Sunday, July 14, 2013

PEMIKIRAN FENOMENOLOGI EDMUND HUSSERL



PEMIKIRAN FENOMENOLOGI MENURUT EDMUND HUSSERL


A. Pendahuluan
Istilah fenomena sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun yang menjadi persoalan; apakah hanya sebatas istilah yang sudah lumrah dipakai atau istilah yang bertujuan memperindah bahan pembicaraan saja. Atau pun hanya sebatas pengertian empiris (pengalaman indera-indera kita). Jika kita berbicara mengenai fenomenologi, pasti tidak lepas dari suatu terminologi “what is it?” (Apa itu?). Terdorong dari kemauan untuk memahami secara lebih mendalam tentang apa itu fenomenologi.
Pertama, riwayat hidup Husserl dalam mendalami pemikirannya, tentu lebih utama kita harus tahu sedikit mengenai identitasnya. Siapa dia, berasal dari mana, bagaimana latar belakang kehidupannya, dan sebagainya. Dua, karya atau pemikiran utamanya. Untuk mengetahui pemikirannya, perlulah kita mengerti terlebih dahulu tulisan-tulisan terpentingnya. Tiga, pikiran-pikiran pokok.
Tulisan ini difokuskan pada Pemikiran Fenomenologi Menurut Edmund Husserl. Sebab ia tokoh pertama selaku pendiri aliran ini. Hussel sangat mempengaruhi filsafat ilmu pada abad XX secara mendalam sampai pada penemuan akan analisa struktur intensi dari tindakan-tindakan mental dan sebagaimana struktur ini terarah pada obyek real dan ideal. Bagi Husserl, Fenomenologi ialah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phenomena). Fenomenologi dengan demikian, merupakan ilmu yang mempelajari, atau apa yang menampakkan diri fenomenon.

B. Riwayat Hidup Edmund Gustav Aibercht Husserl
Fenomenologi sebagai suatu gerakan filsafat hingga memperoleh bentuk seperti sekarang ini, pertama kali diintrodusir oleh filsuf Jerman Edmund Gustav Aibercht Husserl(Ia adalah seorang ahli ilmu pasti dan profesor Filsafat dari Universitas Freiburg di Breisgau (Jerman Selatan) kira-kira satu abad yang lalu)lahir di Prestejov (dahulu Prossnitz) di Czechoslovakia 8 April 1859 dari keluarga yahudi. Di universitas Husserl belajar ilmu alam, ilmu falak, matematika, dan filsafat; mula-mula di Leipzig kemudian juga di Berlin dan Wina. Di Wina ia tertarik pada filsafat dari Brentano. Dia mengajar di Universitas Halle dari tahun 1886-1901, kemudian di Gottingen sampai tahun 1916 dan akhirnya di Freiburg. Ia juga sebagai dosen tamu di Berlin, London, Paris, dan Amsterdam, dan Prahara. Husserl terkenal dengan metode yang diciptakan olehnya yakni metode “Fenomenologi” yang oleh murid-muridnya diperkembangkan lebih lanjut. Husserl meninggal tahun 1938 di Freiburg. Untuk menyelamatkan warisan intelektualnya dari kaum Nazi, semua buku dan catatannya dibawa ke Universitas Leuven di Belgia2(Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 114).

C. Tulisan-Tulisan Terpenting Edmund Gustav Aibercht Husserl
1). Logische Untersucgsuchugen I dan II (Penyelidikan-penyelidikan logis)tahun 1900-1901. Bertujuan agar dapat mempelajari struktur kesadaran, karena itu harus dibedakan antara tindakan dari kesadaran dan fenomena di mana diarahkan (obyek memakai diri sendiri). Dengan membahas ini sekali lagi menunjukkan sikapnya yang menolak psikologi. Tidaklah mungkin memasukkan logika ke dalam psikologi, karena psikologi dapat mendeskripsikan proses faktual kegiatan akal, sedangkan logika hanya bisa mempertimbangkan sah atau tidaknya kegiatan akal tersebut. Edmund Husserl menganalisa srtuktur intensi dari tindakan-tindakan mental dan bagaimana struktur ini terarah pada obyek yang real dan ideal.
2). Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen Philosophie, 1913 (Gagasan-gagasan untuk suatu fenomenolgi murni dan suatu filsafat fenomenologis). Untuk pertama kalinya terkuak kecenderungan idealistik ini. Seorang fenomenolog harus secara sangat cermat “menempatkan di antara tanda kurung”, artinya kenyataan di antara dunia luar. Yang utama ialah fenomenanya, dan fenomena ini hanya tampil dalam kesadaran. Usaha untuk melakukan pendekatan terhadap dunia luar ini, memerlukan metode yang khas, karena keinsyafan serta-merta mengenai dunia luar ini masuk merembes di mana-mana dan menyebabkan analisa yang keliru.
3). Meditations Cartesiennes, 1931 (Renungan-renungan Kartesian). Dalam buku ini dibahas beberapa permenungan Kartesian, di mana semakin lama semakin penting. “Aku bertolak dari kesadaranku untuk menemukan kesadaran transedental (prinsip dasar dari pemahaman murni yang melampaui atau mengatasi batas-batas pengalaman) di dalamnya, tetapi bagaimana caranya menemukan pihak lain dalam kesadaran? Apakah dengan demikian mau tidak mau aku akan terperosok di dalam solipisme (percaya akan diri sendiri), sehingga yang ada hanyalah kesadaranku sendiri? Bagaimana aku dapat mengetahui adanya dunia intersubjektif?

