MEDIA, BUDAYA,
DAN NORMA
Oleh
Sigit Surahman, S.Sn
Ensiklopedi
Britanika mendefinisikan televisi adalah transmisi gambar-gambar gerak elektrik
dan transmisi elektrik simultan yang dilengkapi dengan suara. Kamus Ensiklopedi
The Reader’s Great mendefinisikan televisi adalah reproduksi visual
secara simultan dari adegan-adegan sasaran pertunjukan dan sebagainya yang
diterima dari jarak jauh. Sedangkan di dalam Ensiklopedi Internasional
dijelaskan definisi televisi adalah perangkat unik yang membedakan televisi
dengan radio adalah konversi gambar ke dalam denyut listrik kemudian dikonversi
kembali dalam gambar yang sebenarnya.[1]
Televisi
adalah sebuah pengalaman yang kita terima begitu saja. Kendati demikian,
televisi juga merupakan sesuatu yang membentuk cara berpikir kita tentang
dunia.[2]
Perkembangan televisi sebagai media massa begitu pesat dan sangat dapat
dirasakan manfaatnya. Dalam waktu yang relatif singkat, televisi dapat
menjangkau wilayah dan jumlah penonton yang tidak terbatas.[3]
Dewasa ini televisi telah menjadi salah satu bentuk media komunikasi sosial
yang populer dan berkembang luas di masyarakat.
Terutama dalam masyarakat industri maju, situasi nyaris sangat universal
hampir setiap rumah memiliki lebih dari satu pesawat televisi.
Kepemilikan
dan kehadiran televisi di masyarakat telah mendorong untuk melihat posisi
televisi dalam perubahan sosial dan kultur budaya yang begitu pesat. Hal
tersebut menjadikan televisi tidak hanya sebagai media hiburan semata. Televisi
juga mempunyai konsekuensi-konsekuensi untuk menghadirkan siaran berita,
pendidikan, kebudayaan, dan sosial yang mempunyai peran penting kehadirannya
dalam kehidupan keluarga.
Jika melihat tolok ukur
dari besarnya peran media massa dalam mempengaruhi pemikiran bahkan gaya hidup
khalayaknya, tentulah perkembangan media massa di Indonesia pada masa akan
datang harus lebih diperhatikan secara khusus. Apalagi ketika dihadapkan dengan
yang namanya globalisasi media massa yang tidak mungkin bisa terelakkan lagi.
Semua hal ini tentunya merupakan proses alkulturasi media dan budaya masyarakat
yang terjadi secara nature, tentunya pada saat-saat tertentu akan terjadi benturan antar budaya timur dan budaya barat
yang tidak bisa lagi dikendalikan sehingga mempengaruhi prilaku dan gaya hidup.
Lantas bagaimana bagaimana dengan Indonesia, ketika harus menghadapi dan
menyikapi fenomena transformasi media terhadap pola perilaku masyarakat dan
budaya saat ini?
Salah satu wujud kebudayaan adalah sebagai wujud sistem sosial. Wujud
kebudayaan yang disebut sistem sosial yaitu kebudayaan mengenai
tindakan-tindakan keseharian dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini
terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang butuh untuk berinteraksi setiap
saat. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat,
sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi disekeliling kita sehari-hari, bisa
diobservasi, di foto, dan didokumentasi.[4]
Sedangkan seperti kita semua ketahui, sekarang ini masyarakat sedang
diserbu, dipengaruhi, dan dikondisikan oleh berbagai media seperti lewat
televisi, radio, majalah, koran, buku, film, vcd, telepon selular yang
menawarkan kecangihan-kecanggihannya dan kini internet yang membawa dan menawarkan segudang nilai,
baik positif maupun negatif yang sedikit banyak akan berdampak pada kehidupan
masyarakat?
PENYALAHGUNAAN KEBEBASAN
PERS
Kita bisa melihat dan membaca dengan dalam Undang-Undang Pers No. 40
tahun 1999, mencantumkan bahwa pers berkewajiban memberitakan peristiwa
dan opini dengan menghormati normanorma agama dan rasa kesusilaan masyarakat
(pasal 5 ayat 1).
Tidak hanya di media cetak,
akan tetapi media audio-visual juga ada Undang-undang yang mengatur secara
spesifik tentang pornografi, yakni Undang-undang
Perfilman dan Undang-undang Penyiaran. Tertera dalam UU Perfilman 1992 pasal 33 dinyatakan bahwa setiap
film dan reklame film yang akan diedarkan atau dipertunjukkkan di Indonesia,
wajib sensor terlebih dahulu. Pasal 19 dari UU ini menyebutkan bahwa
LSF (Lembaga Sensor Film) harus menolak sebuah film yang
menonjolkan adegan seks lebih dari 50 % jam tayang. Dalam UU Penyiaran
pasal 36 dinyatakan bahwa isi siaran televisi dan radio dilarang
menonjolkan unsur cabul (ayat 5) dan dilarang merendahkan, melecehkan dan/atau
mengabaikan nilai-nilai agama dan martabat manusia Indonesia (ayat 6).
Seiring munculnya wacana kebebasan
pers pada awal-awal era reformasi ternyata justru banyank dimanfaatkan oleh
sebagian oknum masyarakat yang tidak bertanggungjawab, untuk membuat dan memproduksi
foto-foto ataupun video porno. Anggapan dari
sebagian masyarakat dengan adanya reformasi pers adalah salah satu wadah/media
yang mempunyai kemerdekaan mutlak dan dijamin sebagai hak asasi warga Negara
dan tidak diharuskan adanya penyensoran serta pembredelan sebulum
dipublikasikan atau diproduksi secara besar-besara.
Globalisasi sebuah momok
yang sebenarnya belum siap dihadapi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Mulai dari globalisasi budaya hingga globalisasi teknologi yang pada hakikatnya
ternyata telah membawa nuansa budaya dan nilai yang mempengaruhi selera dan
gaya hidup masyarakat. Melalui media yang kian terbuka dan terjangkau,
masyarakat menerima berbagai informasi tentang peradaban baru yang datang dari
seluruh penjuru dunia. Padahal, kita menyadari belum semua warga negara mampu
menilai sampai dimana kita sebagai bangsa berada. Begitulah, misalnya, banjir
informasi dan budaya baru yang dibawa media tak jarang teramat asing dari sikap
hidup dan norma yang berlaku. Terutama masalah pornografi, dimana sekarang
wanita-wanita Indonesia sangat terpengaruh oleh trend mode dari Amerika dan
Eropa yang dalam berbusana cenderung minim, kemudian ditiru habis-habisan tanpa
ada kesadaran akan norma-norma yang ada di Indonesia. Sehingga kalau kita
berjalan-jalan di mal atau tempat publik sangat mudah menemui wanita Indonesia
yang berpakaian serba minim mengumbar aurat. Di mana budaya itu sangat
bertentangan dengan norma yang ada di Indonesia. Belum lagi maraknya kehidupan free
sex di kalangan remaja masa kini. Hal itu seolah dapat dibuktikan
dengan banyaknya video porno yang pemerannya adalah orang-orang Indonesia. Di
sini pemerintah dituntut untuk bersikap aktif tidak masa bodoh melihat
perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia.
[1] Alimuddin Tuwu, 2007, Televisi
dan Islam, Citra Media, Yogyakarta, hlm. 1.
[2] Greame Burton, 2007,
Membincangkan Televisi, Di terjemahkan Laily Rahmawati, Jalasutra, Yogyakarta dan Bandung, hlm. 7.
[3] Darwanto Sastro Subroto, 2007, Televisi
Sebagai Media Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 26.