KONSTRUKSI
IDENTITAS POSTMODERN
DALAM
IKLAN LA LIGHT VERSI “DON’T QUIT”
TELEVISI
dan IKLAN
Ensiklopedi
Britanika mendefinisikan televisi adalah transmisi gambar-gambar gerak elektrik
dan transmisi elektrik simultan yang dilengkapi dengan suara. Kamus Ensiklopedi
The Reader’s Great mendefinisikan televisi adalah reproduksi visual
secara simultan dari adegan-adegan sasaran pertunjukan dan sebagainya yang
diterima dari jarak jauh. Sedangkan di dalam Ensiklopedi Internasional
dijelaskan definisi televisi adalah perangkat unik yang membedakan televisi
dengan radio adalah konversi gambar ke dalam denyut listrik kemudian dikonversi
kembali dalam gambar yang sebenarnya (Alimuddin, 2007 : 1).
Televisi adalah
sebuah pengalaman yang kita terima begitu saja. Kendati demikian, televisi juga
merupakan sesuatu yang membentuk cara berpikir kita tentang dunia. Perkembangan
televisi sebagai media massa begitu pesat dan sangat dapat dirasakan
manfaatnya. Dalam waktu yang relatif singkat, televisi dapat menjangkau wilayah
dan jumlah penonton yang tidak terbatas (Darwanto, 2007:26). Dewasa ini televisi telah menjadi salah satu bentuk
media komunikasi sosial yang populer dan berkembang luas di masyarakat. Terutama dalam masyarakat industri maju,
situasi nyaris sangat universal hampir setiap rumah memiliki lebih dari
satu pesawat televisi.
Dari penjelasan di
atas, dapat dilihat bahwa perkembangan dunia televisi menyalip media-media yang
lebih dulu ada, seperti media cetak dan radio. Jumlah peredaran pesawat
televisi yang ada di masyarakat dan jumlah belanja iklan untuk media televisi
menunjukkan bahwa media televisi nyata sebagai media strategis. Kepemilikan dan
kehadiran televisi di masyarakat telah mendorong untuk melihat posisi televisi
dalam perubahan sosial dan kultur budaya yang begitu pesat. Hal tersebut
menjadikan televisi tidak hanya sebagai media hiburan semata. Televisi juga
mempunyai konsekuensi-konsekuensi untuk menghadirkan siaran berita, pendidikan,
kebudayaan, dan sosial yang mempunyai peran penting kehadirannya dalam
kehidupan keluarga.
Membincangkan televisi tentunya tidak bisa lepas
dari program-program acara yang ditayangkan di dalamnya. Bagi setiap stasiun
televisi tentunya membutuhan biaya operasional yang tidak sedikit jumlahnya,
dalam hal ini iklan menjadi sponsor atau penyandang dana terbesar atas
berlangsungnya penyiaran/program acara televisi.
Dalam
sejarah, terbukti periklanan telah ada kurang lebih 3000 tahun yang lalu.
Periklanan awalnya ditemukan di zaman Mesopotamia dan Babilonia, 1992 : 2,
(dalam Bungin, 2008 : 73). Dunia periklanan di Indonesia kini semakin menunjukkan
perkembangan yang pesat baik melalui media televisi maupun media online.
Periklanan merupakan salah satu strategi yang dilakukan guna menghadapi
persaingan produk jasa maupun barang. Secara signifikan iklan mampu memengaruhi
khalayak. Dalam hitungan detik iklan menyampaikan informasi untuk mengubah cara pandang
calon konsumen/khalayak dalam membuat suatu keputusan. Salah satu iklan yang
cukup kuat mempengaruhi khalayak dan banyak diperbincangkan di dunia periklanan
adalah iklan rokok.