D. Pikiran-Pikiran Pokok Edmund Gustav Aibercht Husserl
1. Fenomenologi
Istilah fenomenologi secara etimologis berasal dari kata fenomena dan logos. Arti kata logos sudah tidak perlu dijelaskan lagi, sebab sudah menjadi pengertian umum dan dikenal dalam berbagai susunan. Sedangkan kata fenomena berasal dari kata kerja Yunani “phainesthai” yang berarti menampak, dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa kita berarti cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari dua sudut
Pertama, fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. 
Dua, fenomena dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita. Maka dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat “penyaringan” (ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang murni.
Fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelat kesadaran3 (Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif, Yogyakarta: Jalasutra, 2005, hlm. 151). Pertanyaannya, bagaimana esensi-esensi tersebut, tanpa terkontaminasi kecenderungan psikologisme dan naturalisme? Husserl mengajukan satu prosedur yang dinamakan epoche (penundaan semua asumsi tentang kenyataan demi memunculkan esensi). Tanpa penundaan asumsi naturalisme dan psikolgisme, kita akan terjebak pada dikotomi4 (Dalam KBBI (Team Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Baru), Jakarta: Pustaka Phoenix, 2007 hlm.192). Dikotomi diartikan sebagai klasifikasi ke dalam dua kelas sebagai sifat-sifat paradoks yang berpasangan; pembagian dua konsep yang bertentangan satu sama lain) (subyek-obyek yang menyesatkan/bertentangan satu sama lain). Tujuan epoche adalah mengembalikan sikap kita kepada dunia, yakni sikap yang menghayati, bukan memikirkan benda-benda. Contohnya, saat mengambil gelas, saya tidak memikirkan secara teoritis (tinggi, berat dan lebar) melainkan menghayatinya sebagai wadah penampung air untuk diminum. Ini yang hilang dari pengalaman kita, kalau kita menganut asumsi naturalisme. Dan ini yang kembali dimunculkan oleh Husserl. Akar filosofis fenomenologi Husserl ialah dari pemikiran gurunya, Franz Bretano. Dari Brentano-lah Husserl mengambil konsep filsafat sebagai ilmu yang rigoris5(Berdasarkan Kamus Filsafat karangan Lorens Bagus, Kamus Filsafat,Jakarta: Gramedia, 2005, hlm.957, Rigoris  merupakan suatu sikap pikiran di mana dalam pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya suatu tindakan, bersikeras mempertahankan pandangan yang sempit dan ketat) (sikap pikiran di mana dalam pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya suatu tindakan); sebagaimana juga bahwa filsafat terdiri atas deskripsi dan bukan penjelasan kausal.
Sebelum tahun 1908 Husserl dan gurunya, mengartikan fenomenologi sebagai “fenomenologi psikologis”, yaitu Psikologi Deskriptif. Psikologi yang hanya mencatat apa yang dilihat, tanpa mencari keterangan-keterangan mengenai sebab gejala-gejala. Husserl berkata bahwa “kita perlu kembali ke benda-benda sendiri”  (Zu den Sachen selbst). Obyek-obyek harus diberi kesempatan untuk berbicara. Deskripsi fenomenologis tidak dimaksudkan untuk menggantikan keterangan ilmiah, melainkan baru sebagai persiapan untuk keterangan ilmiah. Melalui deskripsi fenomenologis dicari Wesenchau: melihat (secara intuitif) hakekat gejala-gejala. Untuk mencapai hal ini, kita harus memakai metode variasi eidetis (dalam fantasi, kita membayangkan gejala dalam macam-macam keadaan yang berbeda), sehingga tampak apa yang merupakan batas invariabel dalam situasi-situasi yang berbeda ini. Yang muncul sebagai sesuatu yang berubah-ubah itu disebut wesen, yang dicari.
Setelah tahun 1908 Fenomenologi Husserl menjadi “fenomenologi Transendental”. Dia berpendapat dalam periode ini bahwa kesadaran bukan bagian dari kenyataan, melainkan asal dari kenyataan. Husserl menolak kesadaran bipolaritas (kesadaran dan alam, subyek dan obyek). Artinya kesadaran tidak menemukan obyek-obyek. Obyek-obyek diciptakan oleh kesadaran. Dengan pendapat ini, Husserl dekat dengan idealisme. Bagi ilmu-ilmu, kesadaran dan alam memang tampak sebagai dua pola dalam kenyataan, namun harus dipasang dalam suatu ideologi idealitas yang hanya masih menerima satu pola, yaitu kesadaran.
Fenomenologi adalah disiplin ilmu yang sungguh revolusioner dan berpengaruh. Sebagai corak berfilsafat, fenomenologi sangat orisinil, pola berfilsafat yang tidak lagi mencari esensi di balik penampakkan, melainkan berkonsentrasi penuh pada penampakkan itu sendiri. Fenomenologi menyapu bersih segala asumsi yang cenderung mengotori kemurnian pengalaman manusia.
Pengaruh fenomenologi sangat luas. Hampir semua disiplin keilmuan mendapatkan inspirasi dari fenomenologi, antara lain; psikologi, sosiologi, antropologi sampai arsitektur, semuanya memperoleh napas baru dengan munculnya fenomenologi.
Selain mempengaruhi ke luar, fenomenologi juga menghasilkan varian dalam fenomenologi itu sendiri. Sebut saja filsuf semacam Heidegger dan Marleau Ponty. Mereka mengembangkan fenomenologinya sendiri yang berbeda dengan fenomenologi Husserl. Heidegger dengan fenomenologi eksistensial, sedangkan Ponty dengan fenomenologi persepsi. Keluarnya mereka dari arus utama fenomenologi Husserl dilandasi oleh penolakan mereka terhadap konsep ego transedental. Manusia bukan ego yang terlepas dari lingkungannya. Manusia adalah wujud dalam dunia yang menemukan selalu, sudah terisolasi dalam dunia kehidupan.
Sebagai disiplin, fenomenologi sudah menampakkan dirinya kuat-kuat dalam arus besar pemikiran kontemporer. Masa depannya sangat bergantung pada seberapa jauh pengetahuan kita untuk mendalami dan mengembangkannya.




