Ilmu
komunikasi dapat dikategorikan dalam ilmu pengetahuan yang mempunyai aktivitas
penelitian yang bersifat multi paradigma. Ini berarti, ilmu komunikasi
merupakan bidang ilmu yang menampilkan sejumlah paradigma atau perspektif dasar
pada waktu bersamaan (Hidayat, 1999:431-446). Istilah paradigma sendiri dapat
didefinisikan sebagai:
“a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or
first principles…a world view that defines, for its holder, the nature of the
‘world’…(Guba, dalam Denzin & Lincoln, 1994:107).
Paradigma
merupakan orientasi dasar untuk teori dan riset. Pada umumnya suatu paradigma
keilmuan merupakan sistem keseluruhan dari berfikir. Paradigma terdiri dari
asumsi dasar, teknik riset yang digunakan, dan contoh seperti apa seharusnya
teknik riset yang baik. Ilmu sosial kritis sering dikaitkan dengan
teori konflik, analisis feminis, dan psikoterapi radikal serta dikaitkan dengan
teori kritis yang pertama kali dikembangkan oleh Frankfurt School di Jerman pada tahun 1930an. Ilmu sosial kritis
mendefinisikan ilmu sosial sebagai proses kritis penyelidikan yang melampaui
ilusi permukaanuntuk mengungkap struktur nyata di dunia material dalam rangka
membantu orang mengubah kyang lebih baik dari kondisi dan membangun dunia bagi
diri mereka sendiri (Neuman, 2013:123-124).
Paradigma kritis pada dasarnya adalah paradigma ilmu pengetahuan yang meletakkan epistemologi kritik Marxisme
dalam seluruh metodologi penelitiannya. Fakta menyatakan bahwa paradigma
kritis yang diinspirasikan dari teori kritis tidak bisa melepaskan diri dari
warisan Marxisme dalam seluruh filosofi pengetahuannya. Teori kritis pada satu
pihak merupakan salah satu aliran ilmu sosial yang berbasis pada ide-ide Karl
Marx dan Engels (Denzin, 2000: 279-280).
Asumsi dasar dalam paradigma
kritis berkaitan dengan keyakinan bahwa ada kekuatan laten dalam masyarakat
yang begitu berkuasa mengontrol proses komunikasi masyarakat. Ini berarti
paradigma kritis melihat adanya “realitas” di balik kontrol komunikasi
masyarakat. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang mempunyai kekuatan kontrol
tersebut? Mengapa mengontrol? Ada kepentingan apa?. Dengan beberapa kalimat
pertanyaan itu, terlihat bahwa teori kritis melihat adanya proses dominasi dan
marginalisasi kelompok tertentu dalam seluruh proses komunikasi masyarakat. Hal
ini menyatakan bahwa proses penyebaran dan aktivitas komunikasi massa juga
sangat dipengaruhi oleh struktur ekonomi politik masyarakat yang bersangkutan.
Paradigma
kritikal melihat bahwa pengkonstruksian suatu realitas itu dipegaruhi oleh
faktor kesejarahan dan kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan
media yang bersangkutan. Kritik sosial yang berkaitan dengan munculnya budaya
massa dimulai setidaknya sejak pertengahan abad ke-19, dan pada pertengahan
abad ke-20 terjadi di Inggris dengan munculnya teori kritis (critical theory) yang lebih radikal (dan
populis) seperti yang disampaikan oleh Richard Hoggart, Raymond William, dan
Stuart Hall (McQuail, 2012:125).
Paradigma kritis lahir sebagai koreksi dari
pandangan kontruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan
reprosuksi makna yang terjadi secara historis maupun intitusional. Analisis
teori kritis tidak berpusat pada kebenaran atau ketidakbenaran sebuah struktur
tata bahasa, simbol, atau proses penafsiran seperti pada konstruktivisme.
Paradigma
kritis bersifat realism historis,
sesuatu realitas diasumsikan harus dipahami sebagai sesuatu yang plastis (tidak
sebenarnya). Artinya realitas itu dibentuk sepanjang waktu oleh sekumpulan faktor,
seperti: sosial, politis, budaya, ekonomik, etnik, dan gender; yang justru
bahkan dikristalisasikan (direikasi) ke dalam serangkaian stuktur yang sekarang
ini (hal yang tidak sesuai) dianggap sebagai sesuatu yang “nyata”, dan ini
dianggap alamiah dan tetap (Pambayun, 2013:24-25)
Meskipun terdapat banyak
keragaman tradisi kritik, semuanya sama-sama memiliki tiga keistimewaan pokok. Pertama,
tradisi ini mencoba memahami sistem yang sudah dianggap benar, struktur
kekuatan, dan keyakinan – atau ideologi – yang mendominasi masyarakat, dengan
pandangan tertentu di mana minat-minat disajikan oleh struktur-struktur
kekuatan tersebut. Kedua para ahli teori kritik pada umumnya tertarik
dengan membuka kondisi-kondisi sosial yang menindas dan rangkaian kekuatan
untuk mempromosikan emansipasi atau masyarakat yang lebih bebas dan lebih
berkecukupan. Memahami penindasan dalam menghapus ilusi-ilusi ideologi dan
bertindak mengatasi kekuatan-kekuatan yang menindas. Teori kritik yang ketiga,
menciptakan kesadaran untuk menghubungkan teori dan tindakan. Teori-teori
tersebut bersifat normatif dan bertindak untuk mendapatkan atau mencapai
perubahaan dalam kondisi-kondisi yang mempengaruhi masyarakat (Littlejohn dan Foss,
2011:68-69).
