Wednesday, November 12, 2014

PARADIGMA KONSTRUKTIVIS dan TRADISI SOSIOKULTURAL



            Paradigma Konstruktivis
Konstruktivis, seperti dipaparkan oleh Guba dan Lincoln, mengadopsi ontologi kaum relativis (ontologi relativisme), epistimologi transaksional, dan metodologi hermeneutis atau dialektis. Tujuan penelitian dari paradigma ini diarahkan untuk menghasilkan berbagai pemahaman yang bersifat rekonstruksi, dengan tema-tema sifat layak dipercaya (trustworthiness) dan otentisitas (authenticity)[1].
Paradigma konstruktivis merupakan anti-tesis atau bentuk perlawanan dari hegemoni paradigma positivis yang sangat mekanistik dan simplifistik. Aliran positivis memandang manusia diatur oleh alam (determinism). Ia bersifat objektif dan menepikan nilai sarat kreativitas sebagai sesuatu yang inheren bahkan given dalam diri manusia.
Paradigma konstruktivis merupakan salah satu prespektif dalam tradisi sosiokultural. Paradigma ini menyatakan bahwa identitas benda dihasilkan dari bagaimana kita berbicara tentang objek, bahasa yang digunakan untuk mengungkap konsep kita, dan cara-cara kelompok sosial menyesuaikan diri pada pengalaman umum mereka. Keberadaan simbol atau bahasa menjadi penting dalam proses pembentukan realitas. Berbagai kelompok dengan identitas, pemaknaan, kepentingan, pengalaman, dan sebagainya mencoba mengungkapkan diri dan selanjutnya akan memberi sumbangan dalam membentuk realitas secara simbolik. Realitas secara simbolik merupakan hasil kesepakatan bersama secara sosial. Realitas tidak menunjukkan dirinya dalam bentuknya yang kasar, tetapi harus disaring terlebih dahulu melalui bagaimana cara kita atau seseorang melihat sesuatu (Littlejohn dan Foss, 2011:67).
Teori konstuktivisme dibangun berdasarkan teori yang ada sebelumnya yaitu :konstruksi pribadi” atau “konstruksi personal” (personal construct) oleh George Kelly yang menyatakan, bahwa orang memahami pengalamannya dengan cara mengelompokkan berbagai peristiwa menurut kesamaannya dan membedakan berbagai hal melalui perbedaannya (Morissan, 2013:166). Dengan demikian, paradigma konstruktivis memandang realitas kehidupan bukanlah realitas yang natural, tetapi merupakan hasil dari rekonstruksi. Sehingga alam dirasa kurang penting jika dibandingkan dengan bahasa, karena bahasalah yang digunakan untuk memberi nama, membahas, dan mendekati dunia (Littlejohn dan Foss, 2011:67). 
Kebenaran dalam paradigma konstruktivis adalah suatu realitas yang bersifat relatif dan berlaku sesuai konteks yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Implikasi paradigma konstruktivis dalam ilmu pengetahuan adalah bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang mencoba belajar untuk mengerti. Dalam penelitian dengan paradigma konstruktivis, secara epistimologis pemahaman tentang suatu realitas atau temuan suatu penelitian adalah merupakan produk interaksi antara peneliti dangan objek penelitian. Dimana penelitian lebih menekankan empati dan interaksi antara peneliti dan objek penelitian untuk merekonstruksi realitas yang diteliti melalui metode-metode kualitatif. Secara axiologis, nilai, etika, dan pilihan moral merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam suatu penelitian konstruktivis, peneliti berperan sebagai passionate participant, fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial.
Konstruktivis pada dasarnya adalah teori dalam memilih strategi. Prosedur riset konstruktivis yang dilakukan biasanya adalah dengan meminta subjek untuk memilih berbagai tipe pesan yang berbeda dan mengelompokkan ke dalam berbagai kategori strategi. Aktivitas penelitian berangkat dari berbagai isu atau perhatian para partisipan dan melewati dialektika literasi, analisis, kritik, reiterasi, reanalysis, dan sebagainya yang pada akhirnya sampai pada konstruksi bersama (antara pribadi peneliti dengan responden) tentang sesuatu (temuan atau hasil). Berbagai konstruksi yang muncul dari aktivitas penelitian dapat dinilai dari segi sejauh mana konstruksi tersebut sesuai dengan data dan informasi yang dimilikinya; sejauh mana “kegunaan” konstruksi tersebut (memberi tingkat penjelasan yang meyakinkan); dan sejauh mana memiliki “relevansi” dan “dapat dimodifikasi” (Guba dan Lincoln, 1989:179).
Sifat-sifat konstruksi dapat dijelaskan sebagai berikut (Guba dan Lincoln, 1989):
1.    Konstruksi adalah upaya untuk menjelaskan atau menafsirkan pengalaman, dan kebanyakan bersifat bias, mempertahankan dan memperbarui diri.
2.    Sifat atau kualitas konstruksi yang dihasilkan bergantung pada “rangkaian informasi yang tersedia bagi si konstruktor, dan kecanggihan konstruktor dalam mengolah informasi tersebut”.
3.    Konstruksi dikenal secara luas, dan sebagainya merupakan “konstruksi yang diupayakan”, dalam arti upaya-upaya kolektif dan sistematis demi sebuah kesepakatan umum tentang sesuatu, misalnya, ilmu pengetahuan.
4.    Meskipun semua konstruksi harus dianggap bermakna, sebagiannya bisa saja dianggap sebagai “malkonstruksi” karena “tidak lengkap, simplistik, tidak menjelaskan, secara internal inkonsisten, atau diperoleh melalui sebuah metodologi yang tidak memadai[2].

Tradisi Sosiokultural
Tradisi sosiokultural sangat berpengaruh terhadap pandangan , paham, atau paradigma konstruktivis sosial (social constructionism). Konstruktivis atau konstruktivisme sosial yang biasanya dikenal dengan istilah the social construction of reality adalah suatu sudut pandang untuk melakukan penyelidikan tentang bagaimana pengetahuan manusia dibentuk melalui interaksi sosial (Littlejohn dan Foss, 2011:67). 
Dalam tradisi sosiokultural terdapat tiga bentuk karya untuk membantu bagaimana memahami fungsi dari, dan respon terhadao media sebagai bagian dari konteks budaya yang lebih besar. Pertama; teori media menguji pengaruh sosiokultural terhadap media terlepas dari konteks. Kedua; penyusunan agenda, menelusuri pengaruh media pada agenda sosial. Ketiga; penelitian media tindakan sosial yang menelusuri komunitas media itu sendiri.
Dengan demikian tanpa diragukan lagi produksi media merespon perkembangan sosial dan budaya dan selanjutnya mempengaruhi perkembangan tersebut. Adanya jenis media tertentu, seperti film dan televisi mempengaruhi bagaimana berpikir tentang dan merespon pada dunia. Sementara media bekerja dalam berbagai cara untuk segmen-segmen masyarakat yang berbeda, audiens tidak semuanya terpengaruh, tetapi berinteraksi dalam cara yang khusus dengan media (Littlejohn dan Foss, 2011:410).


[1] Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Handbook Qualitative Research. Yogyakarta:Pustaka Pelajar, Hal 124.
[2] Ibid., 162

No comments:

Post a Comment


perjalanan