TEORI KOMUNIKASI MASSA dan TEORI REPRESENTASI
Teori
Komunikasi Massa
Wilayah teori media dicirikan dengan berbagai perspektif
yang berbeda. Pendekatan tersebut cenderung berbeda antara aliran kiri
(progresif atau liberal) dan kanan (konservatif). Teori aliran kiri (leftist theory) misalnya, sangat kritis
terhadap kekuatan media yang berada di tangan Negara atau perusahaan besar,
sementara konservatif menunjuk kepada ‘bias liberal’ dari pemberitaan atau
kerusakan yang dilakukan oleh media terhadap nilai-nilai tradisional. Dimensi
dan jenis-jenis teori media dapat dikelompokkan dalam empat pendekatan besar
yang terdiri dari dua dimensi yakni : media sentris (media-centric) versus masyarakat sentris (society-centric); serta kulturalis (culturalist) versus materialis (materialist).
Pendekatan yang pertama secara
vertikal yakni pendekatan ‘media sentris’ (media-centric)
dangan masyarakat sentris (society-centric),
memberikan lebih banyak otonomi dan pengaruh atas komunikasi dan berkonsentrasi
pada ranah aktivitas media itu sendiri. Teori media sentris melihat media massa
sebagai penggerak utama dalam perubahan social yang didorong maju oleh
perkembangan yang sangat menggiurkan dari teknologi komunikasi. Teori ini juga
lebih memperhatikan konten berbagai media diantaranya ; media cetak, media
audiovisual, media interaktif, dan sebagainya. Teori masyarakat sentris secara
umum memandang media sebagai cerminan kekuatan politik dan ekonomi. Pendekatan kedua, yakni garis horizontal yang
membagi antara para teoretikus yang memiliki kepentingan (serta keyakinan)
terletak pada lingkup kebudayaan dan ide, dan menekankan kekuatan serta faktor
materi. Pembagian ini mirip dimensi tertentu lainnya: humanis versus ilmiah;
kualitatif versus kuantitatif; ddan subjektif versus objektif. Semua perbedaan
ini merefleksikan kebutuhan akan pembagian kerja dalam wilayah luas serta
faktor multi disipliner dari studi media, mereka juga sering melibatkan ide
yang saling bersaing dan berlawanan dalam mengajukan pertanyaan, melakukan
penelitian, dan memberikan penjelasan. Kedua alternatif ini tidak terikat satu
sama lain dan dapat diidentifikasikan dalam empat perspektif yang berbeda atas
media dan masyarakat (McQuail, 2012:12-14).
Keempat perspektif tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:
Media Sentris
Media
Kulturalis Media Materialis
Kulturalis Materialis
Sosialis Kulturalis Sosialis Materialis
Society
Sentris
Gambar 2.2. Dimensi dan jenis-jenis teori media.
Sumber : Denis
McQuail, Teori Komunikasi Massa,
Salemba Humanika; 2012:13)
Keempat
tipe perspektif ini dapat dirangkum sebagai berikut:
- Perspektif media kulturalis. Pendekatan ini mengambil perspektif anggota khalayak dalam hubungan dengan genre atau contoh budaya media tertentu (misalnya acara reality-show atau jaringan sosial) dan mendalami makna subjektif dari pengalaman dalam konteks tertentu.
- Pendekatan media materialis. Penelitian dalam tradisi ini menekankan pada pembentukan konten media dan menekankan pada efek potensial karakteristik media yang berkaitan dengan teknologi dan hubungan sosial dari penerimaan dan produksi yang dihubungkan dengan hal tersebut. Pendekatan ini juga menekankan pengaruh dari konteks structural dan dinamika atau produksi tertentu.
- Perspektif sosial kulturalis. Inti dari pandangan ini menaruh media dan pengalaman media di bawah kekuatan yang lebih besar dan dalam yang mempengaruhi masyarakat dan individu. Isu sosial dan budaya yang dianggap lebih mendominasi daripada isu ekonomi politik.
- Perspektif sosial materialis. Pendekatan ini biasanya dihubungkan dengan pandangan kritis terhadap kepemilikan dan control media yang pada akhirnya membentuk ideologi dominan yang disiarkan atau didukung oleh media[1].
Komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan
melalui media massa pada sejumlah besar orang (mass communication is message communicated through a mass medium to
large number of people), media komunikasi yang termasuk dalam media massa
diantaranya; radio, televisi, surat kabar, majalah, internet, dan media film.