Sebagaimana
tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003
tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan, rokok merupakan salah satu zat adiktif
yang bila digunakan mengakibatkan bahaya bagi kesehatan. Kemudian diperbaharui
lagi dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 tentang
Pengamanan bahan yang mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi
Kesehatan. Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi melengkapi Peraturan Pemerintah
sebelumnya tentang peraturan tentang iklan rokok melalui Permenkes Nomor 28
Tahun 2013. Selain meluncurkan Permenkes No 28/2013, Nafsiah juga meluncurkan
Peta Jalan Dampak Konsumsi Rokok bagi Kesehatan. Peringatan kesehatan yang
dimaksud dalam Permenkes No 28/2013 berupa gambar penyakit akibat rokok, (disediakan
5 gambar) dan tulisan “Peringatan”. Gambar itu terdiri atas gambar kanker
tenggorokan, kanker paru, kanker mulut, asap yang membentuk tenggorokan, dan
gambar orang merokok dengan gambar anak di dekatnya. Adapun informasi kesehatan
harus memuat kandungan nikotin dan tar, pernyataan “Dilarang menjual dan member
kepada anak dibawah 18 tahun dan perempuan hamil”, kode, tanggal, bulan, dan tahun
produksi, serta nama dan alamat produsen. Disamping itu, dapat ditambahkan
bahkan pernyataan “Tidak ada batas aman” dan “Mengandung lebih dari 4000 zat
kimia berbahaya serta lebih dari 43 zat penyebab kanker”. Jenis huruf, ukuran
huruf, kualitas warna gambar, letak peringatan, dan informasi kesehatan diatur
dalam Permenkes ini. Kemasan rokok juga dilarang memuat keterangan menyesatkan
atau kata-kata promotif. Selain itu, dilarang memuat kata-kata yang
mengindikasikan kualitas, superioritas, pencitraan, dan rasa aman (Kompas 1
Juni 2013 : 14).
Realitasnya iklan rokok
cukup banyak hadir di masyarakat dan jumlah konsumen rokok pun tinggi. Jelas
bahwa mengonsumsi rokok berdampak pada rendahnya kualitas kesehatan masyarakat
sebagai perokok aktif, bahkan juga bagi orang di sekitarnya (perokok pasif). Kehadiran
iklan rokok masih cenderung dinikmati oleh khalayak melalui daya tarik
pengemasan iklan dengan appeals yang beragam sedangkan secara substansi memperoleh
perhatian terbatas. Iklan mampu mengonstruksi image produk
secara objektif. Televisi menjadi media yang sangat efektif untuk
beriklan menyajikan bermacam iklan rokok dalam berbagai varian. Iklan Dji Sam
Soe menggambarkan realitas berbagai maha karya Indonesia, salah satunya rokok
Dji Sam Soe itu sendiri. Iklan yang mengusung tema menuju perubahan ke arah
kehidupan yang lebih baik dan sukses seperti iklan rokok New Dunhill Mild
dengan tag line “Time to Change. Iklan rokok Surya 16 dengan tag
line ‘Drive for Success’. Image produk diciptakan
melalui pengemasan pesan baik verbal maupun non verbal (visual). Image
produk diciptakan melalui pengemasan pesan baik verbal maupun non verbal
(visual). Realitas bahasa yang digunakan dalam iklan TVC mampu memberi kesan
yang kuat kepada khalayak. Iklan-iklan itu mampu membawa penonton kepada
kesan dunia lain melalui adegan-adegan maupun kesan realistis yang dibangun.
Pemilihan
televisi sebagai media iklan rokok mampu menciptakan rekayasa/konstruksi yang optimal.
Iklan berupaya meninggalkan kesan tertentu yang bersifat umum. Tidak bisa dipungkiri
bahwa iklan rokok sengaja mengarahkan pada kesan spektakuler karena produk
rokok yang dekat dengan segmen pasar seperti remaja yang cenderung mengagumi
peristiwa spektakuler.
