Tuesday, December 16, 2014

PARADIGMA KRITIS



Ilmu komunikasi dapat dikategorikan dalam ilmu pengetahuan yang mempunyai aktivitas penelitian yang bersifat multi paradigma. Ini berarti, ilmu komunikasi merupakan bidang ilmu yang menampilkan sejumlah paradigma atau perspektif dasar pada waktu bersamaan (Hidayat, 1999:431-446). Istilah paradigma sendiri dapat didefinisikan sebagai: 

a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first principles…a world view that defines, for its holder, the nature of the ‘world’…(Guba, dalam Denzin & Lincoln, 1994:107).

Paradigma merupakan orientasi dasar untuk teori dan riset. Pada umumnya suatu paradigma keilmuan merupakan sistem keseluruhan dari berfikir. Paradigma terdiri dari asumsi dasar, teknik riset yang digunakan, dan contoh seperti apa seharusnya teknik riset yang baik. Ilmu sosial kritis sering dikaitkan dengan teori konflik, analisis feminis, dan psikoterapi radikal serta dikaitkan dengan teori kritis yang pertama kali dikembangkan oleh Frankfurt School di Jerman pada tahun 1930an. Ilmu sosial kritis mendefinisikan ilmu sosial sebagai proses kritis penyelidikan yang melampaui ilusi permukaanuntuk mengungkap struktur nyata di dunia material dalam rangka membantu orang mengubah kyang lebih baik dari kondisi dan membangun dunia bagi diri mereka sendiri  (Neuman, 2013:123-124).
Paradigma kritis pada dasarnya adalah paradigma ilmu pengetahuan yang meletakkan epistemologi kritik Marxisme dalam seluruh metodologi penelitiannya. Fakta menyatakan bahwa paradigma kritis yang diinspirasikan dari teori kritis tidak bisa melepaskan diri dari warisan Marxisme dalam seluruh filosofi pengetahuannya. Teori kritis pada satu pihak merupakan salah satu aliran ilmu sosial yang berbasis pada ide-ide Karl Marx dan Engels (Denzin, 2000: 279-280).
Asumsi dasar dalam paradigma kritis berkaitan dengan keyakinan bahwa ada kekuatan laten dalam masyarakat yang begitu berkuasa mengontrol proses komunikasi masyarakat. Ini berarti paradigma kritis melihat adanya “realitas” di balik kontrol komunikasi masyarakat. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang mempunyai kekuatan kontrol tersebut? Mengapa mengontrol? Ada kepentingan apa?. Dengan beberapa kalimat pertanyaan itu, terlihat bahwa teori kritis melihat adanya proses dominasi dan marginalisasi kelompok tertentu dalam seluruh proses komunikasi masyarakat. Hal ini menyatakan bahwa proses penyebaran dan aktivitas komunikasi massa juga sangat dipengaruhi oleh struktur ekonomi politik masyarakat yang bersangkutan. 
Paradigma kritikal melihat bahwa pengkonstruksian suatu realitas itu dipegaruhi oleh faktor kesejarahan dan kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan media yang bersangkutan. Kritik sosial yang berkaitan dengan munculnya budaya massa dimulai setidaknya sejak pertengahan abad ke-19, dan pada pertengahan abad ke-20 terjadi di Inggris dengan munculnya teori kritis (critical theory) yang lebih radikal (dan populis) seperti yang disampaikan oleh Richard Hoggart, Raymond William, dan Stuart Hall (McQuail, 2012:125).
 Paradigma kritis lahir sebagai koreksi dari pandangan kontruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reprosuksi makna yang terjadi secara historis maupun intitusional. Analisis teori kritis tidak berpusat pada kebenaran atau ketidakbenaran sebuah struktur tata bahasa, simbol, atau proses penafsiran seperti pada konstruktivisme.
Paradigma kritis bersifat realism historis, sesuatu realitas diasumsikan harus dipahami sebagai sesuatu yang plastis (tidak sebenarnya). Artinya realitas itu dibentuk sepanjang waktu oleh sekumpulan faktor, seperti: sosial, politis, budaya, ekonomik, etnik, dan gender; yang justru bahkan dikristalisasikan (direikasi) ke dalam serangkaian stuktur yang sekarang ini (hal yang tidak sesuai) dianggap sebagai sesuatu yang “nyata”, dan ini dianggap alamiah dan tetap (Pambayun, 2013:24-25)
Meskipun terdapat banyak keragaman tradisi kritik, semuanya sama-sama memiliki tiga keistimewaan pokok. Pertama, tradisi ini mencoba memahami sistem yang sudah dianggap benar, struktur kekuatan, dan keyakinan – atau ideologi – yang mendominasi masyarakat, dengan pandangan tertentu di mana minat-minat disajikan oleh struktur-struktur kekuatan tersebut. Kedua para ahli teori kritik pada umumnya tertarik dengan membuka kondisi-kondisi sosial yang menindas dan rangkaian kekuatan untuk mempromosikan emansipasi atau masyarakat yang lebih bebas dan lebih berkecukupan. Memahami penindasan dalam menghapus ilusi-ilusi ideologi dan bertindak mengatasi kekuatan-kekuatan yang menindas. Teori kritik yang ketiga, menciptakan kesadaran untuk menghubungkan teori dan tindakan. Teori-teori tersebut bersifat normatif dan bertindak untuk mendapatkan atau mencapai perubahaan dalam kondisi-kondisi yang mempengaruhi masyarakat (Littlejohn dan Foss, 2011:68-69).