Film yang menjadi media komunikasi massa adalah film bioskop (Ardianto, Komala
& Karlinah, 2009:3).
McQuail (2012:17-19) mengatakan bahwa komunikator dalam
komunikasi massa bukanlah satu orang melainkan sebuah organisasi formal.
Komunikasi massa menciptakan pengaruh secara luas dalam waktu singkat kepada
banyak orang. Komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa
atau komunikasi dengan menggunakan media massa. Massa di sini adalah kumpulan
orang-orang yang hubungan antar sosialnya tidak jelas dan tidak mempunyai
struktur tertentu.
Kehadiran media massa yang secara serempak di berbagai
tempat telah menghadirkan tantangan baru bagi para ilmuan berbagai disiplin
ilmu. Para pakar ilmu komunikasi berpendapat bahwa komunikasi massa adalah
suatu kegiatan komunikasi yang mengharuskan adanya keterlibatan dari
unsur-unsur yang ada di dalamnya dan saling mendukung serta bekerja sama, untuk
terlaksananya kegiatan komunikasi massa ataupun komunikasi melalui media massa.
Kemudian para pakar ilmu komunikasi membatasi pengertian media massa pada
komunikasi dengan menggunakan media massa, seperti surat kabar, majalah, radio,
televisi, internet, dan film.
Sebagai salah satu media komunikasi massa, film bisa
dimaknai sebagai pesan yang disampaikan dalam komunikasi filmis atau mampu
memindahkan ruang dan waktu agar khalayak atau penontonnya bisa mudah memahami hakikat, fungsi dan efek yang
dihadirkan oleh film itu sendiri. Sedangkan dalam praktik sosial, film dilihat
tidak hanya sekedar ekspresi seni dari pembuatnya, tetapi merupakan interaksi
antar elemen-elemen pendukung, proses produksi, distribusi maupun eksebisinya,
bahkan lebih jauh dari itu, perspektif ini mengasumsikan interaksi antara film
dengan idelogi serta kebudayaan di mana film diproduksi dan dikonsumsi.
Teori
Representasi
Teori representasi Stuart Hall
memperlihatkan suatu proses di mana arti (meaning)
diproduksi dengan menggunakan bahasa (language)
dan dipertukarkan oleh antar anggota kelompok dalam sebuah kebudayaan (culture). Representasi menghubungkan
antara konsep (concept) dalam benak
kita dengan menggunakan bahasa yang memungkinkan kita untuk mengartikan benda,
orang, kejadian yang nyata (real),
dan dunia imajinasi dari objek, orang,
benda, dan kejadian yang tidak nyata (fictional) (Hall, 2003).
Giles (1999:56-57) pada bab 3
dalam buku Studying Culture: A Practical Introduction, terdapat tiga
definisi dari kata “represent”’ yakni:
1.
To stand in for. Hal ini dapat dicontohkan dalam peristiwa
bendera suatu negara, yang jika dikibarkan dalam suatu event olahraga, maka bendera tersebut menandakan keberadaan
negara yang bersangkutan dalam event tersebut.
2.
To speak or act on behalf of. Contohnya adalah Pemimpin menjadi orang yang
berbicara dan bertindak atas nama rakyatnya.
3.
To re-present. Dalam arti ini, misalnya tulisan sejarah atau biografi yang dapat
menghadirkan kembali kejadian-kejadian di masa lalu.
Dalam praktiknya, ketiga makna
dari representasi ini bisa menjadi saling tumpang tindih. Teori yang
dikemukakan oleh Hall sangat membantu dalam memahami lebih lanjut mengenai apa
makna dari representasi dan bagaimana caranya beroperasi dalam masyarakat budaya.
Hall dalam bukunya Representation: Cultural Representation and Signifyig Practices
“Representation connects meaning and language to culture…. Representation is an
essential part of the process by which meaning is produced and exchanged between
members of culture[2].
Melalui representasi, suatu makna
diproduksi dan dipertukarkan antar anggota masyarakat. Jadi dapat dikatakan
bahwa, representasi secara singkat adalah salah satu cara untuk memproduksi
makna. Representasi bekerja melalui sistem representasi yang terdiri dari dua
komponen penting, yakni konsep dalam pikiran dan bahasa.