2. Intensionalitas
Salah satu hal yang muncul sebagai hasil fenomenologi Husserl ialah perhatian baru untuk intensionalitas kesadaran6(Harry Hamersma, Op.cit, hlm. 117). Kesadaran kita tidak dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya ada kesadaran memang diandaikan tiga hal, yaitu bahwa ada suatu subyek yang terbuka untuk obyek-obyek yang ada. Fakta bahwa kesadaran selalu terarah kepada obyek-obyek disebut intensionalitas (dari kata “intendere” artinya “menuju ke”). Kiranya tidak tepat mengatakan bahwa kesadaran mempunyai “intensionalitas”, karena kesadaran itu justru intensionalitas. Entah kita sungguh-sungguh melihat suatu pemandangan itu, bila kita masih menyadari perbedaan antara kedua kemungkinan ini maka kita tetap menyadari sesuatu. Kesadaran tidak pernah pasif melulu. Karena menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu. Hal yang disadari dijadikan sesuatu yang ada bagi saya. Kesadaran itu bukan berarti suatu cermin atau foto. Kesadaran itu suatu tindakan. Artinya terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dengan obyek kesadaran. Namun interaksi ini tidak boleh dianggap sebagai kerjasama antara dua unsur yang sama penting. Karena akhirnya, hanya ada kesadaran, obyek yang disadari itu hanyalah suatu ciptaan kesadaran.
Pengalaman subyek harus selalu dipandang sebagai pengalaman yang terlibat secara aktif dengan dunia. Kesadaran tidak tertutup dari dunia, tetapi selalu menuju, mengarah dan membuka pada dunia. Oleh karena itu kita tidak boleh memikirkan pengalaman dalam kesadaran manusia seperti obyek “dalam kardus”.
Pengalaman bukan sebuah “celah” yang mana dunia, hadir terpisah darinya, menerobos masuk. Itu tidak sama halnya dengan menarik sesuatu yang asing ke dalam kesadaran. Pengalaman adalah pagelaran yang mana bagi saya, sosok yang mengalami, wujud yang dialami ‘ada di sana’ dan di sana sebagaimana adanya dengan seluruh muatannya dan modus berada di mana pengalaman sendiri. Lewar intensionalitas, yang melekatkannya(Donny Gahral Adian, Op.cit, hal. 141)(Husserlian XVII: 239-240).

