Sunday, July 14, 2013

KONSTRUKSI IDENTITAS POSTMODERN DALAM IKLAN LA LIGHT VERSI “DON’T QUIT”


KONSTRUKSI IDENTITAS POSTMODERN

DALAM IKLAN LA LIGHT VERSI “DON’T QUIT”


TELEVISI dan IKLAN

Ensiklopedi Britanika mendefinisikan televisi adalah transmisi gambar-gambar gerak elektrik dan transmisi elektrik simultan yang dilengkapi dengan suara. Kamus Ensiklopedi The Reader’s Great mendefinisikan televisi adalah reproduksi visual secara simultan dari adegan-adegan sasaran pertunjukan dan sebagainya yang diterima dari jarak jauh. Sedangkan di dalam Ensiklopedi Internasional dijelaskan definisi televisi adalah perangkat unik yang membedakan televisi dengan radio adalah konversi gambar ke dalam denyut listrik kemudian dikonversi kembali dalam gambar yang sebenarnya (Alimuddin, 2007 : 1).
Televisi adalah sebuah pengalaman yang kita terima begitu saja. Kendati demikian, televisi juga merupakan sesuatu yang membentuk cara berpikir kita tentang dunia. Perkembangan televisi sebagai media massa begitu pesat dan sangat dapat dirasakan manfaatnya. Dalam waktu yang relatif singkat, televisi dapat menjangkau wilayah dan jumlah penonton yang tidak terbatas  (Darwanto, 2007:26). Dewasa ini televisi telah menjadi salah satu bentuk media komunikasi sosial yang populer dan berkembang luas di masyarakat.  Terutama dalam masyarakat industri maju, situasi nyaris sangat universal hampir setiap rumah memiliki lebih dari satu pesawat televisi.
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa perkembangan dunia televisi menyalip media-media yang lebih dulu ada, seperti media cetak dan radio. Jumlah peredaran pesawat televisi yang ada di masyarakat dan jumlah belanja iklan untuk media televisi menunjukkan bahwa media televisi nyata sebagai media strategis. Kepemilikan dan kehadiran televisi di masyarakat telah mendorong untuk melihat posisi televisi dalam perubahan sosial dan kultur budaya yang begitu pesat. Hal tersebut menjadikan televisi tidak hanya sebagai media hiburan semata. Televisi juga mempunyai konsekuensi-konsekuensi untuk menghadirkan siaran berita, pendidikan, kebudayaan, dan sosial yang mempunyai peran penting kehadirannya dalam kehidupan keluarga.
Membincangkan televisi tentunya tidak bisa lepas dari program-program acara yang ditayangkan di dalamnya. Bagi setiap stasiun televisi tentunya membutuhan biaya operasional yang tidak sedikit jumlahnya, dalam hal ini iklan menjadi sponsor atau penyandang dana terbesar atas berlangsungnya penyiaran/program acara televisi.
Dalam sejarah, terbukti periklanan telah ada kurang lebih 3000 tahun yang lalu. Periklanan awalnya ditemukan di zaman Mesopotamia dan Babilonia, 1992 : 2, (dalam Bungin, 2008 : 73). Dunia periklanan di Indonesia kini semakin menunjukkan perkembangan yang pesat baik melalui media televisi maupun media online. Periklanan merupakan salah satu strategi yang dilakukan guna menghadapi persaingan produk jasa maupun barang. Secara signifikan iklan mampu memengaruhi khalayak. Dalam hitungan detik iklan menyampaikan informasi untuk mengubah cara pandang calon konsumen/khalayak dalam membuat suatu keputusan. Salah satu iklan yang cukup kuat mempengaruhi khalayak dan banyak diperbincangkan di dunia periklanan adalah iklan rokok.
Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan, rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan mengakibatkan bahaya bagi kesehatan. Kemudian diperbaharui lagi dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan bahan yang mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi melengkapi Peraturan Pemerintah sebelumnya tentang peraturan tentang iklan rokok melalui Permenkes Nomor 28 Tahun 2013. Selain meluncurkan Permenkes No 28/2013, Nafsiah juga meluncurkan Peta Jalan Dampak Konsumsi Rokok bagi Kesehatan. Peringatan kesehatan yang dimaksud dalam Permenkes No 28/2013 berupa gambar penyakit akibat rokok, (disediakan 5 gambar) dan tulisan “Peringatan”. Gambar itu terdiri atas gambar kanker tenggorokan, kanker paru, kanker mulut, asap yang membentuk tenggorokan, dan gambar orang merokok dengan gambar anak di dekatnya. Adapun informasi kesehatan harus memuat kandungan nikotin dan tar, pernyataan “Dilarang menjual dan member kepada anak dibawah 18 tahun dan perempuan hamil”, kode, tanggal, bulan, dan tahun produksi, serta nama dan alamat produsen. Disamping itu, dapat ditambahkan bahkan pernyataan “Tidak ada batas aman” dan “Mengandung lebih dari 4000 zat kimia berbahaya serta lebih dari 43 zat penyebab kanker”. Jenis huruf, ukuran huruf, kualitas warna gambar, letak peringatan, dan informasi kesehatan diatur dalam Permenkes ini. Kemasan rokok juga dilarang memuat keterangan menyesatkan atau kata-kata promotif. Selain itu, dilarang memuat kata-kata yang mengindikasikan kualitas, superioritas, pencitraan, dan rasa aman (Kompas 1 Juni 2013 : 14).
Realitasnya iklan rokok cukup banyak hadir di masyarakat dan jumlah konsumen rokok pun tinggi. Jelas bahwa mengonsumsi rokok berdampak pada rendahnya kualitas kesehatan masyarakat sebagai perokok aktif, bahkan juga bagi orang di sekitarnya (perokok pasif). Kehadiran iklan rokok masih cenderung dinikmati oleh khalayak melalui daya tarik pengemasan iklan dengan appeals yang beragam sedangkan secara substansi memperoleh perhatian terbatas. Iklan mampu mengonstruksi image produk secara objektif. Televisi menjadi media yang sangat efektif untuk  beriklan menyajikan bermacam iklan rokok dalam berbagai varian. Iklan Dji Sam Soe menggambarkan realitas berbagai maha karya Indonesia, salah satunya rokok Dji Sam Soe itu sendiri. Iklan yang mengusung tema menuju perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik dan sukses seperti iklan rokok New Dunhill Mild dengan tag lineTime to Change. Iklan rokok Surya 16 dengan tag lineDrive for Success’. Image produk diciptakan melalui pengemasan pesan baik verbal maupun non verbal (visual). Image produk diciptakan melalui pengemasan pesan baik verbal maupun non verbal (visual). Realitas bahasa yang digunakan dalam iklan TVC mampu memberi kesan yang kuat kepada khalayak. Iklan-iklan itu  mampu membawa penonton kepada kesan dunia lain melalui adegan-adegan maupun kesan realistis yang dibangun.
Pemilihan televisi sebagai media iklan rokok mampu menciptakan rekayasa/konstruksi yang optimal. Iklan berupaya meninggalkan kesan tertentu yang bersifat umum. Tidak bisa dipungkiri bahwa iklan rokok sengaja mengarahkan pada kesan spektakuler karena produk rokok yang dekat dengan segmen pasar seperti remaja yang cenderung mengagumi peristiwa spektakuler.
Berbagai macam tema yang mengusung latas dan konteks sosial dalam iklan merupakan bagian dalam perencanaan iklan yang menunjukkan di mana cerita-cerita itu dikonstruksi sedemikian rupa. Hal ini mampu mempertegas image produk meskipun tanpa menampilkan wujud produk rokok yang diusung dalam iklan. Gambaran ini baru sebagian kecil dari iklan yang hadir di media televisi. Modifikasi iklan akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan kreativitas pencipta iklan itu sendiri terlebih dengan perkembangan media di era berbasis teknologi komunikasi.
Kehadiran iklan dalam mengkonstruksi identitas postmodern bisa dikatakan cukup berhasil dalam mempengaruhi khalayak. Pendekatan postmodern tidak menganggap identitas sebagai sesuatu yang didapat begitu saja, tetapi sesuatu yang sengaja dibangun dalam narasi, teks, video, pidato dan media lain yang dapat digunakan dalam penyampaiannya.
 




















