada keseriusan, keterbukaan daripada pemusatan, lokal daripada universal, fiksi daripada fakta, estetika daripada etika, narasi daripada teori. Identitas Postmodern pada kata “Don’t Quit” ini membalikkan atau menentang aturan-aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentang larangan merokok. Permainan bahasa/kata-kata sering dilakukan oleh para tim kreatif iklan, dimana identitas postmodern sering dimunculkan dalam simbol-simbol bahasa. Kata “Don’t” yang artinya “Jangan” kemudian kata “Quit” memiliki multi tafsir yang bisa diartikan kedalam beberapa arti, antara lain: berhenti, keluar, meninggalkan, dan lepas. Artinya jika kata Don’t Quit ini digabungkan banyak memiliki prespektif.
1.      Jangan berenti dari kebiasaan merokok, sedangkan disatu sisi jelas-jelas tertulis peringatan pemerintah akan bahaya merokok.
2.      Jangan keluar dari kebiasaan merokok, anak muda identik dengan rokok dan kebiasaan mengkonsumsi rokok dalam pergaulanny setiap hari.
3.      Jangan meninggalkan kebiasaan merokok
4.      Jangan lepas dari ketergantungan rokok
Kata “Do it” yang artinya “lakukan”. Dengan demikian kata Do it ini .
Pada umumnya khalayak/masyarakat tidak menyadari akan hal itu, bagi masyarakat kebanyakan. Pembentukan realitas bahasa ini tidak terlepas dari peran ‘diri’ pemirsanya yang secara dialektika berhubungan dengan lingkungannya. Dengan kata lain, telah terjadi interanalisasi atas realitas sosial sesungguhnya.      
Pada awal tahun 2000 an LA Light mulai mengasosiasikan yang mengangkat jargon “enjoy aja”, kemudian berubah lagi menjadi “berani enjoy”, dalam perkembangannya saat ini seperti dalam iklan LA Light versi “DON’T QUIT” membawa jargon “Let’s Do It”. Melalui pesan-pesannya iklan rokok LA Light ini mencoba menghubungkan rokoknya dengan semangat anak muda yang harus enjoy, berani tampil apa adanya, `dan harus mau melakukan apa yang ingin dilakukan. Sehingga tampilan-tampilan dalam gambar/video iklan serta audionya bisa menutupi fakta-fakta dibalik rokok itu sendiri yang penuh dengan racun berbahaya, pengawet, dan masih banyak bahan kimia lainnya.
Iklan LA Light versi “Don’t Quit” menganggap manusia adalah boneka yang bisa dikendalikan oleh produsen rokok yang bisa diarahkan, diperintahkan dan tunduk pada pesan-pesan iklan televisi yang kita saksikan.
Postmodern sangat terlihat jelas dalam mengintervensi kreativitas seni yang sering diinterpretasikan sebagai reaksi terhadap larangan-larangan / aturan-aturan tampilan dalam iklan rokok. Para kreator iklan menciptakan realitas baru, mengkonstruksi identitas baru di masyarakat yang mulai mengalami kejenuhan-kejenuhan dengan hal-hal yang normatif,  biasa-biasa saja. Tidak diragukan lagi identitas postmodern dalam iklan LA Light versi “Don’t Quit” ini sangat kental dan sangat melekat. Terlihat dari penggambaran manusia itu seperti boneka yang bisa dimaikan/diarahkan, keterbatasan ruang gerak boneka, ada nuansa khas yang muncul dalam kata “do it”. Secara denotatif kata ini menunjukkan atau juga mengajak “lakukanlan”, namun ketika sudah digabungkan dengan “Let’s do it”, konotasi yang muncul adalah jiwa muda yang bebas melakukan apa yang ingin dilakukan.
Sebagai bagian dari duania komunikasi, maka iklan LA Light ini selalu menggunakan permainan bahasa sebagai media utama untuk melakukan konstruksi realitas sosial di masyarakat. Kaum postmodern mengganggap begitu pentingnya olah kata/bahasa sebagai media penyampai utama dalam iklan, maka di dalam iklan bahasa digunakan untuk semua kepentingan iklan itu sendiri.  Bahasa juga merupakan sebagian dari seni periklanan. Artinya iklan merupakan seni komunikasi visual yang digunakan untuk menarik bagaimana agar permainan bahasa itu semakin menjual/bertujuan tuntuk menjual. Iklan itu merupakan kreativitas seni untuk mencerminkan suatu keadaan masyarakat tertentu sesuai dengan segmen dari produknya melalui permainan bahasanya yang sering menabrak aturan-aturan atau sindirian-sindiran dengan munculnya berbagai larangan (dalam hal ini iklan rokok LA Light versi Don’t Quit). Iklan itu untuk berbisnis, segala sesuatu yang ditampilkan dalam iklan ditujukan untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dengan segala cara berusaha mempengaruhi konsumennya untuk terus mengkonsumsi produk yang ditawarkan.
Jadi dapat ditarik kesimpulan dalam iklan permainan bahasa itu digunakan dengan beberapa tujuan. Pertmana sebagai media komunikasi visual. Kedua bahasa digunakan untuk menciptakan sebuah realitas. Sebagai media komunikasi, maka iklan bersifat informative sedangkan sebagai wacana realitas, maka iklan adalah seni dimana orang menggunakan bahasa untuk menciptakan dunia yang diinginkan. Ketiga, bahasa dalam iklan sering ditampilkan sebagai wujud sindiran-sindiran baik terhadap produk pesaing ataupun sindiran untuk aturan-aturan dan larangan-larangan pemerintah. Disitulah letak identitas postmodern dalam permainan bahasa iklan.  





























DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan, 2008, Konstruksi Sosial Media Massa, Kencana, Jakarta

Kellner, Douglas, 2010, Budaya Media, Jalasutra, Yogyakarta

Mudji Sutrisno&Hendar Putranto, 2008, Cultural Studies “Tantangan Bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan, Koekoesan, Jakarta

Sastro Subroto,Darwanto, 2007, Televisi Sebagai Media Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Surat Kabar Harian Kompas, Sabtu, 1 Juni 2013, Jakarta

Tuwu, Alimuddin, 2007, Televisi dan Islam, Citra Media, Yogyakarta

 



perjalanan