Berbagai
macam tema yang mengusung latas dan konteks sosial dalam iklan merupakan bagian
dalam perencanaan iklan yang menunjukkan di mana cerita-cerita itu dikonstruksi
sedemikian rupa. Hal ini mampu mempertegas image produk meskipun tanpa
menampilkan wujud produk rokok yang diusung dalam iklan. Gambaran ini baru sebagian
kecil dari iklan yang hadir di media televisi. Modifikasi iklan akan terus
berkembang sejalan dengan perkembangan kreativitas pencipta iklan itu sendiri
terlebih dengan perkembangan media di era berbasis teknologi komunikasi.
Kehadiran
iklan dalam mengkonstruksi identitas postmodern bisa dikatakan cukup berhasil
dalam mempengaruhi khalayak. Pendekatan postmodern tidak menganggap
identitas sebagai sesuatu yang didapat begitu saja, tetapi sesuatu yang sengaja
dibangun dalam narasi, teks, video, pidato dan media lain yang dapat digunakan
dalam penyampaiannya.
KONSTRUKSI REALITAS SOSIAL
Iklan
televisi hadir dengan proses yang panjang dalam penggarapan iklan itu sendiri.
Iklan televisi memang merupakan jenis iklan yang paling enak ditonton dan
pesan-pesan yang disampaikan mudah ditangkap. Selain itu iklan televisi
terlihat hidup, terlihat sangat realistis karena berupa audio visual, meskipun
itu semua merupakan sebuah konstruksi dari realitas yang ada di masyarakat. Bagaimana
iklan yang ditayangkan membawa dan menanamkan ideologi baru kepada khalayaknya
untuk akhirnya meniru atas apa yang disaksikan di layar televisi.
Ideologi
periklanan ini sejalan postmodern yang dalam permainan bahasanya lebih bersifat
ironis, yang dituju budaya postmodern ini bukan lagi keefektifan pesan;
postmodern bukan lagi mencari kedalaman makna komunikasi, tetapi hanya mencari
kesenangan "bermain-main dengan bahasa" serta kenikmatan lain. Dalam iklan rokok hampir semua materi iklan
yang ditampilkan tidak berhubungan langsung dengan produk yang dipasarkan. Hal
ini yang membuat komunikan bertanya-tanya, apa maksud iklan ini dan apa arti
iklan-iklan tersebut. Penampilan yang "tidak biasa" untuk model-model
iklan di Indonesia dewasa ini; materi iklan LA Light versi Don’t Quit yang begitu kentara mengkonstruksi bagaimana para
penikmatnya bisa terbebas dan melakukan apa yang diinginkan dengan mengkonsumsi
rokok LA Light. LA Light yang mengusung semangat jiwa muda/kalangan anak muda.
LA Light selain melalui iklan televisinya juga bergerak dalam bisnis sponsor,
misalnya LA Light Indie Movie, LA Ligth
Meet The Labels yang notabene-nya didominasi kalangan muda, tujuannya sudah
pasti untuk mengenalkan produk serta untuk memperluas pasar.
Pemilihan
dan penggunaan kata “DON’T QUIT
menjadi DO IT” dalam iklan LA Light
versi Don’t Quit bukan tanpa maksud. Penggunaan
kata yang singkat sengaja digunakan untuk memudahkan penulisan, pelafalan, dan
mempersingkat durasi, ternyata hal ini juga menjadi pilihan strategi untuk
mengkonstruksi istilah-istilah menarik dalam iklan produk rokok LA Light versi Don’t Quit ini. Konstruksi image sengaja
dibangun dengan manggunakan simbol-simbol strata kelas sosial, simbol-simbol
budaya popoler yang ditonjolkan, misalnya kemewahan, kebebasan, kualitas,
citarasa, kemudahan, kenikmatan, aktualisasi, dan simbol-simbol budaya populer
dan kelas sosial lainnya. Disinilah inti dari konstruksi iklan atas realitas
sosial, bahwa sebenarnya realitas sosial yang ditampilkan dalam iklan adalah
sebuah kepalsuan realitas atau realitas yang penuh dengan topeng-topeng media,
akan tetapi pada umumnya hampir setiap iklan rokok mudah diterima oleh
khalayak/pemirsa.
