Tuesday, November 25, 2014

IDEOLOGI, MEDIA, BUDAYA, dan KONSTRUKSI

IDEOLOGI, MEDIA, BUDAYA, dan KONSTRUKSI,

Ideologi bekerja melalui media untuk memelihara berbagai ketidaksetaraan sosial
Membicarakan tentang konsep ideologi dan media dalam tradisi Marxian, tentunya tidak bisa lepas dari pada kegagalan kaum proletar untuk mewujudkan revolusi dan bahwa materialisme historis ternyata tidak memadai untuk menjelaskan persoalan subjektivitas makna dan politik budaya. Secara sederhana ideologi bermula dari adanya eksplorasi untuk menjawab mengapa ada kapitalisme?. Yang sebenarnya merupakan sistem  relasi sosial ekonomi yang eksploitatif. Marx dan Engels dalam bukunya Chris Barker (Cultural Studies : 2005 p.73) berpendapat, pertama: bahwa gagasan-gagasan yang dominan dalam masyarakat mana pun selalu merupakan gagasan-gagasan kelas penguasa. Kedua, Marx mengatakan bahwa apa yang kita tangkap sebagai karakter asli dari relasi sosial dalam kapitalisme sebenarnya merupakan mistifikasi pasar. Dengan melihat apa yang dikemukakan Marx, maka ideologi bekerja dan berfungsi untuk mengkonstitusi subjek, ideologi turut mereproduksi formasi-formasi sosial dan relasi-relasi kekuasaan, ideologi membawa sebuah kesadaran palsu, penyimpangan (dari kebenaran reaalitas). Contoh kasus : dalam iklan Tolak Angin di media massa baik radio, surat kabar, televisi dan berbagai media massa lainnya. Iklan Tolak Angin dengan mengankaat jargon “Orang Pintar Minum Tolak Angin”. Tampak terlihat jelas bagaimana iklan ditampilkan secara terus menerus, dimana iklan itu memberikan doktrin kepada khalayak untuk akhirnya bisa mengikuti seperti apa yang ditampilkan dalam iklan tersebut. Kesadaran masyarakat yang terpengaruh oleh iklan itulah yang dinamakan kesadaran palsu, penyimpangaan dari realitas yang sebenarnya. Dalam iklan tersebut menyiratkan atau membawa dan menanamkan ideologi semua yang mengkonsumsi  Tolak Angin hanyalaah orang-orang pintar saja, dan orang bodoh saja kalau masuk angin tidak minum Tolak Angin.
Industri budaya menurut Adorno dan Horkheimer!
-          Media dalam sistem industri ini menurut Ardono dan Horkheimer mengarah kapitalis yang selalu berupaya mencapai keuntungan setinggi-tingginya berkonsekuensi logis pada minat kapitalis terhadap kontrol individu.
-          Budaya digunakan untuk mengontrol kesadaran individual maka budaya telah diindustrialisasi dan dikomodifikasi.
-          Cultural industry mengklaim bahwa industri memproduksi budaya untuk memenuhi kebutuhan konsumen terhadap hiburan serta menyajikan apa yang diinginkan konsumen.
-          Komodifikasi budaya yang ditampilkan di layar kaca ini dilakukan dengan menetapkan standarisasi tertentu. Standarisasi menjadi metode utama yang digunakan industry kapitalis dalam memproduksi budaya massa.
-          Muncullah yang disebut sebagai manipulasi kebutuhan konsumen dengan hasil kebutuhan semu atau pseudo needs.
-          Apa yang kita saksikan melalui lembar-lembar majalah, layar televisi, film, atau suara di udara akhir-akhir ini menunjukkan gejala yang serupa.