3. Tiga Jenis Reduksi(Harry Hamersma, Op.cit, hlm. 117)
Supaya dengan intuisi kita dapat menangkap hakekat obyek-obyek, maka dibutuhkan tiga reduksi. Reduksi-reduksi ini yang menyingkirkan semua hal yang mengganggu kalau kita ingin mencapai wesenschauReduksi pertama:menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif. Sikap kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus “diajak bicara”. Dua: menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan diperoleh dari sumber lain. Tiga:menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan oleh orang lain harus, untuk sementara dilupakan. Kalau reduksi-reduksi ini berhasil, gejala sendiri dapat memperlihatkan diri, menjadi fenomin (memperlihatkan diri).

E. Relevansi
Pada milenium ketiga ini, banyak fenomena-fenomena yang terjadi. Baik secara langsung (kita sadari) maupun yang tidak kita sadari. Fenomena-fenomena yang “masih panas” dan menjadi persoalan yang kerapkali diperbincangkan dalam media masa; salah satunya tentang “global warming”. Adapun fenomena yang baru saja kita alami yakni bencana alam. Khususnya di Indonesia kita dapat melihat fenomena-fenomena alam yang sering menimpa negeri kita yang tercinta ini. Fenomena alam yang tidak diketahui kapan dan apa yang menyebabkannya terjadi, antara lain misalnya saja; meluapnya lumpur Lapindo di Sidoarjo dan gelombang Tsunami di Aceh. Memang kita yakin bahwa penyebabnya ialah keserakahan dan ketidakpuasan manusia akan sumber daya alam. Dalam hal ini, ketidakpuasan dari manusia akan kebutuhan hidup.
Menurut hemat penulis, baik global warming maupun fenomena-fenomena alam lainnya merupakan fenomena yang sangat menarik dan masih aktual untuk diperbincangkan dalam pembahasan fenomenologi. Misalnya, menumpuknya sampah di TPA Spiturang. Siapa yang percaya bahwa pemulung yang sering mengais-ngais sampah itu sebenarnya orang kaya. Rupanya dibalik semuanya itu ada fenomena-fenomena yang mau disampaikan. Dalam hal ini, sebaiknya janganlah kita melihatnya hanya sebatas mata melihat/apa yang tampak pada mata kita, tetapi sebenarnya ada fenomena yang tersembunyi dibalik semuanya itu yaitu pemulung di TPA Spiturang adalah bukan semuanya miskin, tetapi kebanyakan orang kaya.
Dalam tulisan ini, penulis menghimbau kepada kita yang hadir di sini; supaya dalam melihat, merasakan (mengalami) setiap fenomena-fenomena dalam hidup, selalu bertitik berangkat dari pemikiran fenomenologi, di mana kita perlu kembali kepada benda-benda itu sendiri. Jelas bahwa yang dimaksud ialah membiarkan obyek-obyek itu menampilkan seperti dirinya sendiri. Dengan demikian kita akan menjadi “pewaris” pemikiran Husserl dan juga kita akan dibawa kepada suatu referensi yang mendalam dari luasnya panorama-panorama fenomenologi dewasa ini. Sedangkan bagi masyarakat pada umumnya. Semoga dengan memandang fenomena dari dua sudut yaitu melihat fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kemudian melihat fenomena dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita. Dengan demikian, dalam memandang fenomena-fenomena harus melihat ‘penyaringan’ (ratio) terlebih dahulu sehingga mendapatkan kesadaran yang murni.
Sebagai pertanyaan refleksi bagi kita; sudahkah kita melakukan semuanya ini? Beranikah kita “menyapu” bersih segala asumsi yang cenderung mengotori kemurnian pengalaman manusiawi kita? Persoalannya sekarang ialah dari mana kita memulainya? Kapan kita memulainya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penulis menawarkan solusi yang sekiranya berguna bagi kita yakni dengan melakukan “M3+J”. M3 (Mulai dari diri sendiri, Mulai dari hal-hal yang kecil dan, Mulai dari sekarang), sedangkan J (Jadilah fenomenolog yang kritis di zaman sekarang).

