Friday, September 6, 2013

EPISTIMOLOGIS ILMU PENGETAHUAN MENURUT JURGEN HABERMAS

EPISTIMOLOGIS ILMU PENGETAHUAN MENURUT JURGEN HABERMAS
                                                   




A.    Sekilas tentang Habermas

Jurgen Habermas, lahir di Jerman pada 18 Juni 1929, termasuk seorang filsuf yang paling berpengaruh di abad kontemporer. Pergulatan pemikirannya terbentuk setelah ia memasuki sebuah aliran filsafat yang sejak 60 tahun semakin berpengaruh dalam dunia filsafat maupun ilmu-ilmu sosial, yaitu filsafat kritis, yang tergabung dalam Mazhab Frankfurt (Suseno, 1997: 175). Habermas merupakan anak Ketua Kamar Dagang propinsi Rheinland Westfalen di Jerman Barat. Ia dibesarkan di Gummersbach, sebuah kota menengah di Jerman dengan dinamika lingkungan Borjuis-Protestan.
Dia seorang filsuf generasi kedua yang terkenal dari Frankfurt School of Social Research. Habermas meraih gelar Ph.D setelah menyelesaikan disertasinya yang membicarakan bagaimana pertentangan antara yang mutlak dan sejarah dalam pemikiran Schelling. Habermas juga diangkat sebagai asisten Theodor Adorno di Frankfurt yang kemudian dia diangkat manjadi professor filsafat sekaligus direktur daripada Institut Max Planck di Starberg
Dia menentukan minatnya pada filsafat secara serius di Universitas Bonn, di mana tahun 1954, ia meraih gelar doktor filsafat dengan sebuah disertasi berjudul Das Absolute und dia Geshiclite (Yang Absolut dan Sejarah), yang merupakan studi tentang pemikiran Schelling (Bertens, 2002: 236).
Meskipun Habermas merupakan anggota dalam mazhab Frankfurt yang sangat dipengaruhi oleh karya Hegel dan Marx, Habermas menolak teori yang membahas pesimisme yang ada pada generasi pertama sebelumnya yang dikemukakan Marx. Seperti sependapat dengan pendapat Weber.
Karya-karya dari seorang habermas diantaranya adalah :
1. Legitimationsprobleme im Spatkapitalismus (Masalah legitimasi dalam kapitalisme kemudian hari, 1973)
2. Kultur und Kritik (Kebudayaan dan Kritik, 1973)
3. Zur Rekonstruktion des Historischen Materialismus (Demi rekonstruksi materialisme historis, 1976).
4. Theorie des kommunikativen Handelns (Teori tentang praksis komunikatif, dua jilid, 1981).


B. Epistimologi Ilmu Pengetahuan menurut Habermas

Habermas membagi tiga kelompok ilmu pengetahuan diantaranya :
1. Kelompok ilmu empiris, adalah ilmu alam yang menggunakan paradigma positivisme, kepentingannya adalah menaklukkan, menemukan hukum-hukum dan mengontrol alam.
2. Ilmu-ilmu humaniora, yang memiliki kepentingan praktis dan saling memahami, seperti ilmu pengetahuan sosial budaya. Kepentingan ilmu ini bukan untuk mendominasi atau menguasai, juga bukan membebaskan, tetapi memperluas saling pemahaman.
3. Ilmu kritis yang dikembangkan melalui refleksi diri, sehinga melalui refleksi diri, kita dapat memahami kondisi-kondisi yang tidak adil dan tidak manusiawi dalam kehidupan. Kepentingannya adalah emansipatoris.

Habermas menolak sikap yang dikatakan sebagai bebas nilai dalam bentuk ilmu pengetahuan, menurutnya semua ilmu pengetahuan dan pembentukan teori selalu dibarengi oleh interest-kognitif atau kepentingan konstitutif – pengetahuan tertentu yaitu suatu orientasi dasar yang mempengaruhi jenis pengetahuan dan objek pengetahuan dan objek pengetahuan tertentu
Melalui pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Universitas Frankfurt Habermas berusaha mengembalikan ilmu pada posisinya sebagai salah satu (bukan satu-satunya) bentuk pengetahuan yang mungkin mengenai kenyataan. Habermas menunjukan bahwa situasi keilmuwan tersebut membutuhkan suatu pandangan kritis dari ilmu-ilmu sosial. Pandangan kritis tersebut berfungsi untuk meneropong kepentingan-kepentingan penguasaan yang tanpa disadari telah menjerumuskan teori-teori positivis itu ke dalam bahaya. Tegasnya, Ilmu-ilmu sosial kemanusiaan tidak boleh mengacu pada ilmu-ilmu alam. Harus dikatakan bahwa ilmu-ilmu manusia mempunyai nilai yang khas dan, karenanya, sama sekali lain dari ilmu-ilmu alam dimaksud.