Masyarakat Modernisme dan Posmodernisme Baudillard
Karakteristik masyarakat Modernisme dan Posmodernisme Baudillard, perhatian utama lebih ditujukan kepada simbol, citra, sistem tanda dan bukan lagi pada manfaat dan harga komoditi. Baudrillard menyatakan kebudayaan postmodern memiliki beberapa ciri menonjol.
-          Pertama, kebudayaan postmodern adalah kebudayaan uang, excremental culture. Uang mendapatkan peran yang sangat penting dalam masyarakat postmodern. Berbeda dengan masa-masa modern, dimana fungsi dan makna uang dalam budaya postmodern tidaklah sekedar sebagai alat-tukar, melainkan lebih dari itu merupakan simbol, tanda dan motif utama berlangsungnya kebudayaan.
-          Kedua, masyarakat kebudayaan postmodern dibandingkan masyarakat kebudayaan modern. Posmodern lebih mengutamakan penanda (signifier), media (medium), fiksi (fiction), sistem tanda (system of signs), serta estetika (aesthetic). Sedangkan budaya modern mengutamakan petanda (signified), pesan (message), fakta (fact), sistem objek (system of objects), etika (ethic).
Kebudayaan postmodern adalah sebuah dunia simulasi, yakni dunia yang terbangun dengan pengaturan tanda, citra dan fakta melalui produksi maupun reproduksi secara tumpang tindih dan berjalin kelindan. Sebagai konsekuensi logis karakter simulasi, budaya postmodern ditandai dengan sifat hiperrealitas, dimana citra dan fakta bertubrukan dalam satu ruang kesadaran yang sama, dan lebih jauh lagi realitas semu (citra) mengalahkan realitas yang sesungguhnya (fakta). Kebudayaan postmodern ditandai dengan meledaknya budaya massa, budaya populer serta budaya media massa. Baudrillard menyatakan bahwa realitas kebudayaan dewasa ini menunjukkan adanya karakter khas yang membedakannya dengan realitas kebudayaan modern masyarakat Barat. Kebudayaan postmodern yang memiliki ciri-ciri hiperrealitas, simulacra dan simulasi, serta  didominasi oleh nilai-tanda dan nilai-simbol. Inilah wacana kebudayaan yang saat ini menghidupi dan sekaligus kita hidupi, sebagai sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditolak. Wacana kebudayaan inilah yang menawarkan tantangan sekaligus peluang bagi kita untuk mulai memperhatikan sisi lain realitas masyarakat dewasa ini. Baudrillard juga mengemukakan era ini merupakan era hiperrealitas, dimana model-model dank kode-kode menentukan pemikiran dan tingkah laku dan dimana media hiburan, informasi, serta komunikasi memberikan pengalaman yang lebih kuat dan melibatkan daripada adegan-adegan kehidupan sehari-hari yang dangkal. Dalam dunia postmodern ini, individu meninggalkan ”gurun yang-nyata” untuk ekstase hiperrealitas dan ranah komputer, media, dan pengalaman teknonogi baru (Douglas Kellner : 1995 p.403-404).

Representasi dan cara media memberikan makna dan mengkonstruksi identitas
Iklan adalah suatu bentuk layanan publik, yang dimana iklan selalu berhubungan secara langsung dengan masyarakat luas. Iklan sendiri membawa berbagai kepantingan yang beragam bagi khalayaknya. Iklan selalu berusaha mengkonstruksi realitas masyarakat dan merepresentasikan sesuatu yang tidak realis/tidak selazimnya di masyarakat. Representasi merupakan sebuah gambaran dari hasil kreativitas seorang copywriter, visualize, art director, typographer, ataupun tim kreatif yang sengaja dibentuk. Bagaimana sebuah realitas ditangkap oleh pembuat iklan untuk kemudian di rekronstruksi menjadi sebuah realitas baru/realitas palsu (hiperrealitas)/dikemas ulang secara berlebih-lebihan. Representasi kultural dan makna memiliki sifat material, itu semua tertanam dan terpampang dalam bentuk, gambar, tulisan, buku, suara, dan audio visual, dan sebagainya. Disinilah lokus konsep konstruksi iklan dan realitas sosial, bahwa realitas sosial dimaksud adalah citra produk yang dikonstruksi oleh iklan dan itu seolah-olah merepresentasi masyarakat yang sebenarnya. Pesan dan konstruksi iklan terutama televisi lebih mudah dilakukan, karena televise mempunyai kekuatan yang lebih disbanding media lain. Konstruksi dibangun menggunakan simbol-simbol kals sosial, symbol-simbol budaya populer; misalnya kemewahaan, kualitas, efektivitas, kenikmatan dan cita rasa, kemudahan, aktualisasi serta simbol budaya populer dan kelas lainnya. Semua ditayangkan secara terus-menerus oleh media sehingga terus mempengaruhi masyarakat atau khalayak untuk mengkonsumsi produk/barang yang di iklankan. Dengan demikian terbentuklah sebuah kesadaran palsu/konstruksi identitas dari masyarakat/khalayak.