KONSTRUKSI REALITAS SOSIAL
Iklan televisi hadir dengan proses yang panjang dalam penggarapan iklan itu sendiri. Iklan televisi memang merupakan jenis iklan yang paling enak ditonton dan pesan-pesan yang disampaikan mudah ditangkap. Selain itu iklan televisi terlihat hidup, terlihat sangat realistis karena berupa audio visual, meskipun itu semua merupakan sebuah konstruksi dari realitas yang ada di masyarakat. Bagaimana iklan yang ditayangkan membawa dan menanamkan ideologi baru kepada khalayaknya untuk akhirnya meniru atas apa yang disaksikan di layar televisi.
Ideologi periklanan ini sejalan postmodern yang dalam permainan bahasanya lebih bersifat ironis, yang dituju budaya postmodern ini bukan lagi keefektifan pesan; postmodern bukan lagi mencari kedalaman makna komunikasi, tetapi hanya mencari kesenangan "bermain-main dengan bahasa" serta kenikmatan lain.  Dalam iklan rokok hampir semua materi iklan yang ditampilkan tidak berhubungan langsung dengan produk yang dipasarkan. Hal ini yang membuat komunikan bertanya-tanya, apa maksud iklan ini dan apa arti iklan-iklan tersebut. Penampilan yang "tidak biasa" untuk model-model iklan di Indonesia dewasa ini; materi iklan LA Light versi Don’t Quit yang begitu kentara mengkonstruksi bagaimana para penikmatnya bisa terbebas dan melakukan apa yang diinginkan dengan mengkonsumsi rokok LA Light. LA Light yang mengusung semangat jiwa muda/kalangan anak muda. LA Light selain melalui iklan televisinya juga bergerak dalam bisnis sponsor, misalnya LA Light Indie Movie, LA Ligth Meet The Labels yang notabene-nya didominasi kalangan muda, tujuannya sudah pasti untuk mengenalkan produk serta untuk memperluas pasar.
Pemilihan dan penggunaan kata “DON’T QUIT menjadi DO IT” dalam iklan LA Light versi Don’t Quit bukan tanpa maksud. Penggunaan kata yang singkat sengaja digunakan untuk memudahkan penulisan, pelafalan, dan mempersingkat durasi, ternyata hal ini juga menjadi pilihan strategi untuk mengkonstruksi istilah-istilah menarik dalam iklan produk rokok LA Light versi Don’t Quit ini. Konstruksi image sengaja dibangun dengan manggunakan simbol-simbol strata kelas sosial, simbol-simbol budaya popoler yang ditonjolkan, misalnya kemewahan, kebebasan, kualitas, citarasa, kemudahan, kenikmatan, aktualisasi, dan simbol-simbol budaya populer dan kelas sosial lainnya. Disinilah inti dari konstruksi iklan atas realitas sosial, bahwa sebenarnya realitas sosial yang ditampilkan dalam iklan adalah sebuah kepalsuan realitas atau realitas yang penuh dengan topeng-topeng media, akan tetapi pada umumnya hampir setiap iklan rokok mudah diterima oleh khalayak/pemirsa.
Sebagaimana realitas sosial lainnya, maka konstruksi iklan televisi juga memiliki nilai acuan yanag dipakai. Nilai acuan itu bisa bersumber dari pencipta iklan televisi, pemilik iklan, atau secara global bersumber dari masyarakat itu semdiri. Dengan demikian, sumber nilai acuan iklan televisi berasal dari bermacam-macam, namun yang jelas bersumber dari tiga komponen tersebut diatas, yaitu: (1) copy-writer dan visualizer; (2) produsen pemilik modal; dan (3) nilai yang hidup di masyarakat (Bungin, 2008 : 164).



