F. Kesimpulan
Sebagai penutup tulisan ini, penulis mencoba menyimpulkan, walaupun masih jauh dari sempurna. Di mana ciri khas pemikiran Husserl tentang bagaimana semestinya menemukan kebenaran dalam filsafat terangkai dalam satu kalimat “Nach den sachen selbst” (kembalilah kepada benda-benda itu sendiri). Dengan pernyataan ini Husserl menghantar kita untuk memahami realitas itu apa adanya serta mendeskripsikan seperti apa dan bagaimana realitas itu menampakkan diri kepada kita. Namun sesungguhnya usaha kembali pada benda-benda itu sendiri, bagi Husserl adalah kembali kepada realitas itu sebagaimana dia tampil dalam keasadaran kita. Apa yang tampil kepada kita itulah yang disebut fenomena.
Fenomenologi secara khusus berbicara tentang kesadaran dan strukturnya, atau cara-cara bagaimana fenomena muncul pada kita. Karena kesadaran semestinya merupakan apa, di mana segala sesuatu menyatakan dirinya dan fenomenologi adalah studi tentang kesadaran, maka fenomenologi merupakan filsafat utama.
Eksistensialisme berhubungan erat dengan fenomenologi. Fenomenologi lebih suatu metode filsafat daripada suatu ajaran. Metode fenomenologi Husserl kemudian dikembangkan oleh muridnya antara lain; M. Scheler dan Merleau-Ponty. Fenomenologi mengatakan bahwa kita harus memperkenalkan gejala-gejala dengan menggunakan intuisi. Kenyataan tidak harus didekati dengan argumen-argumen, konsep-konsep dan teori umum. Setiap benda mempunyai “hakekat-hakekatnya” dan “hakekat” ini berbicara kepada kita kalau kita membuka diri untuknya. Kita harus “mengabstrahir” dari semua hal yang tidak hakiki. Kalau segala sesuatu yang tidak hakiki sudah dilepaskan, lalu semua hal yang ingin kita selidiki, mulai berbicara dan “bahasa” ini dimengerti berkat intuisi kita. Oleh karena itu, metode fenomenologis telah membuktikan manfaatnya untuk epistemologi, psikologi, antropologi, studi agama-agama dan etika.


Daftar Pustaka
Gahral Adian, Donny, Percik Pemikiran Kontemporer (sebuah Pengantar Komprehensif),
Yogyakarta: Jalasutra, 2005.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2005.
Delfgaauw, Bernard, Filsafat Abad XX, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1988.
Hamersma, Herry, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1983.
Hamersma, Herry, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Team Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Baru), Jakarta: Pustaka Phoenix,
2007.

Friday, September 28, 2012

FILM PINGGIRAN MODAL “THANK YOU”


FILM PINGGIRAN MODAL “THANK YOU”
Oleh : Sigit Surahman

Dunia seni merupakan dunia yang sangat tidak terbatas dalam bentuk ekspresi manusia menuangkan semua ide dan konsep pemikirannya. Jika dilihat dari sudut cara berkesenian, maka bisa dibagi menjadi dua macam: seni rupa dan seni suara. Yang pertama dimaknai sebagai kesenian yang bisa dinikmati dengan mata, sedangkan yang kedua kesenian yang bisa dinikmati dengan pendengaran (telinga). Ranah seni rupa pada praktiknya meliputi seni patung, seni relief (termasuk seni ukir), seni lukis, dan seni rias. Seni suara meliputi seni musik vokal, instrumental, dan seni sastra. Lebih khususnya terdiri dari prosa dan puisi. Disamping itu ada pula seni yang meliputi keduanya yaitu seni gerak atau seni tari, karena kesenian ini dapat dinikmati dengan mata dan telinga. Kemudian pada perkembangannya akhirnya muncul suatu bentuk kesenian yang meliputi keseluruhannya, yaitu seni drama, karena kesenian ini mengandung unsur-unsur seni lukis, rias, musik, sastra, dan seni tari, yang semua diintegrasikan menjadi satu kebulatan. Seni drama bisa bersifat tradisional seperti Wayang Wong (wayang orang) atau bisa bersifat modern dengan teknologi seperti film.
Berbicara tentang dunia film, tentunya kita pasti pernah mendengar apa itu film indie/film pinggiran. Kenapa demikian? Karena sampai saat ini film indie/film pinggiran nyaris luput dari perhatian para produser-produser besar yang mau mendanai produksi film indie/film pinggiran, jadi memang terkesan sangat terpinggirkan. Dengan demikian film indie boleh dikata film pinggiran. Durasi dari film indie/film pinggiran sudah pasti tidak akan sama dengan dunia film panjang, film komersial, film televisi, atau film-film yang terpampang di baliho-baliho besar yang tayang di bioskop atau cineplex-cineplex. Film indie atau yang bisa dibahasakan sebagai film pinggiran sudahlah pasti merupakan film yang durasinya bebas, akan tetapi dengan kebebasan durasi yang dimiliki itu, para sineasnya dituntut harus bisa lebih kreatif dan selektif dalam mengangkat tema dan materi yang akan ditampilkan. Dengan munculnya kreatifitas dan selektifitas dari sineas maka, setiap angle, shot, dan elemen-elemen pendukung tampilan film pinggiran itu sendiri akan memiliki makna yang cukup luas untuk bisa ditafsirkan oleh penontonnnya.