Budaya Massa dan Budaya Populer
Budaya Massa adalah sebuah budaya yang sudah bersifat massa/masal, sudah dipabrikasi, sudah menjadi konsumsi dari semua kalangan masyarakat, sudah ada unsur kapitalisme di dalamnya dan konstruksi secara masif demi kepentingaan khalayak/pasar. Budaya massa tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari, sebelum budaya massa menjadi bagian dari masyarakat pasti ada kelompok atau bagian masyarakat yang merancang atau memproduksinya. Bagaimana produk budaya itu sampai ke masyarakat dan produk yang ‘sebagaimana’ itu yang disampaikan kepada masyarakat membutuhkan media atau agen yang menyampaikannya. Contoh kasus : penggunaan kata “WOW” yang awalnya hanya digunakan atau popular di kalangan tertentu saja, akhirnya menjadi sebuah budaya massa yang banyak diadopsi oleh kreator-kreator advertaising dan ditampilkan dalam iklan televisi, media cetak dan media-media lainnya dan hal itu tidak lepas dari kepentingaan keuntungan/kapitalisme yang menghipnotis khalayak ikut mengucapkan kata “WOW”. Selain itu ada juga kata “WOLES” yang pada awalnya juga merupakan kata-kata yang sering diucapkan dan popular oleh kalangan atau komunitas tertentu saja, akan tetapi setelah mulai banyak dibawa ke dalam sinetron salah satunya “Si Biangkerok Cilik”. Pemain-pemain cilik dalam sinetron itu sering mengucapkan kata “WOLES” dengaan intensitas yang bisa dibilang sering. Pada akhirnya anak-anak kecil yang menyaksikaan itu mengikuti apa yang diucapkan tanpa mengetahui apa arti dari kata “WOLES” itu sendiri.
Budaya Populer adalah sebuah budaya yang hanya populer dikalangan tertentu atau wilayah tertentu saja, tidak ada kepentingan pabrikasi, kapitalisme, dan hanya menjadi konsumsi kalangan/komunitas dan wilayah tertentu. Budaya popular merupakan gaya, style, ide, perspektif, dan sikap yang benar-benar berbeda dengan budaya arus utama 'mainstream' (budaya kebanyakan). Budaya populer sering dipandang sepele, rendahan, murahan dan "tidak intelek" jika dibandingkan dengan apa yang disetujui sebagai budaya arus utama. Contoh kasus : Budaya grebeg panjang maulid yang hanya ada dan populer di masyarakat Banten khususnya masyarakat Kota Serang saja. Ritual atau tradisi ini bersifat lokalitas/terbatas kalangan tertentu saja. Contoh budaya populer yang lain misalnya dangdut pantura yang memang hanya populer dan ada di sepanjang jalur pantura saja, dimana ketika orang/masyarakat yang mendengarkan musik dangdut banyak dibilang kelas rendahan dan tidak intelek.

Friday, November 14, 2014

MEDIA FILM SEBAGAI KONSTRUKSI dan REPRESENTASI SOSIAL


   