Dapat dikatakan bahwa pendekatan teori kritis pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx. Bisa juga dikatakan bahwa gagasan-gagasan pemikiran Marx ini merupakan gerakan  Post Pencerahan, kebalikan dari jaman Pencerahan di abad 18 yang dipandang titik kulminasi rasionalisme barat yang yakin dengan individualisme dan kebebasan universal (positivisme).
Max Horkheimer dan rekan-rekannya di Mazhab Frankfurt menjadikan pemikiran Marx sebagai landasan mereka dalam mengkaji gejala, kasus dan permasalahan yang ada di masyarakat. Mereka dapat dikatakan sebagai penginterpretasi pemikiran Marx dan sedikit memodifikasinya sesuai dengan kajian mereka. Karena Marx sendiri misalnya tidak menyinggung secara langsung atau barangkali sedikit membahas bagaimana peran dan posisi media massa dan ranah komunikasi secara langsung.
Di era mahzab Frankfurt komunikasi mulai menjadi bagian penting dari teori kritik  dan kajian komunikasi massa menjadi lebih penting. Teori kritik berada dalam paradigma modernis. Baik itu intelektual atau pandangan populer, ada sebuah kepercayaan pada alasan yang dibangun melalui ilmu pengetahuan, bahwa individu sebagai agen perubahan dan penemuan aspek-aspek budaya yang cuma-cuma. Ada empat cabang kelompok teori kritik yang melanggar modernitas dengan cara yang beragam : post-modernisme, post-kolonialisme, post-strukturalisme, dan kajian feminis (Littlejohn & Foss, 2011:70).
Sebagian besar teori komunikasi kritis berhubungan dengan media terutama karena kekuatan media untuk menyebarkan ideologi yang dominan dan kekuatannya untuk mengungkapkan ideologi alternatif dan ideologi yang bertentangan. Menurut McQuail dalam bukunya Teori Komunikasi Massa (2012:72-75) ada lima cabang utama teori kritis media. Pertama Marxisme klasik di mana menganggap terdapat ideologi alternatif, idealis, dan terkadang utopis, tetapi tidak ada sebuah model ideal sistem sosial yang bekerja dimanapun. Meskipun demikian terdapat dasar kesamaan yang cukup untuk menolak ideologi tersembunyi dari pluralisme dan fungsionalisme konservatif. Kedua karakter politik dan ekonomi dari struktur dan organisasi media secara nasional dan internasional,  seperti Marxisme klasik menyalahkan kepemilikan media bagi keburukan masyarakat di mana strategi operasional yang jauh dari netral dan non-ideologis. Teoritis yang ketiga adalah Frankfurt, teori ini memandang media sebagai cara untuk membangun dan mempromosikan pandangan alternatif dari budaya populer komersial yang dominan. Cabang teori kritis yang keempat adalah teori hegemoni yang merupakan dominasi ideologi palsu atau cara pikir terhadap kondisi sebenarnya. Sedangkan teori kritis atau tradisi kritis yang kelima menurut McQuail adalah kajian “penelitian budaya”. Tradisi ini sangat bergantung pada semiotik yang cenderung  pada pemaknaan budaya tentang hasil-hasil media, misalnya video, musik, iklan, dan film yang masing-masing merupakan hasil produksi budaya.
Penelitian atau kajian budaya menjadi pendekatan yang sangat populer dan berguna, dan pendekatan ini dapat digunakan untuk menggabungkan beberapa pemahaman dari beragam pemikiran, salah satunya penelitian budaya dengan aplikasi tertentu pada media – penelitian media feminis. Penelitian media massa lebih diletakkan dalam kesadaran bahwa teks atau wacana dalam media massa mempunyai pengaruh yang sedemikian rupa pada manusia. Seluruh aktivitas dan pemaknaan simbolik dapat dilakukan dalam teks media massa. Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai. Pada titik kesadaran pokok manusia, teks selalu memuat kepentingan. Teks pada prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang memihak. Tentu saja teks dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan ide, kepentingan atau ideologi tertentu kelas tertentu. Pada titik tertentu, teks media pada dirinya sudah bersifat ideologis (Littlejohn dan Foss, 2011:183-217).

No comments:

Post a Comment


perjalanan