KONSTRUKSI IDENTITAS POSTMODERN BAHASA “DON’T QUIT dan DO IT”
Iklan menjadi sebuah jalan untuk menciptakan dan mengkonstruksi  kondisi budaya atau sosial yang ideal dan menjadikan seseorang menjadi seperti yang diinginkan. Nilai ideal yang seperti apa? Dalam sebuah iklan nilai ideal dibangun untuk menciptakan kesadaran-kesadaran palsu bagi konsumen. Konsumen atau pemirsa dikondisikan, didoktrinasi atau diubah perilakunya oleh tayangan iklan yang berujung pada terbentuknya suatu perasaan imajiner tentang kenyataan/realitas yang ada dalam sebuah iklan. Hampir setiap realitas yang dibentuk dalam sebuah iklan selalu melampaui batas-batas kewajaran atau batas-batas realitas yang ada di masyarakat.
Dari sudut pandang postmodern, seiring dengan meningkatnya perluasan, dan kompleksitas masyarakat modern, identitas menjadi semakin tidak stabil dan semakin bias. Wacana postmodernitas mempersalahkan gagasan identitas, menyatakan bahwa identitas hanyalah mitos dan ilusi. Pada gilirannya, kaum post strukturalis melancarkan serangan terhadap gagasan subyek dan identitas, menyatakan bahwa identitas subyektif itu sendiri merupakan mitos, konstruksi bahasa, simbol, dan memecahkan kontradiksi sosial di masyarakat, suatu ilusi yang dipaksakan.
Identitas yang dimunculkan dalam iklan LA Light versi “Don’t Quit” menggambarkan sebuah proses perubahana diri melalui pilihan kata serta ruang lingkup dimana identitas dimediasi melalui citra dan dimunculkan dalam budaya baru yang saat ini banyak dikenal dengan sebutan budaya kontemporer atau budaya postmodern. Iklan menciptakan ratusan, ribuan, bahkan jutaan atau lebih atas simulasi untuk menanamkan simbol-simbol dari objek yang ada disekitar masyarakat.
Pada awalnya, produk-produk yang ditampilkan dalam iklan berdasarkan kualitas material dan fungsinya. Kemudian berangsur secara bertahap seiring dengan kemajuan teknologi dan aturan-aturan pemerintah yang membatasi tampilan dalam iklan rokok, maka iklan mulai menciptakan ”cara baru” untuk membuat asosiasi dari simbol-simbol yang berasal dari objek dengan suatu gaya hidup atau dengan kehidupan sosial yang sedang populer di masyarakat. Dengan demikian penekanan simbol dalam iklan adalah, bagaimana menciptakan budaya baru, gaya baru untuk mengasosiasi objek dengan sesuatu yang diinginkan oleh masyarakat.
Sifat iklan yang memang mampu secara langsung membidik dan mempengaruhi hasrat ataau keinginan masyarakat, maka bisa dikatakan iklan ini bersifat sangat persuasif. Iklan mampu menciptakan mimpi dan ilusi karena memunculkan gambar yang dimanipulasi. Hal tersebut digunakan untuk menciptakan realitas fantasi karena apa yang nampak di dunia nyata tidak lagi dianggap cukup efektif untuk memperoleh apa yang diinginkan seperti dalam iklan LA Light versi ”Don’t Quit” berikut:
Analisis Gambar
Gambar 1

Gambar satu, tampak terlihat bagaimana cerminan atau gambaran seseorang yang divisualisasikan dengan boneka, dimana boneka manusia ini terbelenggu dan tidak boleh keluar dari dari sebuah lingkungan “don’t quit”.

Gambar 2

Gambar dua, terlihat bagaimana mengkonstruksikan realitas manusia/boneka yang selalu ingin tampil bebas, tidak mau terikat. Hal ini ditampilkan dalam adegan mencoba mendobrak batas-batas aturan “don’t quit” yang ada.
Gambar 3

Gambar tiga, boneka manusia ini terlihat sudah begitu kelelahan berusaha membongkar dan merobohkan dinding pembatas kebebasan “don’t quit”. Ekspresi ketidaknyamanan dalam belenggu, ekspresi kesedian tidak bisa menikmati kebebasan.
Gambar 4

            Gambar empat, terlihat boneka manusia ini melompat lagi dan mencoba lagi merobohkan dinding pembatas kebebasannya “don’t quit”.
 
Gambar 5

Gambar lima, terlihat boneka manusia ini mulai bisa merobohkan satu persatu dengan kekuatan dan keinginannya untuk bisa terbebas dari dinding pembatas “don’t quit”.

Gambar 6

            Gambar enam, boneka manusia sudah bisa mulai tersenyum karena dinding “don’t quit” pembatas kebebasannya mulai runtuh dan berjatuhan, kebebasannya sudah berada di depan mata.
Gambar 7

            Gambar tujuh, pengambilan gambar boneka manusia secara sudut luas untuk memperlihatkan betapa luasnya ketika sudah bisa terbebas dari belenggu “don’t quit” pembatas ruang gerak dan ekspresinya. Kata bertuliskan “don’t quit akhirnya runtuh dan berubah menjadi do it

