Friday, May 25, 2012

REFLEKSI AKAN MEDIA, BUDAYA, DAN NORMA


MEDIA, BUDAYA, DAN NORMA
Oleh
Sigit Surahman, S.Sn

Ensiklopedi Britanika mendefinisikan televisi adalah transmisi gambar-gambar gerak elektrik dan transmisi elektrik simultan yang dilengkapi dengan suara. Kamus Ensiklopedi The Reader’s Great mendefinisikan televisi adalah reproduksi visual secara simultan dari adegan-adegan sasaran pertunjukan dan sebagainya yang diterima dari jarak jauh. Sedangkan di dalam Ensiklopedi Internasional dijelaskan definisi televisi adalah perangkat unik yang membedakan televisi dengan radio adalah konversi gambar ke dalam denyut listrik kemudian dikonversi kembali dalam gambar yang sebenarnya.[1]
Televisi adalah sebuah pengalaman yang kita terima begitu saja. Kendati demikian, televisi juga merupakan sesuatu yang membentuk cara berpikir kita tentang dunia.[2] Perkembangan televisi sebagai media massa begitu pesat dan sangat dapat dirasakan manfaatnya. Dalam waktu yang relatif singkat, televisi dapat menjangkau wilayah dan jumlah penonton yang tidak terbatas.[3] Dewasa ini televisi telah menjadi salah satu bentuk media komunikasi sosial yang populer dan berkembang luas di masyarakat.  Terutama dalam masyarakat industri maju, situasi nyaris sangat universal hampir setiap rumah memiliki lebih dari satu pesawat televisi.
Kepemilikan dan kehadiran televisi di masyarakat telah mendorong untuk melihat posisi televisi dalam perubahan sosial dan kultur budaya yang begitu pesat. Hal tersebut menjadikan televisi tidak hanya sebagai media hiburan semata. Televisi juga mempunyai konsekuensi-konsekuensi untuk menghadirkan siaran berita, pendidikan, kebudayaan, dan sosial yang mempunyai peran penting kehadirannya dalam kehidupan keluarga.
Jika melihat tolok ukur dari besarnya peran media massa dalam mempengaruhi pemikiran bahkan gaya hidup khalayaknya, tentulah perkembangan media massa di Indonesia pada masa akan datang harus lebih diperhatikan secara khusus. Apalagi ketika dihadapkan dengan yang namanya globalisasi media massa yang tidak mungkin bisa terelakkan lagi. Semua hal ini tentunya merupakan proses alkulturasi media dan budaya masyarakat yang terjadi secara nature, tentunya pada saat-saat tertentu akan terjadi  benturan antar budaya timur dan budaya barat yang tidak bisa lagi dikendalikan sehingga mempengaruhi prilaku dan gaya hidup. Lantas bagaimana bagaimana dengan Indonesia, ketika harus menghadapi dan menyikapi fenomena transformasi media terhadap pola perilaku masyarakat dan budaya saat ini?
Salah satu wujud kebudayaan adalah sebagai wujud sistem sosial. Wujud kebudayaan yang disebut sistem sosial yaitu kebudayaan mengenai tindakan-tindakan keseharian dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang butuh untuk berinteraksi setiap saat. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi disekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, di foto, dan didokumentasi.[4]
Sedangkan seperti kita semua ketahui, sekarang ini masyarakat sedang diserbu, dipengaruhi, dan dikondisikan oleh berbagai media seperti lewat televisi, radio, majalah, koran, buku, film, vcd, telepon selular yang menawarkan kecangihan-kecanggihannya dan kini internet  yang membawa dan menawarkan segudang nilai, baik positif maupun negatif yang sedikit banyak akan berdampak pada kehidupan masyarakat?
PENYALAHGUNAAN KEBEBASAN PERS
Kita bisa melihat dan membaca dengan dalam Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999, mencantumkan bahwa pers berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati normanorma agama dan rasa kesusilaan masyarakat (pasal 5 ayat 1).
Tidak hanya di media cetak, akan tetapi media audio-visual juga ada Undang-undang yang mengatur secara spesifik tentang pornografi, yakni  Undang-undang Perfilman dan Undang-undang Penyiaran. Tertera dalam UU Perfilman 1992 pasal 33 dinyatakan bahwa setiap film dan reklame film yang akan diedarkan atau dipertunjukkkan di Indonesia, wajib sensor terlebih dahulu. Pasal 19 dari UU ini menyebutkan bahwa LSF (Lembaga Sensor Film) harus menolak sebuah film yang menonjolkan adegan seks lebih dari 50 % jam tayang. Dalam UU Penyiaran pasal 36 dinyatakan bahwa isi siaran televisi dan radio dilarang menonjolkan unsur cabul (ayat 5) dan dilarang merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama dan martabat manusia Indonesia (ayat 6).
Seiring munculnya wacana kebebasan pers pada awal-awal era reformasi ternyata justru banyank dimanfaatkan oleh sebagian oknum masyarakat yang tidak bertanggungjawab, untuk membuat dan memproduksi foto-foto ataupun video  porno. Anggapan dari sebagian masyarakat dengan adanya reformasi pers adalah salah satu wadah/media yang mempunyai kemerdekaan mutlak dan dijamin sebagai hak asasi warga Negara dan tidak diharuskan adanya penyensoran serta pembredelan sebulum dipublikasikan atau diproduksi secara besar-besara.
Globalisasi sebuah momok yang sebenarnya belum siap dihadapi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Mulai dari globalisasi budaya hingga globalisasi teknologi yang pada hakikatnya ternyata telah membawa nuansa budaya dan nilai yang mempengaruhi selera dan gaya hidup masyarakat. Melalui media yang kian terbuka dan terjangkau, masyarakat menerima berbagai informasi tentang peradaban baru yang datang dari seluruh penjuru dunia. Padahal, kita menyadari belum semua warga negara mampu menilai sampai dimana kita sebagai bangsa berada. Begitulah, misalnya, banjir informasi dan budaya baru yang dibawa media tak jarang teramat asing dari sikap hidup dan norma yang berlaku. Terutama masalah pornografi, dimana sekarang wanita-wanita Indonesia sangat terpengaruh oleh trend mode dari Amerika dan Eropa yang dalam berbusana cenderung minim, kemudian ditiru habis-habisan tanpa ada kesadaran akan norma-norma yang ada di Indonesia. Sehingga kalau kita berjalan-jalan di mal atau tempat publik sangat mudah menemui wanita Indonesia yang berpakaian serba minim mengumbar aurat. Di mana budaya itu sangat bertentangan dengan norma yang ada di Indonesia. Belum lagi maraknya kehidupan free sex di kalangan remaja masa kini. Hal itu seolah dapat dibuktikan dengan banyaknya video porno yang pemerannya adalah orang-orang Indonesia. Di sini pemerintah dituntut untuk bersikap aktif tidak masa bodoh melihat perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia.


[1] Alimuddin Tuwu, 2007, Televisi dan Islam, Citra Media, Yogyakarta, hlm. 1.
[2] Greame Burton, 2007, Membincangkan Televisi, Di terjemahkan Laily Rahmawati,  Jalasutra, Yogyakarta dan Bandung, hlm. 7.
[3] Darwanto Sastro Subroto, 2007, Televisi Sebagai Media Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 26.
[4] Ibid, hlm. 187.

No comments:

Post a Comment


perjalanan