Dapat dikatakan bahwa pendekatan teori kritis pada
dasarnya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx. Bisa juga dikatakan bahwa
gagasan-gagasan pemikiran Marx ini merupakan gerakan Post Pencerahan,
kebalikan dari jaman Pencerahan di abad 18 yang dipandang titik kulminasi
rasionalisme barat yang yakin dengan individualisme dan kebebasan universal
(positivisme).
Max Horkheimer dan rekan-rekannya di Mazhab Frankfurt
menjadikan pemikiran Marx sebagai landasan mereka dalam mengkaji gejala, kasus
dan permasalahan yang ada di masyarakat. Mereka dapat dikatakan sebagai
penginterpretasi pemikiran Marx dan sedikit memodifikasinya sesuai dengan
kajian mereka. Karena Marx sendiri misalnya tidak menyinggung secara langsung
atau barangkali sedikit membahas bagaimana peran dan posisi media massa dan
ranah komunikasi secara langsung.
Di era mahzab Frankfurt
komunikasi mulai menjadi bagian penting dari teori kritik dan kajian komunikasi massa menjadi lebih
penting. Teori kritik berada dalam paradigma modernis. Baik itu intelektual
atau pandangan populer, ada sebuah kepercayaan pada alasan yang dibangun
melalui ilmu pengetahuan, bahwa individu sebagai agen perubahan dan penemuan aspek-aspek
budaya yang cuma-cuma. Ada empat cabang kelompok teori kritik yang melanggar
modernitas dengan cara yang beragam : post-modernisme, post-kolonialisme,
post-strukturalisme, dan kajian feminis (Littlejohn & Foss, 2011:70).
Sebagian besar teori komunikasi
kritis berhubungan dengan media terutama karena kekuatan media untuk
menyebarkan ideologi yang dominan dan kekuatannya untuk mengungkapkan ideologi
alternatif dan ideologi yang bertentangan. Menurut McQuail dalam bukunya Teori
Komunikasi Massa (2012:72-75) ada lima cabang utama teori kritis media. Pertama
Marxisme klasik di mana menganggap terdapat ideologi alternatif, idealis, dan
terkadang utopis, tetapi tidak ada sebuah model ideal sistem sosial yang
bekerja dimanapun. Meskipun demikian terdapat dasar kesamaan yang cukup untuk
menolak ideologi tersembunyi dari pluralisme dan fungsionalisme konservatif. Kedua
karakter politik dan ekonomi dari struktur dan organisasi media secara nasional
dan internasional, seperti Marxisme
klasik menyalahkan kepemilikan media bagi keburukan masyarakat di mana strategi
operasional yang jauh dari netral dan non-ideologis. Teoritis yang ketiga
adalah Frankfurt, teori ini memandang media sebagai cara untuk membangun dan
mempromosikan pandangan alternatif dari budaya populer komersial yang dominan.
Cabang teori kritis yang keempat adalah teori hegemoni yang merupakan
dominasi ideologi palsu atau cara pikir terhadap kondisi sebenarnya. Sedangkan
teori kritis atau tradisi kritis yang kelima menurut McQuail adalah
kajian “penelitian budaya”. Tradisi ini sangat bergantung pada semiotik yang
cenderung pada pemaknaan budaya tentang
hasil-hasil media, misalnya video, musik, iklan, dan film yang masing-masing
merupakan hasil produksi budaya.
Penelitian atau kajian budaya
menjadi pendekatan yang sangat populer dan berguna, dan pendekatan ini dapat
digunakan untuk menggabungkan beberapa pemahaman dari beragam pemikiran, salah
satunya penelitian budaya dengan aplikasi tertentu pada media – penelitian
media feminis. Penelitian media massa
lebih diletakkan dalam kesadaran bahwa teks atau wacana dalam media massa
mempunyai pengaruh yang sedemikian rupa pada manusia. Seluruh aktivitas dan pemaknaan simbolik dapat dilakukan
dalam teks media massa. Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang
bebas nilai. Pada titik kesadaran pokok manusia, teks selalu memuat
kepentingan. Teks pada prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang memihak.
Tentu saja teks dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan ide, kepentingan
atau ideologi tertentu kelas tertentu. Pada titik tertentu, teks media pada
dirinya sudah bersifat ideologis (Littlejohn
dan Foss, 2011:183-217).
No comments:
Post a Comment