            Media Film Sebagai Konstruksi dan Representasi Sosial
Kehadiran media massa tidak dapat dipandang dengan sebelah mata dalam proses pemberian makna terhadap realitas yang terjadi di sekitar kita, salah satunya melalui media film. Produk-produk media telah berhasil memberikan dan membentuk realitas lain yang dihadirkan di masyarakat, yaitu realitas simbolik, yang celakanya, banyak diterima secara mentah-mentah oleh masyarakat sebagai bentuk kebenaran. Film selama ini dianggap lebih sebagai media hiburan ketimbang media persuasi. Namun yang jelas, film sebenarnya memiliki kekuatan bujukan atau persuasi yang sangat besar. Film merupakan salah satu saluran atau media komunikasi massa. Perkembangan film sebagai salah satu media komunikasi massa di Indonesia mengalami pasang surut yang cukup berarti, namun media film di Indonesia tercatat mampu memberikan efek yang signifikan dalam proses penyampaian pesan (Rivers & Peterson, 2008: 252).
Kedudukan media film juga dapat sebagai lembaga pendidikan nonformal dalam mempengaruhi dan membentuk budaya kehidupan masyarakat sehari-hari melalui kisah yang ditampilkan. Film dianggap sebagai medium sempurna untuk merepresentasikan dan mengkonstruksi realitas kehidupan yang bebas dari konflik-konflik ideologis serta berperan serta dalam pelestarian budaya bangsa.
Film menjadi alat presentasi dan distribusi dari tradisi hiburan yang lebih tua, menawarkan cerita, drama, humor, panggung, musik, dan trik teknis bagi konsumsi populer. Film juga hampir menjadi media massa yang sesungguhnya dalam artian bahwa film mampu menjangkau populasi dalam jumlah besar dengan cepat, bahkan di wilayah pedesaan. Fenomena perkembangan film yang begitu cepat dan tak terprediksikan, membuat film kini disadari sebagai fenomena budaya yang progresif. Pencirian film sebagai “bisnis pertunjukan” dalam bentuk baru bagi pasar yang meluas bukanlah keseluruhan ceritanya. Elemen penting lain dalam sejarah film adalah penggunaan film untuk propaganda sangatlah signifikan, terutama jika diterapkan untuk tujuan nasional atau kebangsaan, berdasarkan jangkauannya yang luas, sifatnya yang riil, dampak emosional, dan popularitas (McQuail, 2012:35).
Sebagai media komunikasi massa yang menyajikan konstruksi dan representasi sosial yang ada di dalam masyarakat,  film memiliki beberapa fungsi komunikasi diantaranya : pertama ; sebagai sarana hiburan, film dengan tujuan untuk memberikan hiburan kepada khalayaknya dengan isi cerita film, geraknya, keindahannya, suara dan sebagainya agar penonton mendapat kepuasan secara psikologis. Kedua ; sebagai penerangan, film ini yang memberikan penjelasan kepada penonton tentang suatu hal atau permasalahan, sehingga penonton mendapat kejelasan atau paham tentang hal tersebut dan dapat melaksanakannya. Ketiga ; sebagai propaganda film mengarah pada sasaran utama untuk mempengaruhi khalayak atau penontonnya, agar khalayak mau menerima atau menolak pesan, sesuai dengan keinginan si pembuat film.
Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiotika. Seperti dikemukakan oleh Van Zoet, film dibangun dengan tanda-tanda semata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerjasama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Pada film digunakan tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu, ciri gambar-gambar dalam film adalah persamaan dengan realitas yang ditunjuknya. Gambar dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya (Sobur, 2009:128).
Film yang merupakan hasil konstruksi bukan hanya sekedar media yang bisa menjadi pembujuk, namum media ini juga bisa membelokkan pola prilaku atau sikap-sikap yang ada terhadap suatu hal. Seperti yang diungkapkan oleh Wilbur Schramm dalam River dan Peterson, 2008 : 252) sebagai berikut:
Semua komunikasi yang sampai ke orang dewasa akan masuk ke situasi yang juga dialami oleh jutaan komunikasi sebelumnya, di mana kelompok rujukan siap menyeleksi dan kerangka pikir sudah terbentuk untuk menentukan penting tidaknya komunikasi itu. Karena itu komunikasi baru itu tidak akan menimbulkan goncangan, melainkan sekedar memunculkan sedikit riak perubahan yang prosesnya berjalaan lambat dan arahnya ditentukan oleh kepribadian kita sendiri.