Dalam film pinggiran mungkin tidak akan mengenal apa itu super star, tidak pernah memperdulikan kaidah-kaidah baku pada saat produksi film yang terkesan sangat rumit. Para sineas film pinggiran dari berbagai kota di Indonesia telah banyak menunjukkan aktifitas berkaryanya. Bagi mereka semua tidak ada sebuah keharusan untuk terlebih dahulu mendalami teknik-teknik sinematografi, tata artistik, tata cahaya, make-up, atau hal-hal lain sebelum memproduksi sebuah karya film. Hal itu mencerminkan semangat independen dari para sineas-sineas film indie/film pinggiran yang tidak perlu berpatokan pada teori-teori yang memang sudah selazimnya.
Selain dari aspek bagaimana proses produksi, cerita, dan misi yang akan disampaikan, film indie/film pinggiran biasanya tidak ditentukan dengan durasi seperti halnya kebanyakan film komersial yang banyak beredar di saat ini. Bahkan dalam beberapa event festival film indie sering film-film yang dikirimkan hanya berdurasi sekitar antara 10-30 menit tayang saja. Kejadian-kejadian ini akan sangat mungkin terus terjadi, karena film independen yang memang tidak melibatkan produser/pemodal yang kaya. Bagi sineas film indie/film pinggiran, jika mereka memang hanya mempunyai dana untuk membeli kaset mini DV, makan, dan minum selama proses produksi berlangsung, bahkan hingga proses pasca produksi saja, itu sudah merupakan anugerah buat mereka. Hanya menggunakan pemain dengan bayaran “Thank You” artinya hanya dengan bayaran ucapan terima kasih, itu fenomena yang hanya terjadi dalam film indie/film pinggiran dan bukan dalam film-film komersial. Disitulah letak dari keistimewaan film indie/film pinggiran. Alat yang digunakan juga tidak harus menggunakan kamera yang profesional atau kamera VHS, betacam, atau kamera digital. Tidak jarang yang memproduksi film indie hanya dengan kamera handycam kecil saja.
Dewasa ini, film muncul selain sebagai alternatif hiburan, film juga sebagai produk dari alkulturasi budaya dan perkembangan budaya tradisi dan budaya modern. Kebudayaan sebagai bukti peradaban manusia mengalami perkembangan dan perubahan. Penetrasi kebudayaan antardaerah, antarnegara, atau antarbenua sekalipun bisa terjadi melalui berbagai macam cara, baik damai maupun kekerasan, determinasi ideologi, politik, maupun ekonomi menjadi suatu media perubahan kultural tersebut yang semua bisa dimunculkan melalui cerita film. Dengan cara damai, kebudayaan masuk dan mempengaruhi kebudayaan lain melalui media cetak maupun elektronik. Kalau kita coba melacak perkembangan budaya massa saat ini, kita akan dihadapkan pada sekian banyak istilah yang saling berkaitan: budaya tradisi, budaya pop, budaya modern, budaya konsumen, budaya komersil, industri budaya, budaya post modern, dan seterusnya. Objeknya bisa berupa karya sastra, teater, lukis, lagu/musik, film, dan lainnya.
Film adalah salah satu media audio visual yang saat ini bisa dibilang paling ampuh untuk digunakan dalam penetrasi budaya. Film pada dasarnya merupakan suatu produk yang dihasilkan oleh seorang sineas melalui proses yang melibatkan kemampuan imajinasi, pengembangan daya cipta berkreasi, kepekaan rasa dan karsa yang dimiliki oleh sineasnya. Semua film yang banyak beredar tentunya merupakan karya yang mengandung pesan-pesan untuk disampaikan kepada khalayak umum. Pesan-pesan atau nilai-nilai yang ada pada film inilah yang mampu akan mensosialisasi, mencipta, merepresentasi, dan merefleksi suatu nilai budaya di negeri ini. Pada dasarnya suatu pesan yang ada dalam film bertujuan untuk pembinaan maupun pengembangan nilai sosial-kultural, mencerdaskan suatu bangsa, maupun peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Secara historis bisa kita lihat ada beberapa karya film indie/film pinggiran yang kiprahnya mampu menembus hingga tingkat internasional. Beberapa diantaranya: Film Revolusi Hijau Revolusi Harapan karya sineas Nanang Istiabudhi berhasil mendapatkan Gold Medal untuk kategori Amateur dalam The 39th Born Sexteen International Competition of Non-Comercial Featur and Video di Republik Cekoslovakia (1998). Film Novi karya sineas Asep Kusdinar masuk nominasi dalam Festival Film Henry Langlois, Perancis (1998). Dalam Singapore Internasional Film Festival (1999), sekitar lima film pendek Indonesia ikut serta bersaing, yaitu Revolusi Harapan kreasi Nanang Istiabudhi, Bawa Aku Pulang buah karya Lono Abdul Hamid, film Novi karya Asep Kusdinar, Sebuah Lagu karya Eric Gunawan, dan Jakarta 468 karya Ari Ibnuhajar.
Dari sini kita dapat melihat bahwa film indie yang masih dianggap film pinggiran merupakan suatu media praktis yang dapat membangun jati diri bangsa. Walaupun demikian kita harus sadar di tengah keterbatasan itu semua, semangat independen dari para sineas film indie harus tetap menjadi dan mendapatkan perhatian. Dalam posisi yang serba terbatas akan modal, para sineas senantiasa dapat memunculkan ide-ide gilany untuk tetap berkarya. Salah satu cara yang efektif yaitu modal “Thank You” atau dengan kata lain memanfaatkan jaringan modal sosial, seperti jaringan sosial para pemerhati, praktisi, dan penikmat film indie.
Saat ini berbagai komunitas film indie/film pinggiran semakin banyak bermunculan di Indonesia. Kemunculan komunitas-komunitas film indie/film pinggiran ini memiliki peran yang cukup besar dalam hal pelestarian budaya maupun perluasan jaringan film indie/film pinggiran itu sendiri. Maka untuk itu diperlukan adanya upaya dari berbagai pihak untuk senantiasa mendorong kemajuan perkembangan film indie/film pinggiran di daerah-daerah bukan hanya di kota besar saja, salah satunya bisa melalui pembinaan dan memberikan ruang terbuka pada komunitas-komunitas yang sudah ada dan ingin mulai menapakkan jejak kakinya di dunia film indie/film pinggiran.


