Paradigma
Konstruktivis
Konstruktivis, seperti
dipaparkan oleh Guba dan Lincoln, mengadopsi ontologi kaum relativis (ontologi
relativisme), epistimologi transaksional, dan metodologi hermeneutis atau
dialektis. Tujuan penelitian dari paradigma ini diarahkan untuk menghasilkan
berbagai pemahaman yang bersifat rekonstruksi, dengan tema-tema sifat layak dipercaya (trustworthiness) dan otentisitas (authenticity)[1].
Paradigma konstruktivis
merupakan anti-tesis atau bentuk perlawanan dari hegemoni paradigma positivis yang sangat mekanistik dan
simplifistik. Aliran positivis
memandang manusia diatur oleh alam (determinism).
Ia bersifat objektif dan menepikan nilai sarat kreativitas sebagai sesuatu yang
inheren bahkan given dalam diri manusia.
Paradigma konstruktivis
merupakan salah satu prespektif dalam tradisi sosiokultural. Paradigma ini
menyatakan bahwa identitas benda dihasilkan dari bagaimana kita berbicara
tentang objek, bahasa yang digunakan untuk mengungkap konsep kita, dan
cara-cara kelompok sosial menyesuaikan diri pada pengalaman umum mereka.
Keberadaan simbol atau bahasa menjadi penting dalam proses pembentukan
realitas. Berbagai kelompok dengan identitas, pemaknaan, kepentingan,
pengalaman, dan sebagainya mencoba mengungkapkan diri dan selanjutnya akan
memberi sumbangan dalam membentuk realitas secara simbolik. Realitas secara
simbolik merupakan hasil kesepakatan bersama secara sosial. Realitas tidak
menunjukkan dirinya dalam bentuknya yang kasar, tetapi harus disaring terlebih
dahulu melalui bagaimana cara kita atau seseorang melihat sesuatu (Littlejohn
dan Foss, 2011:67).
Teori konstuktivisme dibangun
berdasarkan teori yang ada sebelumnya yaitu :konstruksi pribadi” atau
“konstruksi personal” (personal construct)
oleh George Kelly yang menyatakan, bahwa orang memahami pengalamannya dengan
cara mengelompokkan berbagai peristiwa menurut kesamaannya dan membedakan
berbagai hal melalui perbedaannya (Morissan, 2013:166). Dengan demikian,
paradigma konstruktivis memandang realitas kehidupan bukanlah realitas yang
natural, tetapi merupakan hasil dari rekonstruksi. Sehingga alam dirasa kurang
penting jika dibandingkan dengan bahasa, karena bahasalah yang digunakan untuk
memberi nama, membahas, dan mendekati dunia (Littlejohn dan Foss, 2011:67).
Kebenaran dalam paradigma konstruktivis
adalah suatu realitas yang bersifat relatif dan berlaku sesuai konteks yang
dinilai relevan oleh pelaku sosial. Implikasi paradigma konstruktivis dalam
ilmu pengetahuan adalah bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang
mencoba belajar untuk mengerti. Dalam penelitian dengan paradigma konstruktivis,
secara epistimologis pemahaman tentang suatu realitas atau temuan suatu
penelitian adalah merupakan produk interaksi antara peneliti dangan objek
penelitian. Dimana penelitian lebih menekankan empati dan interaksi antara
peneliti dan objek penelitian untuk merekonstruksi realitas yang diteliti
melalui metode-metode kualitatif. Secara axiologis,
nilai, etika, dan pilihan moral merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam
suatu penelitian konstruktivis, peneliti berperan sebagai passionate participant, fasilitator yang menjembatani keragaman
subjektivitas pelaku sosial.
Konstruktivis pada dasarnya
adalah teori dalam memilih strategi. Prosedur riset konstruktivis yang dilakukan
biasanya adalah dengan meminta subjek untuk memilih berbagai tipe pesan yang
berbeda dan mengelompokkan ke dalam berbagai kategori strategi. Aktivitas
penelitian berangkat dari berbagai isu atau perhatian para partisipan dan
melewati dialektika literasi, analisis, kritik, reiterasi, reanalysis, dan
sebagainya yang pada akhirnya sampai pada konstruksi bersama (antara pribadi
peneliti dengan responden) tentang sesuatu (temuan atau hasil). Berbagai
konstruksi yang muncul dari aktivitas penelitian dapat dinilai dari segi sejauh
mana konstruksi tersebut sesuai dengan data dan informasi yang dimilikinya;
sejauh mana “kegunaan” konstruksi tersebut (memberi tingkat penjelasan yang
meyakinkan); dan sejauh mana memiliki “relevansi” dan “dapat dimodifikasi”
(Guba dan Lincoln, 1989:179).
Sifat-sifat konstruksi dapat
dijelaskan sebagai berikut (Guba dan Lincoln, 1989):
1.
Konstruksi adalah
upaya untuk menjelaskan atau menafsirkan pengalaman, dan kebanyakan bersifat
bias, mempertahankan dan memperbarui diri.
2.
Sifat atau kualitas
konstruksi yang dihasilkan bergantung pada “rangkaian informasi yang tersedia
bagi si konstruktor, dan kecanggihan konstruktor dalam mengolah informasi
tersebut”.
3.
Konstruksi dikenal
secara luas, dan sebagainya merupakan “konstruksi yang diupayakan”, dalam arti
upaya-upaya kolektif dan sistematis demi sebuah kesepakatan umum tentang
sesuatu, misalnya, ilmu pengetahuan.
4.
Meskipun semua
konstruksi harus dianggap bermakna, sebagiannya bisa saja dianggap sebagai
“malkonstruksi” karena “tidak lengkap, simplistik, tidak menjelaskan, secara
internal inkonsisten, atau diperoleh melalui sebuah metodologi yang tidak
memadai[2].
Tradisi Sosiokultural
Tradisi sosiokultural sangat
berpengaruh terhadap pandangan , paham, atau paradigma konstruktivis sosial (social constructionism). Konstruktivis atau konstruktivisme sosial yang
biasanya dikenal dengan istilah the
social construction of reality adalah suatu sudut pandang untuk melakukan
penyelidikan tentang bagaimana pengetahuan manusia dibentuk melalui interaksi
sosial (Littlejohn dan Foss, 2011:67).
Dalam tradisi sosiokultural
terdapat tiga bentuk karya untuk membantu bagaimana memahami fungsi dari, dan
respon terhadao media sebagai bagian dari konteks budaya yang lebih besar. Pertama;
teori media menguji pengaruh sosiokultural terhadap media terlepas dari
konteks. Kedua; penyusunan agenda, menelusuri pengaruh media pada agenda
sosial. Ketiga; penelitian media tindakan sosial yang menelusuri
komunitas media itu sendiri.
Dengan demikian tanpa diragukan
lagi produksi media merespon perkembangan sosial dan budaya dan selanjutnya
mempengaruhi perkembangan tersebut. Adanya jenis media tertentu, seperti film
dan televisi mempengaruhi bagaimana berpikir tentang dan merespon pada dunia.
Sementara media bekerja dalam berbagai cara untuk segmen-segmen masyarakat yang
berbeda, audiens tidak semuanya terpengaruh, tetapi berinteraksi dalam cara
yang khusus dengan media (Littlejohn dan Foss, 2011:410).
No comments:
Post a Comment