TEORI KOMUNIKASI MASSA dan TEORI REPRESENTASI


TEORI KOMUNIKASI MASSA dan TEORI REPRESENTASI
Teori Komunikasi Massa
Wilayah teori media dicirikan dengan berbagai perspektif yang berbeda. Pendekatan tersebut cenderung berbeda antara aliran kiri (progresif atau liberal) dan kanan (konservatif). Teori aliran kiri (leftist theory) misalnya, sangat kritis terhadap kekuatan media yang berada di tangan Negara atau perusahaan besar, sementara konservatif menunjuk kepada ‘bias liberal’ dari pemberitaan atau kerusakan yang dilakukan oleh media terhadap nilai-nilai tradisional. Dimensi dan jenis-jenis teori media dapat dikelompokkan dalam empat pendekatan besar yang terdiri dari dua dimensi yakni : media sentris (media-centric) versus masyarakat sentris (society-centric); serta kulturalis (culturalist) versus materialis (materialist). Pendekatan yang pertama secara vertikal yakni pendekatan ‘media sentris’ (media-centric) dangan masyarakat sentris (society-centric), memberikan lebih banyak otonomi dan pengaruh atas komunikasi dan berkonsentrasi pada ranah aktivitas media itu sendiri. Teori media sentris melihat media massa sebagai penggerak utama dalam perubahan social yang didorong maju oleh perkembangan yang sangat menggiurkan dari teknologi komunikasi. Teori ini juga lebih memperhatikan konten berbagai media diantaranya ; media cetak, media audiovisual, media interaktif, dan sebagainya. Teori masyarakat sentris secara umum memandang media sebagai cerminan kekuatan politik dan ekonomi. Pendekatan kedua, yakni garis horizontal yang membagi antara para teoretikus yang memiliki kepentingan (serta keyakinan) terletak pada lingkup kebudayaan dan ide, dan menekankan kekuatan serta faktor materi. Pembagian ini mirip dimensi tertentu lainnya: humanis versus ilmiah; kualitatif versus kuantitatif; ddan subjektif versus objektif. Semua perbedaan ini merefleksikan kebutuhan akan pembagian kerja dalam wilayah luas serta faktor multi disipliner dari studi media, mereka juga sering melibatkan ide yang saling bersaing dan berlawanan dalam mengajukan pertanyaan, melakukan penelitian, dan memberikan penjelasan. Kedua alternatif ini tidak terikat satu sama lain dan dapat diidentifikasikan dalam empat perspektif yang berbeda atas media dan masyarakat (McQuail, 2012:12-14).
Keempat perspektif tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
      Media Sentris

         Media Kulturalis                       Media Materialis
       Kulturalis                                                                              Materialis
          Sosialis Kulturalis                 Sosialis Materialis

      Society Sentris
Gambar 2.2. Dimensi dan jenis-jenis teori media.
Sumber : Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa, Salemba Humanika; 2012:13)

Keempat tipe perspektif ini dapat dirangkum sebagai berikut:

  1. Perspektif media kulturalis. Pendekatan ini mengambil perspektif anggota khalayak dalam hubungan dengan genre atau contoh budaya media tertentu (misalnya acara reality-show atau jaringan sosial) dan mendalami makna subjektif dari pengalaman dalam konteks tertentu.
  2. Pendekatan media materialis. Penelitian dalam tradisi ini menekankan pada pembentukan konten media dan menekankan pada efek potensial karakteristik media yang berkaitan dengan teknologi dan hubungan sosial dari penerimaan dan produksi  yang dihubungkan dengan hal tersebut. Pendekatan ini juga menekankan pengaruh dari konteks structural dan dinamika atau produksi tertentu.
  3. Perspektif sosial kulturalis. Inti dari pandangan ini menaruh media dan pengalaman media di bawah kekuatan yang lebih besar dan dalam yang mempengaruhi masyarakat dan individu. Isu sosial dan budaya yang dianggap lebih mendominasi daripada isu ekonomi politik.
  4. Perspektif sosial materialis. Pendekatan ini biasanya dihubungkan dengan pandangan kritis terhadap kepemilikan dan control media yang pada akhirnya membentuk ideologi dominan yang disiarkan atau didukung oleh media[1].

Komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (mass communication is message communicated through a mass medium to large number of people), media komunikasi yang termasuk dalam media massa diantaranya; radio, televisi, surat kabar, majalah, internet, dan media film. Film yang menjadi media komunikasi massa adalah film bioskop (Ardianto, Komala & Karlinah, 2009:3).
McQuail (2012:17-19) mengatakan bahwa komunikator dalam komunikasi massa bukanlah satu orang melainkan sebuah organisasi formal. Komunikasi massa menciptakan pengaruh secara luas dalam waktu singkat kepada banyak orang. Komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa atau komunikasi dengan menggunakan media massa. Massa di sini adalah kumpulan orang-orang yang hubungan antar sosialnya tidak jelas dan tidak mempunyai struktur tertentu.
Kehadiran media massa yang secara serempak di berbagai tempat telah menghadirkan tantangan baru bagi para ilmuan berbagai disiplin ilmu. Para pakar ilmu komunikasi berpendapat bahwa komunikasi massa adalah suatu kegiatan komunikasi yang mengharuskan adanya keterlibatan dari unsur-unsur yang ada di dalamnya dan saling mendukung serta bekerja sama, untuk terlaksananya kegiatan komunikasi massa ataupun komunikasi melalui media massa. Kemudian para pakar ilmu komunikasi membatasi pengertian media massa pada komunikasi dengan menggunakan media massa, seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, internet, dan film.
Sebagai salah satu media komunikasi massa, film bisa dimaknai sebagai pesan yang disampaikan dalam komunikasi filmis atau mampu memindahkan ruang dan waktu agar khalayak atau penontonnya bisa  mudah memahami hakikat, fungsi dan efek yang dihadirkan oleh film itu sendiri. Sedangkan dalam praktik sosial, film dilihat tidak hanya sekedar ekspresi seni dari pembuatnya, tetapi merupakan interaksi antar elemen-elemen pendukung, proses produksi, distribusi maupun eksebisinya, bahkan lebih jauh dari itu, perspektif ini mengasumsikan interaksi antara film dengan idelogi serta kebudayaan di mana film diproduksi dan dikonsumsi.

Teori Representasi
Teori representasi Stuart Hall memperlihatkan suatu proses di mana arti (meaning) diproduksi dengan menggunakan bahasa (language) dan dipertukarkan oleh antar anggota kelompok dalam sebuah kebudayaan (culture). Representasi menghubungkan antara konsep (concept) dalam benak kita dengan menggunakan bahasa yang memungkinkan kita untuk mengartikan benda, orang, kejadian yang nyata (real), dan dunia imajinasi dari objek, orang,  benda, dan kejadian yang tidak nyata (fictional) (Hall, 2003). 
Giles (1999:56-57) pada bab 3 dalam buku Studying Culture: A Practical Introduction, terdapat tiga definisi dari kata “represent”’ yakni:
1.    To stand in for. Hal ini dapat dicontohkan dalam peristiwa bendera suatu negara, yang jika dikibarkan dalam suatu event olahraga, maka bendera tersebut menandakan keberadaan negara yang bersangkutan dalam event tersebut.
2.    To speak or act on behalf of. Contohnya adalah Pemimpin menjadi orang yang berbicara dan bertindak atas nama rakyatnya.
3.    To re-present. Dalam arti ini, misalnya tulisan sejarah atau biografi yang dapat menghadirkan kembali kejadian-kejadian di masa lalu.

