PEMIKIRAN FENOMENOLOGI MENURUT EDMUND
HUSSERL
A. Pendahuluan
Istilah
fenomena sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun yang menjadi
persoalan; apakah hanya sebatas istilah yang sudah lumrah dipakai atau istilah
yang bertujuan memperindah bahan pembicaraan saja. Atau pun hanya sebatas
pengertian empiris (pengalaman indera-indera kita). Jika kita berbicara mengenai fenomenologi, pasti tidak
lepas dari suatu terminologi “what is it?”
(Apa itu?). Terdorong dari kemauan
untuk memahami secara lebih mendalam tentang apa itu fenomenologi.
Pertama,
riwayat hidup
Husserl dalam mendalami
pemikirannya, tentu lebih utama kita harus tahu sedikit mengenai identitasnya.
Siapa dia, berasal dari mana, bagaimana latar belakang kehidupannya, dan
sebagainya. Dua, karya atau pemikiran utamanya. Untuk
mengetahui pemikirannya, perlulah kita mengerti terlebih dahulu tulisan-tulisan
terpentingnya. Tiga, pikiran-pikiran pokok.
Tulisan ini
difokuskan pada Pemikiran Fenomenologi Menurut Edmund Husserl. Sebab
ia tokoh pertama selaku pendiri aliran ini. Hussel sangat mempengaruhi filsafat ilmu pada abad XX secara mendalam sampai pada penemuan akan
analisa struktur intensi dari tindakan-tindakan mental dan sebagaimana struktur
ini terarah pada obyek real dan ideal. Bagi Husserl, Fenomenologi
ialah ilmu pengetahuan (logos)
tentang apa yang tampak (phenomena). Fenomenologi dengan demikian,
merupakan ilmu yang mempelajari, atau apa yang menampakkan diri fenomenon.
B. Riwayat Hidup
Edmund Gustav
Aibercht Husserl
Fenomenologi
sebagai suatu gerakan filsafat hingga memperoleh bentuk seperti sekarang ini,
pertama kali diintrodusir oleh filsuf Jerman Edmund Gustav Aibercht
Husserl1 (Ia adalah seorang ahli ilmu pasti dan
profesor Filsafat dari Universitas Freiburg di Breisgau (Jerman Selatan)
kira-kira satu abad yang lalu), lahir di Prestejov (dahulu Prossnitz) di Czechoslovakia 8
April 1859 dari keluarga yahudi. Di universitas Husserl belajar ilmu alam, ilmu falak, matematika, dan filsafat;
mula-mula di Leipzig kemudian juga di Berlin dan Wina. Di Wina ia tertarik pada
filsafat dari Brentano. Dia mengajar di Universitas Halle dari tahun 1886-1901,
kemudian di Gottingen sampai tahun 1916 dan akhirnya di Freiburg. Ia juga
sebagai dosen tamu di Berlin, London, Paris, dan Amsterdam, dan Prahara.
Husserl terkenal dengan metode yang diciptakan olehnya yakni metode
“Fenomenologi” yang oleh murid-muridnya diperkembangkan lebih lanjut. Husserl
meninggal tahun 1938 di Freiburg. Untuk menyelamatkan warisan intelektualnya
dari kaum Nazi, semua buku dan catatannya dibawa ke Universitas Leuven di
Belgia2(Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 114).
C. Tulisan-Tulisan
Terpenting Edmund Gustav Aibercht Husserl
1). Logische
Untersucgsuchugen I dan II (Penyelidikan-penyelidikan logis), tahun 1900-1901. Bertujuan agar dapat mempelajari struktur kesadaran,
karena itu harus dibedakan antara tindakan dari kesadaran dan fenomena di mana diarahkan (obyek memakai diri sendiri).
Dengan membahas ini sekali lagi menunjukkan sikapnya yang menolak psikologi.
Tidaklah mungkin memasukkan logika ke dalam psikologi, karena psikologi dapat
mendeskripsikan proses faktual kegiatan akal, sedangkan logika hanya bisa
mempertimbangkan sah atau tidaknya kegiatan akal tersebut. Edmund Husserl menganalisa srtuktur intensi dari tindakan-tindakan
mental dan bagaimana struktur ini terarah pada obyek yang real dan ideal.