Saturday, September 1, 2012

DOKUMENTER dan JURNALISTIK TV


DOKUMENTER BAGIAN DARI JURNALISTIK TELEVISI
Oleh : Sigit Surahman

Pada prinsipnya, penyelenggaraan siaran di stasiun televisi terbagi menjadi dua ketegori, yakni karya artistik dan karya jurnalistik. Siaran karya artistik merupakan produksi acara televisi yang menekankan pada aspek artistik dan estetik, sehingga unsur keindahan menjadi unggulan dan daya tarik acara ini. Sedangkan karya jurnalistik merupakan produksi acara televisi yang mengutamakan kecepatan penyampaian informasi, mengedepankan realitas atau peristiwa yang terjadi.
Dokumenter merupakan salah satu bagian dari karya jurnalistik. Program dokumenter adalah sebuah program yang berkaitan langsung dengan suatu fakta yang berusaha untuk menyampaikan kenyataan dan bukan sebuah kenyataan yang direkayasa. Program atau film-film seperti ini peduli terhadap perilaku masyarakat, suatu tempat atau suatu aktivitas.
Dilihat dari gaya dan bentuknya sebuah film dokumenter memang terlihat memiliki kebebasan yang lebih luas dari pembuatnya/sutradaranya dalam bereksperimen. Akan tetapi kebebasan tersebut tetaplah dalam batasan-batasan kewajaran pada isi cerita yang tetap berangkat dari sebuah cerita/kisah nyata. Seiring perkembangan teknologi saat ini, terutama teknologi audio-visual yang salah satunya adalah kehadiran media televisi. Para sineas dokumenterpun dituntut untuk lebih bisa kreatif lagi dalam mengemas karya-karya dokumenternya, baik dalam bentuk maupun gaya dari kemasan film dokumenter itu sendiri.
Film dokumenter merupakan bagian dari sebuah jurnalistik, karena mengandung nilai berita dan pesan-pesan tertentu didalamnya. Kehadiran media televisi mau tidak mau memaksakan sineas dokumenter untuk mengemas dokumenter agar bisa ditayangkan di media televisi dimana selama ini dokumenter lebih cenderung hanya untuk ditayangkan di layar lebar saja. Produksi program televisi yang sifat dasarnya dalah bertujuan untuk komersial seperti halnya barang dagangan, maka para sineas dokumenterpun mengemas atau membagi dokumenter menjadi 2 (dua) bentuk yang berbeda yaitu : film dokumenter untuk ditayangkan di layar lebar dan dokumenter televisi untuk ditayangkan di media televisi. Apa yang membedakan keduanya? Film dokumenter pada umumnya berdurasi lebih panjang, cenderung menggunakan semua tipe shot, dan biasanya ditayangkan di bioskop atau festival-festival. Sedangkan dokumenter televisi berdurasi lebih pendek, mengikuti selera pasar, dan leih banyak menggunakan shot close up dan medium saja karena media tayang yang kecil yaitu media televisi.
Program dokumenter dapat dipandang sebagai suatu bentuk laporan hasil investigasi atas suatu kejadian atau peristiwa, baik berkaitan dengan bidang sejarah maupun kebudayaan. Perkembangan film dokumenter dalam hal bentuk dan pendekatan tentu berkaitan dengan perkembangan media audio-visual dan industri film saat ini. Kemajuan teknologi elektronik dan informasi memudahkan peneliti, sineas atau siapa saja orang yang berminat, untuk mendokumentasikan berbagai hal yang dilihat, dialami, dan ingin diketahui lebih jauh dalam bentuk audio-visual. Hal inilah yang membuat karya dokumenter bisa masuk mulai dari layar televisi hingga layar lebar ataupun bioskop. Sebuah program dokumenter  telah menjadi salah satu unsur penting dalam performa penyiaran televisi.