Kedua komponen ini saling
berkorelasi. Konsep dari sesuatu hal yang dimiliki dan ada dalam pikiran,
membuat manusia atau seseorang mengetahui makna dari sesuatu hal tersebut. Namun,
makna tidak akan dapat dikomunikasikan tanpa bahasa, sebagai contoh sederhana, konsep
‘gelas’ dan mengetahui maknanya. Maka seseorang tidak akan dapat mengkomunisikan
makna dari ‘gelas’ (benda yang digunakan orang untuk tempat minum) jika
seseorang tidak dapat mengungkapkannya dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh
orang lain.
Oleh karena itu, yang terpenting
dalam sistem representasi adalah bahwa kelompok yang dapat berproduksi dan
bertukar makna dengan baik adalah kelompok tertentu yang memiliki suatu latar
belakang pengetahuan yang sama sehingga dapat menciptakan suatu pemahaman yang
(hampir) sama. Berpikir dan merasa juga merupakan sistem representasi, sebagai
sistem representasi berarti berpikir dan merasa juga berfungsi untuk memaknai sesuatu.
Untuk dapat melakukan hal tersebut, diperlukan latar belakang pemahaman yang
sama terhadap konsep, gambar, dan ide (cultural codes). Pemaknaan
terhadap sesuatu bisa sangat berbeda dalam budaya atau kelompok masyarakat yang
berlainan, karena pada masing-masing budaya, kelompok, dan masyarakat tersebut tentunya
ada cara-cara tersendiri dalam memaknai sesuatu. Kelompok masyarakat yang
memiliki latar belakang pemahaman yang tidak sama terhadap kode-kode budaya
tertentu tidak akan bisa memahami makna yang diproduksi oleh kelompok
masyarakat lain.
Manusia mengkonstruksi makna
dengan sangat tegas sehingga suatu makna bisa terlihat seolah-olah alamiah dan
tidak dapat diubah. Makna dikonstruksi dengan sistem representasi melalui kode.
Kode inilah yang membuat masyarakat berada dalam suatu komponen dan saling
berelasi. Namun, makna tidak akan dapat dikomunikasikan tanpa bahasa.
Teori representasi seperti memakai
pendekatan konstruksionis, yang berpendapat bahwa makna dikonstruksi melalui
bahasa. Stuart Hall dalam artikelnya, “thigs dont’ mean: we construct meaning, using representational system-concept and
signs[3].
Oleh karena itu konsep dalam
(pikiran) dan tanda (bahasa) menjadi bagian penting yang digunakan dalam
proses konstruksi atau produksi makna. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
representasi adalah suatu proses untuk memproduksi makna dari konsep yang ada
dipikiran kita melalui bahasa. Proses produksi makna tersebut dimungkinkan
dengan hadirnya sistem representasi. Namun, proses pemaknaan tersebut
tergantung pada latar belakang pengetahuan dan pemahaman suatu kelompok sosial
terhadap suatu tanda. Suatu kelompok harus memiliki pengalaman yang sama untuk
dapat memaknai sesuatu dengan cara yang nyaris sama.
Penggambaran ekspresi antara
teks media dengan realitas sebenarnya sering menggunakan konsep representasi.
Teks media dimaknai sebagai segala hal yang dikonstruksi untuk diekspresikan
seperti pidato, puisi, program televisi, film, teori-teori hingga komposisi
musik (Anderson, 2006: 288). Representasi adalah sebuah istilah yang merujuk
pada cara di mana seseorang atau sesuatu dilukiskan dalam media. Dalam sebagian
besar dalam kajian ini, representasi diteliti sebagai cara untuk mendasari
pemaknaan sebuah teks (Bardwell, 1989: 10).
Representasi tidak hadir
sampai setelah selesai direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah
sebuah kejadian. Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian.
Representasi adalah bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstitutif
darinya. Representasi merupakan hubungan antara konsep-konsep pikiran dan
bahasa yang memungkinkan pembaca menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari
suatu obyek, realitas, atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia
atau peristiwa.
Jadi representasi merupakan
proses di mana para anggota sebuah budaya menggunakan bahasa untuk memproduksi
makna. Bahasa dalam hal ini didefinisikan secara lebih luas, yaitu sebagai sistem
apapun yang menggunakan tanda-tanda yang
bisa berbentuk verbal maupun nonverbal. Pengertian tentang representasi
tersebut memiliki makna asli atau tetap (the
true meanings) yang melekat pada dirinya.