Sebagaimana realitas sosial lainnya,
maka konstruksi iklan televisi juga memiliki nilai acuan yanag dipakai. Nilai
acuan itu bisa bersumber dari pencipta iklan televisi, pemilik iklan, atau
secara global bersumber dari masyarakat itu semdiri. Dengan demikian, sumber
nilai acuan iklan televisi berasal dari bermacam-macam, namun yang jelas
bersumber dari tiga komponen tersebut diatas, yaitu: (1) copy-writer dan visualizer;
(2) produsen pemilik modal; dan (3) nilai yang hidup di masyarakat (Bungin,
2008 : 164).
KONSTRUKSI IDENTITAS POSTMODERN BAHASA “DON’T QUIT dan DO IT”
Iklan
menjadi sebuah jalan untuk menciptakan dan mengkonstruksi kondisi budaya atau sosial yang ideal dan
menjadikan seseorang menjadi seperti yang diinginkan. Nilai ideal yang seperti
apa? Dalam sebuah iklan nilai ideal dibangun untuk menciptakan
kesadaran-kesadaran palsu bagi konsumen. Konsumen atau pemirsa dikondisikan,
didoktrinasi atau diubah perilakunya oleh tayangan iklan yang berujung pada
terbentuknya suatu perasaan imajiner tentang kenyataan/realitas yang ada dalam
sebuah iklan. Hampir setiap realitas yang dibentuk dalam sebuah iklan selalu
melampaui batas-batas kewajaran atau batas-batas realitas yang ada di masyarakat.
Dari
sudut pandang postmodern, seiring dengan meningkatnya perluasan, dan
kompleksitas masyarakat modern, identitas menjadi semakin tidak stabil dan
semakin bias. Wacana postmodernitas mempersalahkan gagasan identitas,
menyatakan bahwa identitas hanyalah mitos dan ilusi. Pada gilirannya, kaum post
strukturalis melancarkan serangan terhadap gagasan subyek dan identitas,
menyatakan bahwa identitas subyektif itu sendiri merupakan mitos, konstruksi
bahasa, simbol, dan memecahkan kontradiksi sosial di masyarakat, suatu ilusi
yang dipaksakan.
Identitas
yang dimunculkan dalam iklan LA Light versi “Don’t Quit” menggambarkan sebuah proses perubahana diri melalui
pilihan kata serta ruang lingkup dimana identitas dimediasi melalui citra dan
dimunculkan dalam budaya baru yang saat ini banyak dikenal dengan sebutan
budaya kontemporer atau budaya postmodern. Iklan menciptakan ratusan, ribuan,
bahkan jutaan atau lebih atas simulasi untuk menanamkan simbol-simbol dari
objek yang ada disekitar masyarakat.
Pada awalnya, produk-produk yang ditampilkan dalam iklan berdasarkan
kualitas material dan fungsinya. Kemudian berangsur secara bertahap seiring
dengan kemajuan teknologi dan aturan-aturan pemerintah yang membatasi tampilan
dalam iklan rokok, maka iklan mulai menciptakan ”cara baru” untuk membuat
asosiasi dari simbol-simbol yang berasal dari objek dengan suatu gaya hidup
atau dengan kehidupan sosial yang sedang populer di masyarakat. Dengan demikian
penekanan simbol dalam iklan adalah, bagaimana menciptakan budaya baru, gaya
baru untuk mengasosiasi objek dengan sesuatu yang diinginkan oleh masyarakat.
Sifat iklan yang memang mampu secara langsung membidik
dan mempengaruhi hasrat ataau keinginan masyarakat, maka bisa dikatakan iklan
ini bersifat sangat persuasif. Iklan mampu menciptakan mimpi dan ilusi karena
memunculkan gambar yang dimanipulasi. Hal tersebut digunakan untuk menciptakan
realitas fantasi karena apa yang nampak di dunia nyata tidak lagi dianggap
cukup efektif untuk memperoleh apa yang diinginkan seperti dalam iklan LA Light
versi ”Don’t Quit” berikut:
Analisis Gambar
Gambar 1
Gambar
satu, tampak terlihat bagaimana cerminan atau gambaran seseorang yang
divisualisasikan dengan boneka, dimana boneka manusia ini terbelenggu dan tidak
boleh keluar dari dari sebuah lingkungan “don’t
quit”.