2). Ideen
zu einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen Philosophie, 1913 (Gagasan-gagasan untuk suatu fenomenolgi murni dan
suatu filsafat fenomenologis). Untuk pertama kalinya terkuak kecenderungan
idealistik ini. Seorang fenomenolog harus secara sangat cermat “menempatkan di
antara tanda kurung”, artinya kenyataan di antara dunia luar. Yang utama ialah
fenomenanya, dan fenomena ini hanya tampil dalam kesadaran. Usaha untuk
melakukan pendekatan terhadap dunia luar ini, memerlukan metode yang khas,
karena keinsyafan serta-merta mengenai dunia luar ini masuk merembes di
mana-mana dan menyebabkan analisa yang keliru.
3). Meditations
Cartesiennes, 1931
(Renungan-renungan Kartesian). Dalam buku ini dibahas beberapa permenungan
Kartesian, di mana semakin lama semakin penting. “Aku bertolak dari kesadaranku
untuk menemukan kesadaran transedental (prinsip dasar dari pemahaman murni yang
melampaui atau mengatasi batas-batas pengalaman) di dalamnya, tetapi bagaimana
caranya menemukan pihak lain dalam kesadaran? Apakah dengan demikian mau tidak
mau aku akan terperosok di dalam solipisme (percaya akan diri sendiri),
sehingga yang ada hanyalah kesadaranku sendiri? Bagaimana aku dapat mengetahui
adanya dunia intersubjektif?
D. Pikiran-Pikiran Pokok
Edmund Gustav
Aibercht Husserl
1. Fenomenologi
Istilah
fenomenologi secara etimologis berasal dari kata
fenomena dan logos. Arti
kata logos sudah tidak perlu dijelaskan lagi, sebab sudah
menjadi pengertian umum dan dikenal dalam berbagai susunan. Sedangkan
kata fenomena berasal dari kata kerja Yunani “phainesthai” yang
berarti menampak, dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang
artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat
karena bercahaya. Dalam bahasa kita berarti cahaya. Secara harfiah fenomena
diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan.
Lebih lanjut
dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari dua sudut.
Pertama, fenomena selalu
“menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran.
Dua,
fenomena dari
sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita. Maka dalam
memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat “penyaringan” (ratio),
sehingga mendapatkan kesadaran yang murni.
Fenomenologi
adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek
sebagai korelat kesadaran3 (Donny Gahral Adian, Percik
Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif, Yogyakarta: Jalasutra, 2005, hlm. 151).
Pertanyaannya, bagaimana esensi-esensi tersebut, tanpa terkontaminasi
kecenderungan psikologisme dan naturalisme? Husserl mengajukan satu prosedur
yang dinamakan epoche (penundaan semua
asumsi tentang kenyataan demi memunculkan esensi). Tanpa
penundaan asumsi naturalisme dan psikolgisme, kita akan terjebak pada dikotomi4 (Dalam KBBI
(Team Pustaka Phoenix, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Edisi Baru), Jakarta:
Pustaka Phoenix, 2007 hlm.192). Dikotomi diartikan sebagai klasifikasi ke dalam dua kelas sebagai sifat-sifat paradoks yang
berpasangan; pembagian dua konsep yang bertentangan satu sama lain) (subyek-obyek yang menyesatkan/bertentangan satu sama
lain). Tujuan epoche adalah mengembalikan sikap
kita kepada dunia, yakni sikap yang menghayati, bukan memikirkan
benda-benda. Contohnya, saat mengambil gelas, saya tidak
memikirkan secara teoritis (tinggi, berat dan lebar) melainkan menghayatinya
sebagai wadah penampung air untuk diminum. Ini yang hilang dari pengalaman
kita, kalau kita menganut asumsi naturalisme. Dan ini yang kembali dimunculkan
oleh Husserl. Akar filosofis fenomenologi Husserl ialah dari pemikiran
gurunya, Franz Bretano. Dari Brentano-lah Husserl mengambil konsep filsafat
sebagai ilmu yang rigoris5(Berdasarkan
Kamus Filsafat karangan Lorens Bagus, Kamus Filsafat,Jakarta:
Gramedia, 2005, hlm.957, Rigoris merupakan suatu
sikap pikiran di mana dalam pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya suatu
tindakan, bersikeras mempertahankan pandangan yang sempit dan ketat) (sikap pikiran di mana dalam pertentangan pendapat
mengenai boleh tidaknya suatu tindakan); sebagaimana juga bahwa filsafat
terdiri atas deskripsi dan bukan penjelasan kausal.
Sebelum tahun
1908 Husserl dan gurunya, mengartikan fenomenologi sebagai “fenomenologi
psikologis”, yaitu Psikologi Deskriptif. Psikologi yang hanya mencatat apa yang
dilihat, tanpa mencari keterangan-keterangan mengenai sebab gejala-gejala.