Pemirsa televisi dapat menerima ketika menonton tayangan dokumenter sebagai kenyataan baru yang kompleks, bahkan bercampur dengan kenyataan sejarah dan sedikit adanya pengembangan kreatifitas yang dikonstruksi oleh sutradara. Dokumenter televisi memberikan warna baru sebagai hiburan televisi yang selama ini banyak menayangkan film-film ceria fiksi. Dokumenter merupakan film nonfiksi yang berangkat  dari sebuah kisah nyata. Sedangkan film cerita merupakan film fiksi, dimana sineasnya bebas menuliskan cerita dramatik atau naratif sesuai dengan apa yang diinginkan. Jika dilogikakan program dokumenter sebenarnya juga memiliki unsur naratif  dan dramatik karena sifatnya yang memang menuturkan sebuah kisah atau cerita nyata.
Pada prinsipnya program dokumenter dalam tayangan televisi adalah merupakan bentuk-bentuk pengembangan dari format program jurnalistik yang selama ini telah banyak dikenal dan terdiri dari beberapa kategori, yaitu feature, megazine, berita aktual/reportase, dokumenter televisi, dan dokumenter seri televisi. 

Feature
Feature termasuk dari jenis reportase yang dikemas secara lebih mendalam, luas, dan disertai dengan sedikit sntuhan human interest agar memiliki nilai dramatika. Feature biasanya menyuguhkan topik-topik tertentu yang dilengkapi dengan wawancara, komentar, dan narasi. Feature tidah hanya ada didalam siaran televisi saja, akan tetapi dalam siaran radio dan media cetakpun mengenal dan menggunakan jenis berita yang seperti ini.

Megazine
Megazine ini merupakan paket berita yang ada pada siaran radio maupun televisi, yang menyuguhkan satu hingga tiga topik. Pada awalnya megazine ini biasa disebut sebagai majalah udara di radio, yang merupakan gabungan dari uraian-uraian fakta dan opini yang dirangkai dalam suatu bentuk mata acara.

Dokumenter Televisi
Dokumenter televisi menghadirkan tema dan topik tertentu yang disajikan dengan gaya bercerita menggunakan narasi dan ilustrasi musik yang bermaksud untuk menunjang gambar visualnya. Dokumenter televisi memiliki nuansa dan orientasi yang luas, mulai dari sebab akibat sebuah proses kejadian yang diketengahkan sebagai isinya. Dokumenter televisi juga ditentukan durasinya, yang pada umumnya adalah 24 menit, 48 menit atau 54 menit, akan tetapi untuk di Indonesia kebanyakan mengeas dalam durasi 24 menit untuk durasi tayang 30 menit dimana 24 menit program dokumenter itu sendiri dan 6 menit untuk tayangan iklan.

Dokumenter Seri Televisi
Pada umumnya tema dari dokumenter seri ini adalah mengenai sejarah, ilmu pengetahuan, potret, yang terkadang dikemas menggunakan gaya tutur perbandingan atau kontradiksi. Format dokumenter ini merupakan sajian dokumenter yang berdurasi panjang, dibagi menjadi beberapa subtema atau episode/seri.

perjalanan