Gambar 8

            Gambar delapan, dimunculkan logo dari rokok LA Light lengkap dengan jargonnya “Let’s Do It” yang bisa diartikan teruslah menjadi apa yang kamu mau dan lakukan apa yang kamu mau. Dengan mengkonsusmi rokok LA Light maka mereka akan bisa melakukan apa yang mereka inginkan tanpa harus ada batasan-batasan.
Ada prinsip-prinsip lebih mendalam yang ditampilkan oleh tim kreatif/seniman melalui ekspresi budaya postmodernisme dalam iklan rokok ini. Maksud dan tujuan karya-karya postmodernisme bukanlah asal-asalan saja. Sebaliknya postmodern berusaha menyingkirkan konsep mengenai "seorang pengarang/pelukis asli yang merupakan pencetus suatu karya seni". Mereka berusaha menghancurkan ideologi "gaya tunggal" dari modernisme dan menggantikannya dengan budaya "banyak gaya". Untuk mencapai maksud tersebut, para seniman ini memperhadapkan para peminatnya dengan beraneka ragam gaya yang saling bertentangan dan tidak harmonis. Teknik ini - yang mencabut gaya dari akar sejarahnya - dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan berusaha meruntuhkan sejarah/konsep iklan atau peraturan-peraturan yang ada pada awalnya.
Pencampuran gaya, dengan penekanan kepada keanekaragaman, dan penolakan kepada rasionalitas menjadi ciri khas masyarakat kita. Ini semakin terbukti dalam banyak ekspresi iklan-iklan komersial dan juga pada kebudayaan lainnya.

Analisis Bahasa “Don’t Quit dan Do It”

Makna atau meaning merupakan arti asli atau awal ketika teks itu ditulis oleh pengarangnya. Ketika perbincangan makna dituliskan oleh komuniktas bahasa, maka pencarian atau penafsiran makna tempatnya ada di teks tertulis  itu dan teks-teks sejaman (perhitungan waktu) serta yang se-asal lokasi (ruang lokasi). Sebelum makna diberi arti consensus komunitas bahasa dan sebelum ia ditulis, Gadamer (filsuf hermeneutika: ilmu tafsir teks), menamainya sebagai pre-text  (Truth and Metods, 1980). Artinya pra-teks adalah hiruk pikuk wacana pra-tulisan yang harus ditukik pembaca untuk mengungkap makna awal untuk kemudian dijernihkan dalam tatap temu teks (Mudji Sutrisno&Hendar Putranto, 2008:28).
 Prinsip-prinsip penafsiran dalam mendekati makna selalu berada pada teks dan konteks bahasa itu sendiri. Bahasa yang memuat meaning, dicari dan didekati lewat khalayak/masyarakat yang meyaksikan iklan itu bersama dengan kurun waktu dan lokasi (sesuai jamannya). Teks Don’t Quit dalam iklan rokok LA Light merupakaan teks ‘semu’ yang memiliki banyak arti (multi tafsir) di kalangan pemirsanya sendiri. Dengan demikian bisa dikatakan sesuai dengan cirri identitas postmodern yang senang dengan bermain bahasa.  Postmodernisme menawarkan watak yang bertolak belakang dari era pendahulunya (modern) yakni menekankan emosi daripada rasio, media daripada isi, tanda dan makna, kemajemukan daripada penunggalan, kemungkinan daripada kepastian, permainan daripada keseriusan, keterbukaan daripada pemusatan, lokal daripada universal, fiksi daripada fakta, estetika daripada etika, narasi daripada teori. Identitas Postmodern pada kata “Don’t Quit” ini membalikkan atau menentang aturan-aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentang larangan merokok. Permainan bahasa/kata-kata sering dilakukan oleh para tim kreatif iklan, dimana identitas postmodern sering dimunculkan dalam simbol-simbol bahasa. Kata “Don’t” yang artinya “Jangan” kemudian kata “Quit” memiliki multi tafsir yang bisa diartikan kedalam beberapa arti, antara lain: berhenti, keluar, meninggalkan, dan lepas. Artinya jika kata Don’t Quit ini digabungkan banyak memiliki prespektif.
1.      Jangan berenti dari kebiasaan merokok, sedangkan disatu sisi jelas-jelas tertulis peringatan pemerintah akan bahaya merokok.
2.      Jangan keluar dari kebiasaan merokok, anak muda identik dengan rokok dan kebiasaan mengkonsumsi rokok dalam pergaulanny setiap hari.
3.      Jangan meninggalkan kebiasaan merokok
4.      Jangan lepas dari ketergantungan rokok
Kata “Do it” yang artinya “lakukan”. Dengan demikian kata Do it ini .
Pada umumnya khalayak/masyarakat tidak menyadari akan hal itu, bagi masyarakat kebanyakan. Pembentukan realitas bahasa ini tidak terlepas dari peran ‘diri’ pemirsanya yang secara dialektika berhubungan dengan lingkungannya. Dengan kata lain, telah terjadi interanalisasi atas realitas sosial sesungguhnya.      
Pada awal tahun 2000 an LA Light mulai mengasosiasikan yang mengangkat jargon “enjoy aja”, kemudian berubah lagi menjadi “berani enjoy”, dalam perkembangannya saat ini seperti dalam iklan LA Light versi “DON’T QUIT” membawa jargon “Let’s Do It”. Melalui pesan-pesannya iklan rokok LA Light ini mencoba menghubungkan rokoknya dengan semangat anak muda yang harus enjoy, berani tampil apa adanya, `dan harus mau melakukan apa yang ingin dilakukan. Sehingga tampilan-tampilan dalam gambar/video iklan serta audionya bisa menutupi fakta-fakta dibalik rokok itu sendiri yang penuh dengan racun berbahaya, pengawet, dan masih banyak bahan kimia lainnya.
Iklan LA Light versi “Don’t Quit” menganggap manusia adalah boneka yang bisa dikendalikan oleh produsen rokok yang bisa diarahkan, diperintahkan dan tunduk pada pesan-pesan iklan televisi yang kita saksikan.
Postmodern sangat terlihat jelas dalam mengintervensi kreativitas seni yang sering diinterpretasikan sebagai reaksi terhadap larangan-larangan / aturan-aturan tampilan dalam iklan rokok. Para kreator iklan menciptakan realitas baru, mengkonstruksi identitas baru di masyarakat yang mulai mengalami kejenuhan-kejenuhan dengan hal-hal yang normatif,  biasa-biasa saja. Tidak diragukan lagi identitas postmodern dalam iklan LA Light versi “Don’t Quit” ini sangat kental dan sangat melekat. Terlihat dari penggambaran manusia itu seperti boneka yang bisa dimaikan/diarahkan, keterbatasan ruang gerak boneka, ada nuansa khas yang muncul dalam kata “do it”. Secara denotatif kata ini menunjukkan atau juga mengajak “lakukanlan”, namun ketika sudah digabungkan dengan “Let’s do it”, konotasi yang muncul adalah jiwa muda yang bebas melakukan apa yang ingin dilakukan.
Sebagai bagian dari duania komunikasi, maka iklan LA Light ini selalu menggunakan permainan bahasa sebagai media utama untuk melakukan konstruksi realitas sosial di masyarakat. Kaum postmodern mengganggap begitu pentingnya olah kata/bahasa sebagai media penyampai utama dalam iklan, maka di dalam iklan bahasa digunakan untuk semua kepentingan iklan itu sendiri.  Bahasa juga merupakan sebagian dari seni periklanan. Artinya iklan merupakan seni komunikasi visual yang digunakan untuk menarik bagaimana agar permainan bahasa itu semakin menjual/bertujuan tuntuk menjual. Iklan itu merupakan kreativitas seni untuk mencerminkan suatu keadaan masyarakat tertentu sesuai dengan segmen dari produknya melalui permainan bahasanya yang sering menabrak aturan-aturan atau sindirian-sindiran dengan munculnya berbagai larangan (dalam hal ini iklan rokok LA Light versi Don’t Quit). Iklan itu untuk berbisnis, segala sesuatu yang ditampilkan dalam iklan ditujukan untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dengan segala cara berusaha mempengaruhi konsumennya untuk terus mengkonsumsi produk yang ditawarkan.
Jadi dapat ditarik kesimpulan dalam iklan permainan bahasa itu digunakan dengan beberapa tujuan. Pertmana sebagai media komunikasi visual. Kedua bahasa digunakan untuk menciptakan sebuah realitas. Sebagai media komunikasi, maka iklan bersifat informative sedangkan sebagai wacana realitas, maka iklan adalah seni dimana orang menggunakan bahasa untuk menciptakan dunia yang diinginkan. Ketiga, bahasa dalam iklan sering ditampilkan sebagai wujud sindiran-sindiran baik terhadap produk pesaing ataupun sindiran untuk aturan-aturan dan larangan-larangan pemerintah. Disitulah letak identitas postmodern dalam permainan bahasa iklan.  





























DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan, 2008, Konstruksi Sosial Media Massa, Kencana, Jakarta

Kellner, Douglas, 2010, Budaya Media, Jalasutra, Yogyakarta

Mudji Sutrisno&Hendar Putranto, 2008, Cultural Studies “Tantangan Bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan, Koekoesan, Jakarta

Sastro Subroto,Darwanto, 2007, Televisi Sebagai Media Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Surat Kabar Harian Kompas, Sabtu, 1 Juni 2013, Jakarta

Tuwu, Alimuddin, 2007, Televisi dan Islam, Citra Media, Yogyakarta

 


PEMIKIRAN FENOMENOLOGI EDMUND HUSSERL



PEMIKIRAN FENOMENOLOGI MENURUT EDMUND HUSSERL


A. Pendahuluan
Istilah fenomena sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun yang menjadi persoalan; apakah hanya sebatas istilah yang sudah lumrah dipakai atau istilah yang bertujuan memperindah bahan pembicaraan saja. Atau pun hanya sebatas pengertian empiris (pengalaman indera-indera kita). Jika kita berbicara mengenai fenomenologi, pasti tidak lepas dari suatu terminologi “what is it?” (Apa itu?). Terdorong dari kemauan untuk memahami secara lebih mendalam tentang apa itu fenomenologi.
Pertama, riwayat hidup Husserl dalam mendalami pemikirannya, tentu lebih utama kita harus tahu sedikit mengenai identitasnya. Siapa dia, berasal dari mana, bagaimana latar belakang kehidupannya, dan sebagainya. Dua, karya atau pemikiran utamanya. Untuk mengetahui pemikirannya, perlulah kita mengerti terlebih dahulu tulisan-tulisan terpentingnya. Tiga, pikiran-pikiran pokok.
Tulisan ini difokuskan pada Pemikiran Fenomenologi Menurut Edmund Husserl. Sebab ia tokoh pertama selaku pendiri aliran ini. Hussel sangat mempengaruhi filsafat ilmu pada abad XX secara mendalam sampai pada penemuan akan analisa struktur intensi dari tindakan-tindakan mental dan sebagaimana struktur ini terarah pada obyek real dan ideal. Bagi Husserl, Fenomenologi ialah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phenomena). Fenomenologi dengan demikian, merupakan ilmu yang mempelajari, atau apa yang menampakkan diri fenomenon.

B. Riwayat Hidup Edmund Gustav Aibercht Husserl
Fenomenologi sebagai suatu gerakan filsafat hingga memperoleh bentuk seperti sekarang ini, pertama kali diintrodusir oleh filsuf Jerman Edmund Gustav Aibercht Husserl(Ia adalah seorang ahli ilmu pasti dan profesor Filsafat dari Universitas Freiburg di Breisgau (Jerman Selatan) kira-kira satu abad yang lalu)lahir di Prestejov (dahulu Prossnitz) di Czechoslovakia 8 April 1859 dari keluarga yahudi. Di universitas Husserl belajar ilmu alam, ilmu falak, matematika, dan filsafat; mula-mula di Leipzig kemudian juga di Berlin dan Wina. Di Wina ia tertarik pada filsafat dari Brentano. Dia mengajar di Universitas Halle dari tahun 1886-1901, kemudian di Gottingen sampai tahun 1916 dan akhirnya di Freiburg. Ia juga sebagai dosen tamu di Berlin, London, Paris, dan Amsterdam, dan Prahara. Husserl terkenal dengan metode yang diciptakan olehnya yakni metode “Fenomenologi” yang oleh murid-muridnya diperkembangkan lebih lanjut. Husserl meninggal tahun 1938 di Freiburg. Untuk menyelamatkan warisan intelektualnya dari kaum Nazi, semua buku dan catatannya dibawa ke Universitas Leuven di Belgia2(Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 114).