Husserl berkata bahwa “kita perlu kembali ke benda-benda sendiri”
(Zu den Sachen selbst).
Obyek-obyek harus diberi kesempatan untuk berbicara. Deskripsi fenomenologis
tidak dimaksudkan untuk menggantikan keterangan ilmiah, melainkan baru sebagai
persiapan untuk keterangan ilmiah. Melalui deskripsi fenomenologis dicari Wesenchau:
melihat (secara intuitif) hakekat gejala-gejala. Untuk mencapai hal ini, kita
harus memakai metode variasi eidetis (dalam fantasi, kita membayangkan gejala
dalam macam-macam keadaan yang berbeda), sehingga tampak apa yang merupakan
batas invariabel dalam situasi-situasi yang berbeda ini. Yang muncul sebagai
sesuatu yang berubah-ubah itu disebut wesen, yang
dicari.
Setelah tahun
1908 Fenomenologi Husserl menjadi “fenomenologi Transendental”. Dia berpendapat
dalam periode ini bahwa kesadaran bukan bagian dari kenyataan, melainkan asal
dari kenyataan. Husserl menolak kesadaran bipolaritas (kesadaran dan alam,
subyek dan obyek). Artinya kesadaran tidak menemukan obyek-obyek. Obyek-obyek
diciptakan oleh kesadaran. Dengan pendapat ini, Husserl dekat dengan idealisme.
Bagi ilmu-ilmu, kesadaran dan alam memang tampak sebagai dua pola dalam
kenyataan, namun harus dipasang dalam suatu ideologi idealitas yang hanya masih
menerima satu pola, yaitu kesadaran.
Fenomenologi
adalah disiplin ilmu yang sungguh revolusioner dan berpengaruh. Sebagai corak
berfilsafat, fenomenologi sangat orisinil, pola berfilsafat yang
tidak lagi mencari esensi di balik penampakkan, melainkan berkonsentrasi
penuh pada penampakkan itu sendiri. Fenomenologi menyapu bersih segala asumsi
yang cenderung mengotori kemurnian pengalaman manusia.
Pengaruh
fenomenologi sangat luas. Hampir semua disiplin keilmuan mendapatkan inspirasi
dari fenomenologi, antara lain; psikologi, sosiologi, antropologi sampai
arsitektur, semuanya memperoleh napas baru dengan munculnya fenomenologi.
Selain
mempengaruhi ke luar, fenomenologi juga menghasilkan varian dalam fenomenologi
itu sendiri. Sebut saja filsuf semacam Heidegger dan Marleau Ponty. Mereka
mengembangkan fenomenologinya sendiri yang berbeda dengan fenomenologi Husserl.
Heidegger dengan fenomenologi eksistensial, sedangkan Ponty dengan fenomenologi
persepsi. Keluarnya mereka dari arus utama fenomenologi Husserl dilandasi oleh
penolakan mereka terhadap konsep ego transedental. Manusia bukan ego yang
terlepas dari lingkungannya. Manusia adalah wujud dalam dunia yang menemukan
selalu, sudah terisolasi dalam dunia kehidupan.
Sebagai
disiplin, fenomenologi sudah menampakkan dirinya kuat-kuat dalam arus besar
pemikiran kontemporer. Masa depannya sangat bergantung pada seberapa jauh
pengetahuan kita untuk mendalami dan mengembangkannya.
2.
Intensionalitas
Salah satu hal
yang muncul sebagai hasil fenomenologi Husserl ialah perhatian baru untuk
intensionalitas kesadaran6(Harry Hamersma, Op.cit, hlm. 117). Kesadaran
kita tidak dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya ada kesadaran
memang diandaikan tiga hal, yaitu bahwa ada suatu subyek yang terbuka untuk
obyek-obyek yang ada. Fakta bahwa kesadaran selalu terarah kepada obyek-obyek
disebut intensionalitas (dari kata “intendere” artinya
“menuju ke”). Kiranya tidak tepat mengatakan bahwa kesadaran mempunyai
“intensionalitas”, karena kesadaran itu justru intensionalitas. Entah kita sungguh-sungguh
melihat suatu pemandangan itu, bila kita masih menyadari perbedaan antara kedua
kemungkinan ini maka kita tetap menyadari sesuatu. Kesadaran tidak pernah pasif
melulu. Karena menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu. Hal yang disadari
dijadikan sesuatu yang ada bagi saya. Kesadaran itu bukan berarti suatu cermin
atau foto. Kesadaran itu suatu tindakan. Artinya terdapat interaksi antara
tindakan kesadaran dengan obyek kesadaran. Namun interaksi ini tidak boleh
dianggap sebagai kerjasama antara dua unsur yang sama penting. Karena akhirnya,
hanya ada kesadaran, obyek yang disadari itu hanyalah suatu ciptaan kesadaran.