Gambar 2
Gambar dua, terlihat bagaimana mengkonstruksikan realitas
manusia/boneka yang selalu ingin tampil bebas, tidak mau terikat. Hal ini
ditampilkan dalam adegan mencoba mendobrak batas-batas aturan “don’t quit” yang ada.
Gambar 3
Gambar
tiga, boneka manusia ini terlihat sudah begitu kelelahan berusaha membongkar
dan merobohkan dinding pembatas kebebasan “don’t
quit”. Ekspresi ketidaknyamanan dalam belenggu, ekspresi kesedian tidak bisa
menikmati kebebasan.
Gambar 4
Gambar empat, terlihat boneka
manusia ini melompat lagi dan mencoba lagi merobohkan dinding pembatas
kebebasannya “don’t quit”.
Gambar 5
Gambar lima, terlihat boneka manusia ini mulai bisa
merobohkan satu persatu dengan kekuatan dan keinginannya untuk bisa terbebas
dari dinding pembatas “don’t quit”.
Gambar 6
Gambar enam, boneka manusia sudah
bisa mulai tersenyum karena dinding “don’t
quit” pembatas kebebasannya mulai runtuh dan berjatuhan, kebebasannya sudah
berada di depan mata.
Gambar 7
Gambar tujuh, pengambilan gambar
boneka manusia secara sudut luas untuk memperlihatkan betapa luasnya ketika
sudah bisa terbebas dari belenggu “don’t
quit” pembatas ruang gerak dan ekspresinya. Kata bertuliskan “don’t quit akhirnya runtuh dan berubah
menjadi do it”
Gambar 8
Gambar delapan, dimunculkan logo
dari rokok LA Light lengkap dengan jargonnya “Let’s Do It” yang bisa diartikan teruslah menjadi apa yang kamu mau
dan lakukan apa yang kamu mau. Dengan mengkonsusmi rokok LA Light maka mereka
akan bisa melakukan apa yang mereka inginkan tanpa harus ada batasan-batasan.
Ada
prinsip-prinsip lebih mendalam yang ditampilkan oleh tim kreatif/seniman
melalui ekspresi budaya postmodernisme dalam iklan rokok ini. Maksud dan tujuan
karya-karya postmodernisme bukanlah asal-asalan saja. Sebaliknya postmodern
berusaha menyingkirkan konsep mengenai "seorang pengarang/pelukis asli
yang merupakan pencetus suatu karya seni". Mereka berusaha menghancurkan
ideologi "gaya tunggal" dari modernisme dan menggantikannya dengan
budaya "banyak gaya". Untuk mencapai maksud tersebut, para seniman
ini memperhadapkan para peminatnya dengan beraneka ragam gaya yang saling
bertentangan dan tidak harmonis. Teknik ini - yang mencabut gaya dari akar
sejarahnya - dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan berusaha meruntuhkan
sejarah/konsep iklan atau peraturan-peraturan yang ada pada awalnya.
Pencampuran
gaya, dengan penekanan kepada keanekaragaman, dan penolakan kepada rasionalitas
menjadi ciri khas masyarakat kita. Ini semakin terbukti dalam banyak ekspresi iklan-iklan
komersial dan juga pada kebudayaan lainnya.