C. Tulisan-Tulisan Terpenting Edmund Gustav Aibercht Husserl
1). Logische Untersucgsuchugen I dan II (Penyelidikan-penyelidikan logis)tahun 1900-1901. Bertujuan agar dapat mempelajari struktur kesadaran, karena itu harus dibedakan antara tindakan dari kesadaran dan fenomena di mana diarahkan (obyek memakai diri sendiri). Dengan membahas ini sekali lagi menunjukkan sikapnya yang menolak psikologi. Tidaklah mungkin memasukkan logika ke dalam psikologi, karena psikologi dapat mendeskripsikan proses faktual kegiatan akal, sedangkan logika hanya bisa mempertimbangkan sah atau tidaknya kegiatan akal tersebut. Edmund Husserl menganalisa srtuktur intensi dari tindakan-tindakan mental dan bagaimana struktur ini terarah pada obyek yang real dan ideal.
2). Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen Philosophie, 1913 (Gagasan-gagasan untuk suatu fenomenolgi murni dan suatu filsafat fenomenologis). Untuk pertama kalinya terkuak kecenderungan idealistik ini. Seorang fenomenolog harus secara sangat cermat “menempatkan di antara tanda kurung”, artinya kenyataan di antara dunia luar. Yang utama ialah fenomenanya, dan fenomena ini hanya tampil dalam kesadaran. Usaha untuk melakukan pendekatan terhadap dunia luar ini, memerlukan metode yang khas, karena keinsyafan serta-merta mengenai dunia luar ini masuk merembes di mana-mana dan menyebabkan analisa yang keliru.
3). Meditations Cartesiennes, 1931 (Renungan-renungan Kartesian). Dalam buku ini dibahas beberapa permenungan Kartesian, di mana semakin lama semakin penting. “Aku bertolak dari kesadaranku untuk menemukan kesadaran transedental (prinsip dasar dari pemahaman murni yang melampaui atau mengatasi batas-batas pengalaman) di dalamnya, tetapi bagaimana caranya menemukan pihak lain dalam kesadaran? Apakah dengan demikian mau tidak mau aku akan terperosok di dalam solipisme (percaya akan diri sendiri), sehingga yang ada hanyalah kesadaranku sendiri? Bagaimana aku dapat mengetahui adanya dunia intersubjektif?

D. Pikiran-Pikiran Pokok Edmund Gustav Aibercht Husserl
1. Fenomenologi
Istilah fenomenologi secara etimologis berasal dari kata fenomena dan logos. Arti kata logos sudah tidak perlu dijelaskan lagi, sebab sudah menjadi pengertian umum dan dikenal dalam berbagai susunan. Sedangkan kata fenomena berasal dari kata kerja Yunani “phainesthai” yang berarti menampak, dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa kita berarti cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari dua sudut
Pertama, fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. 
Dua, fenomena dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita. Maka dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat “penyaringan” (ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang murni.
Fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelat kesadaran3 (Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif, Yogyakarta: Jalasutra, 2005, hlm. 151). Pertanyaannya, bagaimana esensi-esensi tersebut, tanpa terkontaminasi kecenderungan psikologisme dan naturalisme? Husserl mengajukan satu prosedur yang dinamakan epoche (penundaan semua asumsi tentang kenyataan demi memunculkan esensi). Tanpa penundaan asumsi naturalisme dan psikolgisme, kita akan terjebak pada dikotomi4 (Dalam KBBI (Team Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Baru), Jakarta: Pustaka Phoenix, 2007 hlm.192). Dikotomi diartikan sebagai klasifikasi ke dalam dua kelas sebagai sifat-sifat paradoks yang berpasangan; pembagian dua konsep yang bertentangan satu sama lain) (subyek-obyek yang menyesatkan/bertentangan satu sama lain). Tujuan epoche adalah mengembalikan sikap kita kepada dunia, yakni sikap yang menghayati, bukan memikirkan benda-benda. Contohnya, saat mengambil gelas, saya tidak memikirkan secara teoritis (tinggi, berat dan lebar) melainkan menghayatinya sebagai wadah penampung air untuk diminum. Ini yang hilang dari pengalaman kita, kalau kita menganut asumsi naturalisme. Dan ini yang kembali dimunculkan oleh Husserl. Akar filosofis fenomenologi Husserl ialah dari pemikiran gurunya, Franz Bretano. Dari Brentano-lah Husserl mengambil konsep filsafat sebagai ilmu yang rigoris5(Berdasarkan Kamus Filsafat karangan Lorens Bagus, Kamus Filsafat,Jakarta: Gramedia, 2005, hlm.957, Rigoris  merupakan suatu sikap pikiran di mana dalam pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya suatu tindakan, bersikeras mempertahankan pandangan yang sempit dan ketat) (sikap pikiran di mana dalam pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya suatu tindakan); sebagaimana juga bahwa filsafat terdiri atas deskripsi dan bukan penjelasan kausal.
Sebelum tahun 1908 Husserl dan gurunya, mengartikan fenomenologi sebagai “fenomenologi psikologis”, yaitu Psikologi Deskriptif. Psikologi yang hanya mencatat apa yang dilihat, tanpa mencari keterangan-keterangan mengenai sebab gejala-gejala. Husserl berkata bahwa “kita perlu kembali ke benda-benda sendiri”  (Zu den Sachen selbst). Obyek-obyek harus diberi kesempatan untuk berbicara. Deskripsi fenomenologis tidak dimaksudkan untuk menggantikan keterangan ilmiah, melainkan baru sebagai persiapan untuk keterangan ilmiah. Melalui deskripsi fenomenologis dicari Wesenchau: melihat (secara intuitif) hakekat gejala-gejala. Untuk mencapai hal ini, kita harus memakai metode variasi eidetis (dalam fantasi, kita membayangkan gejala dalam macam-macam keadaan yang berbeda), sehingga tampak apa yang merupakan batas invariabel dalam situasi-situasi yang berbeda ini. Yang muncul sebagai sesuatu yang berubah-ubah itu disebut wesen, yang dicari.
Setelah tahun 1908 Fenomenologi Husserl menjadi “fenomenologi Transendental”. Dia berpendapat dalam periode ini bahwa kesadaran bukan bagian dari kenyataan, melainkan asal dari kenyataan. Husserl menolak kesadaran bipolaritas (kesadaran dan alam, subyek dan obyek). Artinya kesadaran tidak menemukan obyek-obyek. Obyek-obyek diciptakan oleh kesadaran. Dengan pendapat ini, Husserl dekat dengan idealisme. Bagi ilmu-ilmu, kesadaran dan alam memang tampak sebagai dua pola dalam kenyataan, namun harus dipasang dalam suatu ideologi idealitas yang hanya masih menerima satu pola, yaitu kesadaran.
Fenomenologi adalah disiplin ilmu yang sungguh revolusioner dan berpengaruh. Sebagai corak berfilsafat, fenomenologi sangat orisinil, pola berfilsafat yang tidak lagi mencari esensi di balik penampakkan, melainkan berkonsentrasi penuh pada penampakkan itu sendiri. Fenomenologi menyapu bersih segala asumsi yang cenderung mengotori kemurnian pengalaman manusia.
Pengaruh fenomenologi sangat luas. Hampir semua disiplin keilmuan mendapatkan inspirasi dari fenomenologi, antara lain; psikologi, sosiologi, antropologi sampai arsitektur, semuanya memperoleh napas baru dengan munculnya fenomenologi.
Selain mempengaruhi ke luar, fenomenologi juga menghasilkan varian dalam fenomenologi itu sendiri. Sebut saja filsuf semacam Heidegger dan Marleau Ponty. Mereka mengembangkan fenomenologinya sendiri yang berbeda dengan fenomenologi Husserl. Heidegger dengan fenomenologi eksistensial, sedangkan Ponty dengan fenomenologi persepsi. Keluarnya mereka dari arus utama fenomenologi Husserl dilandasi oleh penolakan mereka terhadap konsep ego transedental. Manusia bukan ego yang terlepas dari lingkungannya. Manusia adalah wujud dalam dunia yang menemukan selalu, sudah terisolasi dalam dunia kehidupan.
Sebagai disiplin, fenomenologi sudah menampakkan dirinya kuat-kuat dalam arus besar pemikiran kontemporer. Masa depannya sangat bergantung pada seberapa jauh pengetahuan kita untuk mendalami dan mengembangkannya.