Pengalaman
subyek harus selalu dipandang sebagai pengalaman yang terlibat secara aktif
dengan dunia. Kesadaran tidak tertutup dari dunia, tetapi selalu menuju,
mengarah dan membuka pada dunia. Oleh karena itu kita tidak boleh memikirkan
pengalaman dalam kesadaran manusia seperti obyek “dalam kardus”.
Pengalaman
bukan sebuah “celah” yang mana dunia, hadir terpisah darinya, menerobos masuk.
Itu tidak sama halnya dengan menarik sesuatu yang asing ke dalam kesadaran.
Pengalaman adalah pagelaran yang mana bagi saya, sosok yang mengalami, wujud
yang dialami ‘ada di sana’ dan di sana sebagaimana adanya dengan seluruh
muatannya dan modus berada di mana pengalaman sendiri. Lewar intensionalitas,
yang melekatkannya7 (Donny Gahral
Adian, Op.cit, hal. 141). (Husserlian XVII: 239-240).
3. Tiga Jenis
Reduksi8 (Harry
Hamersma, Op.cit, hlm. 117)
Supaya dengan
intuisi kita dapat menangkap hakekat obyek-obyek, maka dibutuhkan tiga reduksi.
Reduksi-reduksi ini yang menyingkirkan semua hal yang mengganggu kalau kita
ingin mencapai wesenschau. Reduksi pertama:menyingkirkan
segala sesuatu yang subyektif. Sikap kita harus obyektif, terbuka untuk
gejala-gejala yang harus “diajak bicara”. Dua: menyingkirkan
seluruh pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan diperoleh dari sumber
lain. Tiga:menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan. Segala
sesuatu yang sudah dikatakan oleh orang lain harus, untuk sementara dilupakan.
Kalau reduksi-reduksi ini berhasil, gejala sendiri dapat memperlihatkan diri,
menjadi fenomin (memperlihatkan diri).
E. Relevansi
Pada milenium
ketiga ini, banyak fenomena-fenomena yang terjadi. Baik secara langsung (kita
sadari) maupun yang tidak kita sadari. Fenomena-fenomena yang “masih panas” dan
menjadi persoalan yang kerapkali diperbincangkan dalam media masa; salah
satunya tentang “global warming”. Adapun fenomena yang baru saja kita
alami yakni bencana alam. Khususnya di Indonesia kita dapat melihat
fenomena-fenomena alam yang sering menimpa negeri kita yang tercinta ini.
Fenomena alam yang tidak diketahui kapan dan apa yang menyebabkannya terjadi,
antara lain misalnya saja; meluapnya lumpur Lapindo di Sidoarjo dan gelombang
Tsunami di Aceh. Memang kita yakin bahwa penyebabnya ialah keserakahan dan
ketidakpuasan manusia akan sumber daya alam. Dalam hal ini, ketidakpuasan dari
manusia akan kebutuhan hidup.
Menurut hemat
penulis, baik global warming maupun fenomena-fenomena alam
lainnya merupakan fenomena yang sangat menarik dan masih aktual untuk
diperbincangkan dalam pembahasan fenomenologi. Misalnya, menumpuknya sampah di
TPA Spiturang. Siapa yang percaya bahwa pemulung yang sering mengais-ngais
sampah itu sebenarnya orang kaya. Rupanya dibalik semuanya itu ada
fenomena-fenomena yang mau disampaikan. Dalam hal ini, sebaiknya janganlah kita
melihatnya hanya sebatas mata melihat/apa yang tampak pada mata kita, tetapi
sebenarnya ada fenomena yang tersembunyi dibalik semuanya itu yaitu pemulung di
TPA Spiturang adalah bukan semuanya miskin, tetapi kebanyakan orang kaya.