Dalam praktiknya, ketiga makna dari representasi ini bisa menjadi saling tumpang tindih. Teori yang dikemukakan oleh Hall sangat membantu dalam memahami lebih lanjut mengenai apa makna dari representasi dan bagaimana caranya beroperasi dalam masyarakat budaya. Hall dalam bukunya Representation: Cultural Representation and Signifyig Practices “Representation connects meaning and language to culture…. Representation is an essential part of the process by which meaning is produced and exchanged between members of culture[2].
Melalui representasi, suatu makna diproduksi dan dipertukarkan antar anggota masyarakat. Jadi dapat dikatakan bahwa, representasi secara singkat adalah salah satu cara untuk memproduksi makna. Representasi bekerja melalui sistem representasi yang terdiri dari dua komponen penting, yakni konsep dalam pikiran dan bahasa.
Kedua komponen ini saling berkorelasi. Konsep dari sesuatu hal yang dimiliki dan ada dalam pikiran, membuat manusia atau seseorang mengetahui makna dari sesuatu hal tersebut. Namun, makna tidak akan dapat dikomunikasikan tanpa bahasa, sebagai contoh sederhana, konsep ‘gelas’ dan mengetahui maknanya. Maka seseorang tidak akan dapat mengkomunisikan makna dari ‘gelas’ (benda yang digunakan orang untuk tempat minum) jika seseorang tidak dapat mengungkapkannya dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh orang lain.
Oleh karena itu, yang terpenting dalam sistem representasi adalah bahwa kelompok yang dapat berproduksi dan bertukar makna dengan baik adalah kelompok tertentu yang memiliki suatu latar belakang pengetahuan yang sama sehingga dapat menciptakan suatu pemahaman yang (hampir) sama. Berpikir dan merasa juga merupakan sistem representasi, sebagai sistem representasi berarti berpikir dan merasa juga berfungsi untuk memaknai sesuatu. Untuk dapat melakukan hal tersebut, diperlukan latar belakang pemahaman yang sama terhadap konsep, gambar, dan ide (cultural codes). Pemaknaan terhadap sesuatu bisa sangat berbeda dalam budaya atau kelompok masyarakat yang berlainan, karena pada masing-masing budaya, kelompok, dan masyarakat tersebut tentunya ada cara-cara tersendiri dalam memaknai sesuatu. Kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang pemahaman yang tidak sama terhadap kode-kode budaya tertentu tidak akan bisa memahami makna yang diproduksi oleh kelompok masyarakat lain.
Manusia mengkonstruksi makna dengan sangat tegas sehingga suatu makna bisa terlihat seolah-olah alamiah dan tidak dapat diubah. Makna dikonstruksi dengan sistem representasi melalui kode. Kode inilah yang membuat masyarakat berada dalam suatu komponen dan saling berelasi. Namun, makna tidak akan dapat dikomunikasikan tanpa bahasa.
Teori representasi seperti memakai pendekatan konstruksionis, yang berpendapat bahwa makna dikonstruksi melalui bahasa. Stuart Hall dalam artikelnya, “thigs dont’ mean: we construct meaning,  using representational system-concept and signs[3]. Oleh karena itu konsep dalam (pikiran) dan tanda (bahasa) menjadi bagian penting yang digunakan dalam proses konstruksi atau produksi makna. Sehingga dapat disimpulkan bahwa representasi adalah suatu proses untuk memproduksi makna dari konsep yang ada dipikiran kita melalui bahasa. Proses produksi makna tersebut dimungkinkan dengan hadirnya sistem representasi. Namun, proses pemaknaan tersebut tergantung pada latar belakang pengetahuan dan pemahaman suatu kelompok sosial terhadap suatu tanda. Suatu kelompok harus memiliki pengalaman yang sama untuk dapat memaknai sesuatu dengan cara yang nyaris sama.
Penggambaran ekspresi antara teks media dengan realitas sebenarnya sering menggunakan konsep representasi. Teks media dimaknai sebagai segala hal yang dikonstruksi untuk diekspresikan seperti pidato, puisi, program televisi, film, teori-teori hingga komposisi musik (Anderson, 2006: 288). Representasi adalah sebuah istilah yang merujuk pada cara di mana seseorang atau sesuatu dilukiskan dalam media. Dalam sebagian besar dalam kajian ini, representasi diteliti sebagai cara untuk mendasari pemaknaan sebuah teks (Bardwell, 1989: 10).
Representasi tidak hadir sampai setelah selesai direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah kejadian. Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian. Representasi adalah bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstitutif darinya. Representasi merupakan hubungan antara konsep-konsep pikiran dan bahasa yang memungkinkan pembaca menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu obyek, realitas, atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau peristiwa.
Jadi representasi merupakan proses di mana para anggota sebuah budaya menggunakan bahasa untuk memproduksi makna. Bahasa dalam hal ini didefinisikan secara lebih luas, yaitu sebagai sistem apapun  yang menggunakan tanda-tanda yang bisa berbentuk verbal maupun nonverbal. Pengertian tentang representasi tersebut memiliki makna asli atau tetap (the true meanings) yang melekat pada dirinya.
Pandangan alternatif mengenai hubungan media massa dan integrasi sosial juga beredar, berdasarkan karakter lain dari komunikasi massa. Komunikasi massa memiliki kapasitas untuk menyatukan individu yang tersebar  di dalam khalayak yang lebih besar, atau menyatukan pandangan baru ke dalam komunitas urban dan imigran ke dalam Negara baru dengan menyediakan seperangkat nilai, ide, dan informasi dan membantu membentuk identitas (Janowitz, 1952; Clark, 1969; Stamm, 1985; Rogers, 1993). Proses ini dapat membantu menyatukan masyarakat modern besar yang beragam, daripada proses lama yang melibatkan mekanisme agama, keluarga, atau kelompok kontrol. Dengan kata lain media massa pada prinsipnya mampu mendukung atau melemahkan kohesi sosial. Hal ini terlihat berlawanan dengan yang satu menekankan pada kecenderungan sentrifugal (centrifugal) sementara yang lainnya merupakan kecenderungan sentripetal (centripetal) walaupun nyatanya dalam masyarakat yang kompleks, kedua kekuatan tersebut bekerja pada saat yang bersamaan dan kecenderungan salah satu menyeimbangkan kecenderungan yang lain[4].