Analisis Bahasa “Don’t Quit dan Do It”
Makna atau meaning
merupakan arti asli atau awal ketika teks itu ditulis oleh pengarangnya. Ketika
perbincangan makna dituliskan oleh komuniktas bahasa, maka pencarian atau
penafsiran makna tempatnya ada di teks tertulis
itu dan teks-teks sejaman (perhitungan waktu) serta yang se-asal lokasi
(ruang lokasi). Sebelum makna diberi arti consensus komunitas bahasa dan
sebelum ia ditulis, Gadamer (filsuf hermeneutika: ilmu tafsir teks), menamainya
sebagai pre-text (Truth
and Metods, 1980). Artinya pra-teks adalah hiruk pikuk wacana pra-tulisan
yang harus ditukik pembaca untuk mengungkap makna awal untuk kemudian dijernihkan
dalam tatap temu teks (Mudji Sutrisno&Hendar Putranto, 2008:28).
Prinsip-prinsip
penafsiran dalam mendekati makna selalu berada pada teks dan konteks bahasa itu
sendiri. Bahasa yang memuat meaning,
dicari dan didekati lewat khalayak/masyarakat yang meyaksikan iklan itu bersama
dengan kurun waktu dan lokasi (sesuai jamannya). Teks Don’t Quit dalam iklan
rokok LA Light merupakaan teks ‘semu’ yang memiliki banyak arti (multi tafsir)
di kalangan pemirsanya sendiri. Dengan demikian bisa dikatakan sesuai dengan
cirri identitas postmodern yang senang dengan bermain bahasa. Postmodernisme menawarkan watak yang bertolak
belakang dari era pendahulunya (modern) yakni menekankan emosi daripada rasio,
media daripada isi, tanda dan makna, kemajemukan daripada penunggalan,
kemungkinan daripada kepastian, permainan daripada keseriusan, keterbukaan
daripada pemusatan, lokal daripada universal, fiksi daripada fakta, estetika
daripada etika, narasi daripada teori. Identitas Postmodern pada kata “Don’t
Quit” ini membalikkan atau menentang aturan-aturan yang dikeluarkan oleh
pemerintah tentang larangan merokok. Permainan bahasa/kata-kata sering
dilakukan oleh para tim kreatif iklan, dimana identitas postmodern sering
dimunculkan dalam simbol-simbol bahasa. Kata “Don’t” yang artinya “Jangan”
kemudian kata “Quit” memiliki multi tafsir yang bisa diartikan kedalam beberapa
arti, antara lain: berhenti, keluar, meninggalkan, dan lepas. Artinya jika kata
Don’t Quit ini digabungkan banyak memiliki prespektif.
1. Jangan
berenti dari kebiasaan merokok, sedangkan disatu sisi jelas-jelas tertulis
peringatan pemerintah akan bahaya merokok.
2. Jangan
keluar dari kebiasaan merokok, anak muda identik dengan rokok dan kebiasaan
mengkonsumsi rokok dalam pergaulanny setiap hari.
3. Jangan
meninggalkan kebiasaan merokok
4. Jangan
lepas dari ketergantungan rokok
Kata “Do it” yang artinya “lakukan”. Dengan demikian kata Do
it ini .
Pada umumnya
khalayak/masyarakat tidak menyadari akan hal itu, bagi masyarakat kebanyakan.
Pembentukan realitas bahasa ini tidak terlepas dari peran ‘diri’ pemirsanya
yang secara dialektika berhubungan dengan lingkungannya. Dengan kata lain,
telah terjadi interanalisasi atas realitas sosial sesungguhnya.
Pada awal tahun 2000 an
LA Light mulai mengasosiasikan yang mengangkat jargon “enjoy aja”, kemudian
berubah lagi menjadi “berani enjoy”, dalam perkembangannya saat ini seperti
dalam iklan LA Light versi “DON’T QUIT”
membawa jargon “Let’s Do It”. Melalui
pesan-pesannya iklan rokok LA Light ini mencoba menghubungkan rokoknya dengan
semangat anak muda yang harus enjoy, berani tampil apa adanya, `dan harus mau
melakukan apa yang ingin dilakukan. Sehingga tampilan-tampilan dalam gambar/video
iklan serta audionya bisa menutupi fakta-fakta dibalik rokok itu sendiri yang
penuh dengan racun berbahaya, pengawet, dan masih banyak bahan kimia lainnya.
