EPISTIMOLOGIS ILMU PENGETAHUAN MENURUT JURGEN HABERMAS
A. Sekilas
tentang Habermas
Jurgen
Habermas, lahir di Jerman pada 18 Juni 1929, termasuk seorang filsuf yang
paling berpengaruh di abad kontemporer. Pergulatan pemikirannya terbentuk
setelah ia memasuki sebuah aliran filsafat yang sejak 60 tahun semakin
berpengaruh dalam dunia filsafat maupun ilmu-ilmu sosial, yaitu filsafat
kritis, yang tergabung dalam Mazhab Frankfurt (Suseno, 1997: 175). Habermas
merupakan anak Ketua Kamar Dagang propinsi Rheinland Westfalen di Jerman Barat.
Ia dibesarkan di Gummersbach, sebuah kota menengah di Jerman dengan dinamika
lingkungan Borjuis-Protestan.
Dia
seorang filsuf generasi kedua yang terkenal dari Frankfurt School of Social
Research. Habermas meraih gelar Ph.D setelah menyelesaikan disertasinya yang
membicarakan bagaimana pertentangan antara yang mutlak dan sejarah dalam
pemikiran Schelling. Habermas juga diangkat sebagai asisten Theodor Adorno di
Frankfurt yang kemudian dia diangkat manjadi professor filsafat sekaligus
direktur daripada Institut Max Planck di Starberg
Dia menentukan
minatnya pada filsafat secara serius di Universitas Bonn, di mana tahun 1954,
ia meraih gelar doktor filsafat dengan sebuah disertasi berjudul Das Absolute
und dia Geshiclite (Yang Absolut dan Sejarah), yang merupakan studi tentang
pemikiran Schelling (Bertens, 2002: 236).
Meskipun
Habermas merupakan anggota dalam mazhab Frankfurt yang sangat dipengaruhi oleh
karya Hegel dan Marx, Habermas menolak teori yang membahas pesimisme yang ada
pada generasi pertama sebelumnya yang dikemukakan Marx. Seperti sependapat
dengan pendapat Weber.
Karya-karya dari
seorang habermas diantaranya adalah :
1. Legitimationsprobleme im Spatkapitalismus (Masalah legitimasi dalam
kapitalisme kemudian hari, 1973)
2. Kultur und Kritik (Kebudayaan dan Kritik, 1973)
3. Zur Rekonstruktion des Historischen Materialismus (Demi rekonstruksi
materialisme historis, 1976).
4. Theorie des
kommunikativen Handelns (Teori tentang praksis komunikatif, dua jilid, 1981).
B. Epistimologi
Ilmu Pengetahuan menurut Habermas
Habermas membagi
tiga kelompok ilmu pengetahuan diantaranya :
1. Kelompok ilmu empiris, adalah ilmu alam yang menggunakan paradigma
positivisme, kepentingannya adalah menaklukkan, menemukan hukum-hukum dan
mengontrol alam.
2. Ilmu-ilmu humaniora, yang memiliki kepentingan praktis dan saling
memahami, seperti ilmu pengetahuan sosial budaya. Kepentingan ilmu ini bukan
untuk mendominasi atau menguasai, juga bukan membebaskan, tetapi memperluas
saling pemahaman.
3. Ilmu kritis yang
dikembangkan melalui refleksi diri, sehinga melalui refleksi diri, kita dapat
memahami kondisi-kondisi yang tidak adil dan tidak manusiawi dalam kehidupan.
Kepentingannya adalah emansipatoris.
Habermas
menolak sikap yang dikatakan sebagai bebas nilai dalam bentuk ilmu pengetahuan,
menurutnya semua ilmu pengetahuan dan pembentukan teori selalu dibarengi oleh
interest-kognitif atau kepentingan konstitutif – pengetahuan tertentu yaitu
suatu orientasi dasar yang mempengaruhi jenis pengetahuan dan objek pengetahuan
dan objek pengetahuan tertentu
Melalui pidato
pengukuhannya sebagai guru besar di Universitas Frankfurt Habermas berusaha
mengembalikan ilmu pada posisinya sebagai salah satu (bukan satu-satunya)
bentuk pengetahuan yang mungkin mengenai kenyataan. Habermas menunjukan bahwa
situasi keilmuwan tersebut membutuhkan suatu pandangan kritis dari ilmu-ilmu
sosial. Pandangan kritis tersebut berfungsi untuk meneropong
kepentingan-kepentingan penguasaan yang tanpa disadari telah menjerumuskan
teori-teori positivis itu ke dalam bahaya. Tegasnya, Ilmu-ilmu sosial
kemanusiaan tidak boleh mengacu pada ilmu-ilmu alam. Harus dikatakan bahwa
ilmu-ilmu manusia mempunyai nilai yang khas dan, karenanya, sama sekali lain
dari ilmu-ilmu alam dimaksud.
C. Kritik Habermas
terhadapat teori sebelumnya
Meskipun
sejalan dengan Husserl, Habermas menihilkan konsep teori sejati yang dipahami
oleh fenomenologi Husserl tersebut. Fenomenologi Husserl memang berusaha
menemukan hubungan antara teori dengan dunia kehidupan yang dihayati (Santoso,
2003: 231). Tetapi Habermas tidak setuju akan tujuan akhir fenomenologi untuk
menghasilkan teori murni yang diyakini dapat diterapkan pada praktik.