C. Kritik Habermas terhadapat teori sebelumnya

Meskipun sejalan dengan Husserl, Habermas menihilkan konsep teori sejati yang dipahami oleh fenomenologi Husserl tersebut. Fenomenologi Husserl memang berusaha menemukan hubungan antara teori dengan dunia kehidupan yang dihayati (Santoso, 2003: 231). Tetapi Habermas tidak setuju akan tujuan akhir fenomenologi untuk menghasilkan teori murni yang diyakini dapat diterapkan pada praktik.
Teori murni hasil pendekatan fenomenologi itu juga merupakan tujuan ontologi. Husserl memang berhasil mengkritik positivisme, tetapi, menurut Habermas, dia tidak melihat kaitan positivisine dengan ontologi dalam hal pemahaman tentang teori murni itu. Berdasarkan pemahaman ini, Habermas mencoba mengembalikan pendasaran epistemologinya pada konsep asli tentang ‘theoria’, yang artinya kontemplasi dalam kosmos atau realitas, yang berakar pada tradisi kontemplasi Yunani Kuno. Melalui kontemplasi. filsuf memisahkan unsur-unsur yang tetap dan yang berubah-ubah.
Usaha untuk menemukan tatanan yang tetap abadi di dalam kosmos dan seluruh realitas itulah yang merupakan dasar proses perubahan teori menjadi ontologi. Yang ingin dicapai oleh ontologi adalah sebuah penjelasan obyektif tentang seluruh realitas, atau dengan kata lain, teori murni. Habermas berusaha mengaitkan usaha untuk memperoleh teori murni dengan proses emansipasi (Hardiman, 1993: 5-6).
Pencarian teori murni untuk menemukan tatanan kosmos yang bersifat tetap dan abadi, menurut Habermas, merupakan ikhtiar yang sia-sia atau ilusi, ketika subyektivitas peneliti `dihilangkari. Bagaimana mungkin dapat diperoleh sebuah penjelasan ilmiah yang bersih dari kepentingan-kepentingan subyek peneliti, tatkala subyek ikut terintegrasi dalam kegiatan tersebut. Bagi Habermas, dengan menyembunyikan kaitan pengetahuan dengan kepentingan dan pengklaiman diri obyektif, ilmu pengetahuan akan melaksanakan kepentingannya.
Kepentingan ini hilang dalam setiap perbincangan mengenai ilmu, dan tugas teori kritis, menurut Habermas, adalah menunjukkan kepentingan-kepentingan (Hardiman, 1993: 7). Pertautan antara pengetahuan dengan kepentingan tersebut dijelaskan dalam tiga cakupan ilmu yaitu; Pertama, ilmu-ilmu empiris-analitis (ilmu-ilmu alam) yang berada pada kepentingan teknis untuk menguasai proses-proses yang dianggap obyektif. Sistem acuan ilmu-ilmu ini adalah penguasaan teknis; kedua, ilmu-ilmu historis-hermeneutis yang berusaha memahami makna (Sinnverstehen), dan
bukan menjelaskan (Erklaren) fakta yang diobservasi. Dalam terminologi ini maka tugas penafsir memegang peranan penting untuk mengkomunikasikan makna dalam fakta. Pada konteks ini, kepentingan praktis ditekankan untuk mencapai saling pengertian atau consensus; ketiga , ilmu-ilmu kritis merupakan usaha lebih lanjut terhadap apa yang dilakukan oleh ilmu-ilmu sosial dalam menjelaskan berbagai tingkah laku sosial.
Pernyataan dan teori-teori sosial cenderung mengenai proles-proses sosial tersebut sebagai keniscayaan sebagaimana ilmu-ilmu alam. Lebih dari usaha tersebut, ilmu-ilmu kritis berusaha menunjukkan bahwa keajegan-keajegan tertentu yang merupakan pola hubungan ketergantungan ideologis pada dasarnya dapat diubah. Apa yang dianggap sebagai `hukum-hukum' yang mengatur proses proses sosial itu, dianggap sudah tidak berlaku. Sebagai contoh metodenya Habermas menyebut `refleksi diri' (substreflexion).
Kepentingan yang berkaitan dengan proses refleksi diri ini adalah kepentingan kognitif-emansipatoris. Melalui refleksi diri, orang harus dibebaskan dari segala sesuatu yang mendominasi, yang membelenggu dan mengarah pada kemungkinan adanya hubungan-hubungan ketergantungan tersebut (Hardiman, 1993: 165-178).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hubungan antara kepentingan dengan pengetahuan tersebut hanyalah kepentingan teknis belaka yang telah menghasilkan ilmu-ilmu empiris-analitis, baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial empiris. Dominasi kepentingan teknis menjadikan ilmu-ilmu empiris-teknis lebih berhubungan dengan kekuatan-kekuatan produktif atau berorientasi pada usaha untuk melakukan kontrol teknis atas alam, manusia dan masyarakat. Sementara dominasi kepentingan praktis telah menghasilkan ilmu-ilmu historis-hermeneutis, baik ilmu-ilmu humaniora maupun ilmu sosial-simbolis.
Kepentingan ini bertujuan menjadi bagian dari kekuatan-kekuatan komunikatif yang memajukan interaksi sosial, yaitu dapat memperluas intersubyektivitas otentik serta mengurangi intersubyektivitas yang tertindas maupun yang tidak terartikulasikan. Sedangkan ilmu-ilmu kritis lebih menekankan diri pada kepentingan kognitif emansipatoris melalui kekuatan refleksi diri untuk melakukan kerja emansipatons manusia dari kesadaran palsu (Hardiman,1993: 192-193).



Daftar Pustaka
Bertens, K. 2002. Filsafat Barat Kontemporer, Inggris – Jerman, edisi IV. Jakarta : Gramedia. Bleicher, Josep. 1980.

Fautanu, Idzam, Filsafat Ilmu teori dan Aplikasi, (Cet.1: Jakarta, 2012

Habermas, Jurgen. Maret 2007. Teori Tindakan Komunikatif II: Kritik atas Rasio Fungsionaris. Terjemahan oleh Nurhadi. Kreasi Wacana Yogyakarta

Hardiman, Budi. 1990. Kritik Idiologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Yogyakarta: Kanisius.

Suseno, Fran Magnis. 1997. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius.

perjalanan