Iklan LA Light versi “Don’t Quit” menganggap manusia adalah
boneka yang bisa dikendalikan oleh produsen rokok yang bisa diarahkan,
diperintahkan dan tunduk pada pesan-pesan iklan televisi yang kita saksikan.
Postmodern sangat
terlihat jelas dalam mengintervensi kreativitas seni yang sering
diinterpretasikan sebagai reaksi terhadap larangan-larangan / aturan-aturan
tampilan dalam iklan rokok. Para kreator iklan menciptakan realitas baru,
mengkonstruksi identitas baru di masyarakat yang mulai mengalami
kejenuhan-kejenuhan dengan hal-hal yang normatif, biasa-biasa saja. Tidak diragukan lagi
identitas postmodern dalam iklan LA Light versi “Don’t Quit” ini sangat kental dan sangat melekat. Terlihat dari
penggambaran manusia itu seperti boneka yang bisa dimaikan/diarahkan,
keterbatasan ruang gerak boneka, ada nuansa khas yang muncul dalam kata “do
it”. Secara denotatif kata ini menunjukkan atau juga mengajak “lakukanlan”,
namun ketika sudah digabungkan dengan “Let’s do it”, konotasi yang muncul
adalah jiwa muda yang bebas melakukan apa yang ingin dilakukan.
Sebagai bagian dari
duania komunikasi, maka iklan LA Light ini selalu menggunakan permainan bahasa
sebagai media utama untuk melakukan konstruksi realitas sosial di masyarakat. Kaum
postmodern mengganggap begitu pentingnya olah kata/bahasa sebagai media
penyampai utama dalam iklan, maka di dalam iklan bahasa digunakan untuk semua
kepentingan iklan itu sendiri. Bahasa
juga merupakan sebagian dari seni periklanan. Artinya iklan merupakan seni
komunikasi visual yang digunakan untuk menarik bagaimana agar permainan bahasa
itu semakin menjual/bertujuan tuntuk menjual. Iklan itu merupakan kreativitas
seni untuk mencerminkan suatu keadaan masyarakat tertentu sesuai dengan segmen
dari produknya melalui permainan bahasanya yang sering menabrak aturan-aturan
atau sindirian-sindiran dengan munculnya berbagai larangan (dalam hal ini iklan
rokok LA Light versi Don’t Quit). Iklan itu untuk berbisnis, segala sesuatu
yang ditampilkan dalam iklan ditujukan untuk meraih keuntungan
sebanyak-banyaknya dengan segala cara berusaha mempengaruhi konsumennya untuk
terus mengkonsumsi produk yang ditawarkan.
Jadi dapat ditarik
kesimpulan dalam iklan permainan bahasa itu digunakan dengan beberapa tujuan.
Pertmana sebagai media komunikasi visual. Kedua bahasa digunakan untuk
menciptakan sebuah realitas. Sebagai media komunikasi, maka iklan bersifat
informative sedangkan sebagai wacana realitas, maka iklan adalah seni dimana
orang menggunakan bahasa untuk menciptakan dunia yang diinginkan. Ketiga,
bahasa dalam iklan sering ditampilkan sebagai wujud sindiran-sindiran baik
terhadap produk pesaing ataupun sindiran untuk aturan-aturan dan
larangan-larangan pemerintah. Disitulah letak identitas postmodern dalam permainan
bahasa iklan.
DAFTAR
PUSTAKA
Bungin, Burhan, 2008, Konstruksi Sosial Media Massa, Kencana, Jakarta
Kellner, Douglas, 2010, Budaya Media, Jalasutra, Yogyakarta
Mudji
Sutrisno&Hendar Putranto, 2008, Cultural
Studies “Tantangan Bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan, Koekoesan, Jakarta
Sastro Subroto,Darwanto, 2007, Televisi Sebagai
Media Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Surat Kabar Harian Kompas, Sabtu, 1 Juni 2013, Jakarta
Tuwu, Alimuddin, 2007, Televisi dan Islam, Citra
Media, Yogyakarta