Dalam tulisan
ini, penulis menghimbau kepada kita yang hadir di sini; supaya dalam melihat,
merasakan (mengalami) setiap fenomena-fenomena dalam hidup, selalu bertitik
berangkat dari pemikiran fenomenologi, di mana kita perlu kembali kepada
benda-benda itu sendiri. Jelas bahwa yang dimaksud ialah membiarkan obyek-obyek
itu menampilkan seperti dirinya sendiri. Dengan demikian kita akan menjadi
“pewaris” pemikiran Husserl dan juga kita akan dibawa kepada suatu referensi
yang mendalam dari luasnya panorama-panorama fenomenologi dewasa ini. Sedangkan
bagi masyarakat pada umumnya. Semoga dengan memandang fenomena dari dua sudut
yaitu melihat fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan
realitas di luar pikiran. Kemudian melihat fenomena dari sudut kesadaran kita,
karena selalu berada dalam kesadaran kita. Dengan demikian, dalam memandang
fenomena-fenomena harus melihat ‘penyaringan’ (ratio) terlebih dahulu sehingga
mendapatkan kesadaran yang murni.
Sebagai
pertanyaan refleksi bagi kita; sudahkah kita melakukan semuanya ini? Beranikah
kita “menyapu” bersih segala asumsi yang cenderung mengotori kemurnian
pengalaman manusiawi kita? Persoalannya sekarang ialah dari mana kita memulainya?
Kapan kita memulainya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penulis
menawarkan solusi yang sekiranya berguna bagi kita yakni dengan melakukan “M3+J”.
M3 (Mulai dari diri sendiri, Mulai dari hal-hal yang kecil dan, Mulai dari sekarang), sedangkan J (Jadilah
fenomenolog yang kritis di zaman sekarang).
F. Kesimpulan
Sebagai penutup
tulisan ini, penulis mencoba menyimpulkan, walaupun masih jauh dari
sempurna. Di mana ciri khas pemikiran Husserl tentang bagaimana semestinya
menemukan kebenaran dalam filsafat terangkai dalam satu kalimat “Nach
den sachen selbst” (kembalilah kepada benda-benda itu sendiri).
Dengan pernyataan ini Husserl menghantar kita untuk memahami realitas itu apa
adanya serta mendeskripsikan seperti apa dan bagaimana realitas itu menampakkan
diri kepada kita. Namun sesungguhnya usaha kembali pada benda-benda itu
sendiri, bagi Husserl adalah kembali kepada realitas itu sebagaimana dia tampil
dalam keasadaran kita. Apa yang tampil kepada kita itulah yang disebut
fenomena.
Fenomenologi
secara khusus berbicara tentang kesadaran dan strukturnya, atau cara-cara
bagaimana fenomena muncul pada kita. Karena kesadaran semestinya merupakan apa,
di mana segala sesuatu menyatakan dirinya dan fenomenologi adalah studi tentang
kesadaran, maka fenomenologi merupakan filsafat utama.
Eksistensialisme
berhubungan erat dengan fenomenologi. Fenomenologi lebih suatu metode filsafat
daripada suatu ajaran. Metode fenomenologi Husserl kemudian dikembangkan oleh
muridnya antara lain; M. Scheler dan Merleau-Ponty. Fenomenologi mengatakan
bahwa kita harus memperkenalkan gejala-gejala dengan menggunakan intuisi.
Kenyataan tidak harus didekati dengan argumen-argumen, konsep-konsep dan teori
umum. Setiap benda mempunyai “hakekat-hakekatnya” dan “hakekat” ini berbicara
kepada kita kalau kita membuka diri untuknya. Kita harus “mengabstrahir” dari
semua hal yang tidak hakiki. Kalau segala sesuatu yang tidak hakiki sudah
dilepaskan, lalu semua hal yang ingin kita selidiki, mulai berbicara dan
“bahasa” ini dimengerti berkat intuisi kita. Oleh karena itu, metode
fenomenologis telah membuktikan manfaatnya untuk epistemologi, psikologi,
antropologi, studi agama-agama dan etika.
Daftar Pustaka
Gahral Adian,
Donny, Percik
Pemikiran Kontemporer (sebuah Pengantar Komprehensif),
Yogyakarta:
Jalasutra, 2005.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2005.
Delfgaauw,
Bernard, Filsafat Abad
XX, Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 1988.
Hamersma,
Herry, Tokoh-Tokoh
Filsafat Barat Modern, Jakarta:
Gramedia, 1983.
Hamersma,
Herry, Pintu Masuk ke
Dunia Filsafat, Yogyakarta:
Kanisius, 1980.
Team Pustaka
Phoenix, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Edisi Baru), Jakarta:
Pustaka Phoenix,
2007.
No comments:
Post a Comment