Pandangan alternatif
mengenai hubungan media massa dan integrasi sosial juga beredar, berdasarkan
karakter lain dari komunikasi massa. Komunikasi massa memiliki kapasitas untuk
menyatukan individu yang tersebar di
dalam khalayak yang lebih besar, atau menyatukan pandangan baru ke dalam
komunitas urban dan imigran ke dalam Negara baru dengan menyediakan seperangkat
nilai, ide, dan informasi dan membantu membentuk identitas (Janowitz, 1952;
Clark, 1969; Stamm, 1985; Rogers, 1993). Proses ini dapat membantu menyatukan
masyarakat modern besar yang beragam, daripada proses lama yang melibatkan
mekanisme agama, keluarga, atau kelompok kontrol. Dengan kata lain media massa
pada prinsipnya mampu mendukung atau melemahkan kohesi sosial. Hal ini terlihat
berlawanan dengan yang satu menekankan pada kecenderungan sentrifugal (centrifugal) sementara yang lainnya
merupakan kecenderungan sentripetal (centripetal)
walaupun nyatanya dalam masyarakat yang kompleks, kedua kekuatan tersebut
bekerja pada saat yang bersamaan dan kecenderungan salah satu menyeimbangkan
kecenderungan yang lain[4].
Pandangan Optimis
1 2
Kebebasan,
Integrasi,
Keragaman Solidaritas
Efek Efek
Sentrifugal
Sentripetal
3
4
Tidak Ada Norma, Dominasi,
Kehilangan Identitas
Keseragaman
Pandangan pesimis
Gambar
2.3. Empat versi dampak komunikasi massa terhadap integrasi sosial
Sumber : Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa, Salemba Humanika; 2012:98)
Dari kedua kekuatan efek media massa tersebut, salah satu
dimensi merujuk kepada arah : baik sentrifugal atau sentripetal. Dimensi pertama yakni dimensi sentrifugal, merujuk pada rangsangan
kepada perubahan sosial, kebebasan, individualisme, dan fragmentasi (fragmentation). Dimensi yang kedua yakni
dimensi sentripetal, merujuk pada
efek dalam bentuk persatuan, tatanan, kohesi, dan integrasi sosial. Baik
integrasi maupun disitegrasi sosial dapat dinilai dengan cara yang berbeda,
tergantung pada pilihan dan sudut pandang. Kontrol sosial yang diinginkan
seseorang merupakan batasan kebebasan bagi orang lain: individualisme seseorang
adalah isolasi bagi orang lain. Sehingga dimensi kedua dapat digambarkan
sebagai normatif, terutama penilaian kedua kecenderungannya yang berlawanan
dari kinerja media massa ini.
Dengan memaknai kondisi yang rumit ini, akan membantu
untuk berfikir mengenai dua versi teori media—sentrifugal dan sentripetal—masing-masing
dengan posisinya sendiri dalam dimensi evaluasi, sehingga dalam efek terdapat
empat posisi teoretis berbeda yang berkaitan dengan integrasi sosial[5].
1.
Kebebasan, keragaman. Ini adalah versi
optimis dari kecenderungan media yang memiliki efek perpecahan terhadap
masyarakat yang juga membebaskan. Media menyebarkan ide dan informasi baru dan
juga mendorong pergerakan perubahan, dan modernisasi.
2.
Integrasi, solidaritas. Versi optimis dari
efek berlawanan komunikasi massa sebagai penyatu masyarakat, menekankan
kebutuhan akan kepemilikan identitas, kebersamaan, dan kewarganegaraan,
terutama pada kondisi perubahan social.
3.
Tidak ada norma, kehilangan identitas. Pandangan pesimis
dari kebabasan yang luas akan menimbulkan perpecahaan, kehilangana keyakinan,
tercerabut dari masyarakat, dan kehilangan kohesi serta modal sosial.
4.
Dominasi, keseragaman. Masyarakat dapat
menjadi terlalu terintegrasi dan terlalu teratur, mendorong pada pengawasan dan
konformitas pusat dengan media massa sebagai alat yang melakukannya[6].
[1]
Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa,
Salemba Humanika, 2012. Hal 13-14
[2]
Stuart Hall. “The Work of
Representation”. Representation: Cultural Representation and signifying
Practices. Ed. Stuart Hall. London. Sage Publication, 2003. Hal 17.
[3]
Ibid., Hal 25
[4]
Dennis McQuail, Teori Komunikasi Massa,
Salemba Humanika, Jakarta, 2012, Hal. 98.
[5]
Ibid, Hal. 99
[6]
OpCit, Hal. 99-100
sorry kalo boleh tau Ibid itu buku apa ya?
ReplyDelete