2. Intensionalitas
Salah satu hal yang muncul sebagai hasil fenomenologi Husserl ialah perhatian baru untuk intensionalitas kesadaran6(Harry Hamersma, Op.cit, hlm. 117). Kesadaran kita tidak dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya ada kesadaran memang diandaikan tiga hal, yaitu bahwa ada suatu subyek yang terbuka untuk obyek-obyek yang ada. Fakta bahwa kesadaran selalu terarah kepada obyek-obyek disebut intensionalitas (dari kata “intendere” artinya “menuju ke”). Kiranya tidak tepat mengatakan bahwa kesadaran mempunyai “intensionalitas”, karena kesadaran itu justru intensionalitas. Entah kita sungguh-sungguh melihat suatu pemandangan itu, bila kita masih menyadari perbedaan antara kedua kemungkinan ini maka kita tetap menyadari sesuatu. Kesadaran tidak pernah pasif melulu. Karena menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu. Hal yang disadari dijadikan sesuatu yang ada bagi saya. Kesadaran itu bukan berarti suatu cermin atau foto. Kesadaran itu suatu tindakan. Artinya terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dengan obyek kesadaran. Namun interaksi ini tidak boleh dianggap sebagai kerjasama antara dua unsur yang sama penting. Karena akhirnya, hanya ada kesadaran, obyek yang disadari itu hanyalah suatu ciptaan kesadaran.
Pengalaman subyek harus selalu dipandang sebagai pengalaman yang terlibat secara aktif dengan dunia. Kesadaran tidak tertutup dari dunia, tetapi selalu menuju, mengarah dan membuka pada dunia. Oleh karena itu kita tidak boleh memikirkan pengalaman dalam kesadaran manusia seperti obyek “dalam kardus”.
Pengalaman bukan sebuah “celah” yang mana dunia, hadir terpisah darinya, menerobos masuk. Itu tidak sama halnya dengan menarik sesuatu yang asing ke dalam kesadaran. Pengalaman adalah pagelaran yang mana bagi saya, sosok yang mengalami, wujud yang dialami ‘ada di sana’ dan di sana sebagaimana adanya dengan seluruh muatannya dan modus berada di mana pengalaman sendiri. Lewar intensionalitas, yang melekatkannya(Donny Gahral Adian, Op.cit, hal. 141)(Husserlian XVII: 239-240).

3. Tiga Jenis Reduksi(Harry Hamersma, Op.cit, hlm. 117)
Supaya dengan intuisi kita dapat menangkap hakekat obyek-obyek, maka dibutuhkan tiga reduksi. Reduksi-reduksi ini yang menyingkirkan semua hal yang mengganggu kalau kita ingin mencapai wesenschauReduksi pertama:menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif. Sikap kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus “diajak bicara”. Dua: menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan diperoleh dari sumber lain. Tiga:menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan oleh orang lain harus, untuk sementara dilupakan. Kalau reduksi-reduksi ini berhasil, gejala sendiri dapat memperlihatkan diri, menjadi fenomin (memperlihatkan diri).