Teori
murni hasil pendekatan fenomenologi itu juga merupakan tujuan ontologi. Husserl
memang berhasil mengkritik positivisme, tetapi, menurut Habermas, dia tidak
melihat kaitan positivisine dengan ontologi dalam hal pemahaman tentang teori
murni itu. Berdasarkan pemahaman ini, Habermas mencoba mengembalikan pendasaran
epistemologinya pada konsep asli tentang ‘theoria’, yang artinya
kontemplasi dalam kosmos atau realitas, yang berakar pada tradisi kontemplasi
Yunani Kuno. Melalui kontemplasi. filsuf memisahkan unsur-unsur yang tetap dan
yang berubah-ubah.
Usaha
untuk menemukan tatanan yang tetap abadi di dalam kosmos dan seluruh realitas
itulah yang merupakan dasar proses perubahan teori menjadi ontologi. Yang ingin
dicapai oleh ontologi adalah sebuah penjelasan obyektif tentang seluruh
realitas, atau dengan kata lain, teori murni. Habermas berusaha mengaitkan
usaha untuk memperoleh teori murni dengan proses emansipasi (Hardiman, 1993:
5-6).
Pencarian
teori murni untuk menemukan tatanan kosmos yang bersifat tetap dan abadi,
menurut Habermas, merupakan ikhtiar yang sia-sia atau ilusi, ketika subyektivitas
peneliti `dihilangkari. Bagaimana mungkin dapat diperoleh sebuah penjelasan
ilmiah yang bersih dari kepentingan-kepentingan subyek peneliti, tatkala subyek
ikut terintegrasi dalam kegiatan tersebut. Bagi Habermas, dengan menyembunyikan
kaitan pengetahuan dengan kepentingan dan pengklaiman diri obyektif, ilmu
pengetahuan akan melaksanakan kepentingannya.
Kepentingan
ini hilang dalam setiap perbincangan mengenai ilmu, dan tugas teori kritis,
menurut Habermas, adalah menunjukkan kepentingan-kepentingan (Hardiman, 1993:
7). Pertautan antara pengetahuan dengan kepentingan tersebut dijelaskan dalam
tiga cakupan ilmu yaitu; Pertama, ilmu-ilmu empiris-analitis (ilmu-ilmu alam)
yang berada pada kepentingan teknis untuk menguasai proses-proses yang dianggap
obyektif. Sistem acuan ilmu-ilmu ini adalah penguasaan teknis; kedua, ilmu-ilmu
historis-hermeneutis yang berusaha memahami makna (Sinnverstehen), dan
bukan menjelaskan (Erklaren) fakta yang diobservasi. Dalam terminologi
ini maka tugas penafsir memegang peranan penting untuk mengkomunikasikan makna
dalam fakta. Pada konteks ini, kepentingan praktis ditekankan untuk mencapai
saling pengertian atau consensus; ketiga , ilmu-ilmu kritis merupakan usaha
lebih lanjut terhadap apa yang dilakukan oleh ilmu-ilmu sosial dalam
menjelaskan berbagai tingkah laku sosial.
Pernyataan
dan teori-teori sosial cenderung mengenai proles-proses sosial tersebut sebagai
keniscayaan sebagaimana ilmu-ilmu alam. Lebih dari usaha tersebut, ilmu-ilmu
kritis berusaha menunjukkan bahwa keajegan-keajegan tertentu yang merupakan
pola hubungan ketergantungan ideologis pada dasarnya dapat diubah. Apa yang
dianggap sebagai `hukum-hukum' yang mengatur proses proses sosial itu, dianggap
sudah tidak berlaku. Sebagai contoh metodenya Habermas menyebut `refleksi diri'
(substreflexion).
Kepentingan
yang berkaitan dengan proses refleksi diri ini adalah kepentingan
kognitif-emansipatoris. Melalui refleksi diri, orang harus dibebaskan dari
segala sesuatu yang mendominasi, yang membelenggu dan mengarah pada kemungkinan
adanya hubungan-hubungan ketergantungan tersebut (Hardiman, 1993: 165-178).
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa hubungan antara kepentingan dengan pengetahuan
tersebut hanyalah kepentingan teknis belaka yang telah menghasilkan ilmu-ilmu
empiris-analitis, baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial empiris. Dominasi
kepentingan teknis menjadikan ilmu-ilmu empiris-teknis lebih berhubungan dengan
kekuatan-kekuatan produktif atau berorientasi pada usaha untuk melakukan
kontrol teknis atas alam, manusia dan masyarakat. Sementara dominasi
kepentingan praktis telah menghasilkan ilmu-ilmu historis-hermeneutis, baik
ilmu-ilmu humaniora maupun ilmu sosial-simbolis.
Kepentingan
ini bertujuan menjadi bagian dari kekuatan-kekuatan komunikatif yang memajukan
interaksi sosial, yaitu dapat memperluas intersubyektivitas otentik serta
mengurangi intersubyektivitas yang tertindas maupun yang tidak
terartikulasikan. Sedangkan ilmu-ilmu kritis lebih menekankan diri pada
kepentingan kognitif emansipatoris melalui kekuatan refleksi diri untuk
melakukan kerja emansipatons manusia dari kesadaran palsu (Hardiman,1993:
192-193).
Daftar Pustaka
Bertens,
K. 2002. Filsafat Barat Kontemporer, Inggris – Jerman, edisi IV. Jakarta
: Gramedia. Bleicher, Josep. 1980.
Fautanu, Idzam, Filsafat Ilmu teori
dan Aplikasi, (Cet.1: Jakarta, 2012
Habermas,
Jurgen. Maret 2007. Teori Tindakan Komunikatif II: Kritik atas Rasio
Fungsionaris. Terjemahan oleh Nurhadi. Kreasi Wacana Yogyakarta
Hardiman,
Budi. 1990. Kritik Idiologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Yogyakarta:
Kanisius.
Suseno,
Fran Magnis. 1997. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius.
No comments:
Post a Comment