                             Pandangan Optimis
1                                          2
                  Kebebasan,                          Integrasi,
                  Keragaman                          Solidaritas

     Efek                                                                             Efek 
Sentrifugal                                                                 Sentripetal
          
    3                                          4
   Tidak Ada Norma,                   Dominasi,
Kehilangan Identitas              Keseragaman

                                              Pandangan pesimis
Gambar 2.3. Empat versi dampak komunikasi massa terhadap integrasi sosial
Sumber : Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa, Salemba Humanika; 2012:98)


Dari kedua kekuatan efek media massa tersebut, salah satu dimensi merujuk kepada arah : baik sentrifugal atau sentripetal.  Dimensi pertama yakni dimensi sentrifugal, merujuk pada rangsangan kepada perubahan sosial, kebebasan, individualisme, dan fragmentasi (fragmentation). Dimensi yang kedua yakni dimensi sentripetal, merujuk pada efek dalam bentuk persatuan, tatanan, kohesi, dan integrasi sosial. Baik integrasi maupun disitegrasi sosial dapat dinilai dengan cara yang berbeda, tergantung pada pilihan dan sudut pandang. Kontrol sosial yang diinginkan seseorang merupakan batasan kebebasan bagi orang lain: individualisme seseorang adalah isolasi bagi orang lain. Sehingga dimensi kedua dapat digambarkan sebagai normatif, terutama penilaian kedua kecenderungannya yang berlawanan dari kinerja media massa ini.
Dengan memaknai kondisi yang rumit ini, akan membantu untuk berfikir mengenai dua versi teori media—sentrifugal dan sentripetal—masing-masing dengan posisinya sendiri dalam dimensi evaluasi, sehingga dalam efek terdapat empat posisi teoretis berbeda yang berkaitan dengan integrasi sosial[5].
1.    Kebebasan, keragaman. Ini adalah versi optimis dari kecenderungan media yang memiliki efek perpecahan terhadap masyarakat yang juga membebaskan. Media menyebarkan ide dan informasi baru dan juga mendorong pergerakan perubahan, dan modernisasi.
2.    Integrasi, solidaritas. Versi optimis dari efek berlawanan komunikasi massa sebagai penyatu masyarakat, menekankan kebutuhan akan kepemilikan identitas, kebersamaan, dan kewarganegaraan, terutama pada kondisi perubahan social.
3.    Tidak ada norma, kehilangan identitas. Pandangan pesimis dari kebabasan yang luas akan menimbulkan perpecahaan, kehilangana keyakinan, tercerabut dari masyarakat, dan kehilangan kohesi serta modal sosial.
4.    Dominasi, keseragaman. Masyarakat dapat menjadi terlalu terintegrasi dan terlalu teratur, mendorong pada pengawasan dan konformitas pusat dengan media massa sebagai alat yang melakukannya[6].



[1] Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa, Salemba Humanika, 2012. Hal 13-14
[2] Stuart Hall. “The Work of Representation”. Representation: Cultural Representation and signifying Practices. Ed. Stuart Hall. London. Sage Publication, 2003. Hal 17.
[3] Ibid., Hal 25
[4] Dennis McQuail, Teori Komunikasi Massa, Salemba Humanika, Jakarta, 2012, Hal. 98.
[5] Ibid, Hal. 99
[6] OpCit, Hal. 99-100

perjalanan