E. Relevansi
Pada milenium ketiga ini, banyak fenomena-fenomena yang terjadi. Baik secara langsung (kita sadari) maupun yang tidak kita sadari. Fenomena-fenomena yang “masih panas” dan menjadi persoalan yang kerapkali diperbincangkan dalam media masa; salah satunya tentang “global warming”. Adapun fenomena yang baru saja kita alami yakni bencana alam. Khususnya di Indonesia kita dapat melihat fenomena-fenomena alam yang sering menimpa negeri kita yang tercinta ini. Fenomena alam yang tidak diketahui kapan dan apa yang menyebabkannya terjadi, antara lain misalnya saja; meluapnya lumpur Lapindo di Sidoarjo dan gelombang Tsunami di Aceh. Memang kita yakin bahwa penyebabnya ialah keserakahan dan ketidakpuasan manusia akan sumber daya alam. Dalam hal ini, ketidakpuasan dari manusia akan kebutuhan hidup.
Menurut hemat penulis, baik global warming maupun fenomena-fenomena alam lainnya merupakan fenomena yang sangat menarik dan masih aktual untuk diperbincangkan dalam pembahasan fenomenologi. Misalnya, menumpuknya sampah di TPA Spiturang. Siapa yang percaya bahwa pemulung yang sering mengais-ngais sampah itu sebenarnya orang kaya. Rupanya dibalik semuanya itu ada fenomena-fenomena yang mau disampaikan. Dalam hal ini, sebaiknya janganlah kita melihatnya hanya sebatas mata melihat/apa yang tampak pada mata kita, tetapi sebenarnya ada fenomena yang tersembunyi dibalik semuanya itu yaitu pemulung di TPA Spiturang adalah bukan semuanya miskin, tetapi kebanyakan orang kaya.
Dalam tulisan ini, penulis menghimbau kepada kita yang hadir di sini; supaya dalam melihat, merasakan (mengalami) setiap fenomena-fenomena dalam hidup, selalu bertitik berangkat dari pemikiran fenomenologi, di mana kita perlu kembali kepada benda-benda itu sendiri. Jelas bahwa yang dimaksud ialah membiarkan obyek-obyek itu menampilkan seperti dirinya sendiri. Dengan demikian kita akan menjadi “pewaris” pemikiran Husserl dan juga kita akan dibawa kepada suatu referensi yang mendalam dari luasnya panorama-panorama fenomenologi dewasa ini. Sedangkan bagi masyarakat pada umumnya. Semoga dengan memandang fenomena dari dua sudut yaitu melihat fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kemudian melihat fenomena dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita. Dengan demikian, dalam memandang fenomena-fenomena harus melihat ‘penyaringan’ (ratio) terlebih dahulu sehingga mendapatkan kesadaran yang murni.
Sebagai pertanyaan refleksi bagi kita; sudahkah kita melakukan semuanya ini? Beranikah kita “menyapu” bersih segala asumsi yang cenderung mengotori kemurnian pengalaman manusiawi kita? Persoalannya sekarang ialah dari mana kita memulainya? Kapan kita memulainya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penulis menawarkan solusi yang sekiranya berguna bagi kita yakni dengan melakukan “M3+J”. M3 (Mulai dari diri sendiri, Mulai dari hal-hal yang kecil dan, Mulai dari sekarang), sedangkan J (Jadilah fenomenolog yang kritis di zaman sekarang).

F. Kesimpulan
Sebagai penutup tulisan ini, penulis mencoba menyimpulkan, walaupun masih jauh dari sempurna. Di mana ciri khas pemikiran Husserl tentang bagaimana semestinya menemukan kebenaran dalam filsafat terangkai dalam satu kalimat “Nach den sachen selbst” (kembalilah kepada benda-benda itu sendiri). Dengan pernyataan ini Husserl menghantar kita untuk memahami realitas itu apa adanya serta mendeskripsikan seperti apa dan bagaimana realitas itu menampakkan diri kepada kita. Namun sesungguhnya usaha kembali pada benda-benda itu sendiri, bagi Husserl adalah kembali kepada realitas itu sebagaimana dia tampil dalam keasadaran kita. Apa yang tampil kepada kita itulah yang disebut fenomena.
Fenomenologi secara khusus berbicara tentang kesadaran dan strukturnya, atau cara-cara bagaimana fenomena muncul pada kita. Karena kesadaran semestinya merupakan apa, di mana segala sesuatu menyatakan dirinya dan fenomenologi adalah studi tentang kesadaran, maka fenomenologi merupakan filsafat utama.
Eksistensialisme berhubungan erat dengan fenomenologi. Fenomenologi lebih suatu metode filsafat daripada suatu ajaran. Metode fenomenologi Husserl kemudian dikembangkan oleh muridnya antara lain; M. Scheler dan Merleau-Ponty. Fenomenologi mengatakan bahwa kita harus memperkenalkan gejala-gejala dengan menggunakan intuisi. Kenyataan tidak harus didekati dengan argumen-argumen, konsep-konsep dan teori umum. Setiap benda mempunyai “hakekat-hakekatnya” dan “hakekat” ini berbicara kepada kita kalau kita membuka diri untuknya. Kita harus “mengabstrahir” dari semua hal yang tidak hakiki. Kalau segala sesuatu yang tidak hakiki sudah dilepaskan, lalu semua hal yang ingin kita selidiki, mulai berbicara dan “bahasa” ini dimengerti berkat intuisi kita. Oleh karena itu, metode fenomenologis telah membuktikan manfaatnya untuk epistemologi, psikologi, antropologi, studi agama-agama dan etika.


Daftar Pustaka
Gahral Adian, Donny, Percik Pemikiran Kontemporer (sebuah Pengantar Komprehensif),
Yogyakarta: Jalasutra, 2005.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2005.
Delfgaauw, Bernard, Filsafat Abad XX, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1988.
Hamersma, Herry, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1983.
Hamersma, Herry, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Team Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Baru), Jakarta: Pustaka Phoenix,
2007.

perjalanan