Tuesday, November 25, 2014

IDEOLOGI, MEDIA, BUDAYA, dan KONSTRUKSI

IDEOLOGI, MEDIA, BUDAYA, dan KONSTRUKSI,

Ideologi bekerja melalui media untuk memelihara berbagai ketidaksetaraan sosial
Membicarakan tentang konsep ideologi dan media dalam tradisi Marxian, tentunya tidak bisa lepas dari pada kegagalan kaum proletar untuk mewujudkan revolusi dan bahwa materialisme historis ternyata tidak memadai untuk menjelaskan persoalan subjektivitas makna dan politik budaya. Secara sederhana ideologi bermula dari adanya eksplorasi untuk menjawab mengapa ada kapitalisme?. Yang sebenarnya merupakan sistem  relasi sosial ekonomi yang eksploitatif. Marx dan Engels dalam bukunya Chris Barker (Cultural Studies : 2005 p.73) berpendapat, pertama: bahwa gagasan-gagasan yang dominan dalam masyarakat mana pun selalu merupakan gagasan-gagasan kelas penguasa. Kedua, Marx mengatakan bahwa apa yang kita tangkap sebagai karakter asli dari relasi sosial dalam kapitalisme sebenarnya merupakan mistifikasi pasar. Dengan melihat apa yang dikemukakan Marx, maka ideologi bekerja dan berfungsi untuk mengkonstitusi subjek, ideologi turut mereproduksi formasi-formasi sosial dan relasi-relasi kekuasaan, ideologi membawa sebuah kesadaran palsu, penyimpangan (dari kebenaran reaalitas). Contoh kasus : dalam iklan Tolak Angin di media massa baik radio, surat kabar, televisi dan berbagai media massa lainnya. Iklan Tolak Angin dengan mengankaat jargon “Orang Pintar Minum Tolak Angin”. Tampak terlihat jelas bagaimana iklan ditampilkan secara terus menerus, dimana iklan itu memberikan doktrin kepada khalayak untuk akhirnya bisa mengikuti seperti apa yang ditampilkan dalam iklan tersebut. Kesadaran masyarakat yang terpengaruh oleh iklan itulah yang dinamakan kesadaran palsu, penyimpangaan dari realitas yang sebenarnya. Dalam iklan tersebut menyiratkan atau membawa dan menanamkan ideologi semua yang mengkonsumsi  Tolak Angin hanyalaah orang-orang pintar saja, dan orang bodoh saja kalau masuk angin tidak minum Tolak Angin.
Industri budaya menurut Adorno dan Horkheimer!
-          Media dalam sistem industri ini menurut Ardono dan Horkheimer mengarah kapitalis yang selalu berupaya mencapai keuntungan setinggi-tingginya berkonsekuensi logis pada minat kapitalis terhadap kontrol individu.
-          Budaya digunakan untuk mengontrol kesadaran individual maka budaya telah diindustrialisasi dan dikomodifikasi.
-          Cultural industry mengklaim bahwa industri memproduksi budaya untuk memenuhi kebutuhan konsumen terhadap hiburan serta menyajikan apa yang diinginkan konsumen.
-          Komodifikasi budaya yang ditampilkan di layar kaca ini dilakukan dengan menetapkan standarisasi tertentu. Standarisasi menjadi metode utama yang digunakan industry kapitalis dalam memproduksi budaya massa.
-          Muncullah yang disebut sebagai manipulasi kebutuhan konsumen dengan hasil kebutuhan semu atau pseudo needs.
-          Apa yang kita saksikan melalui lembar-lembar majalah, layar televisi, film, atau suara di udara akhir-akhir ini menunjukkan gejala yang serupa.

Masyarakat Modernisme dan Posmodernisme Baudillard
Karakteristik masyarakat Modernisme dan Posmodernisme Baudillard, perhatian utama lebih ditujukan kepada simbol, citra, sistem tanda dan bukan lagi pada manfaat dan harga komoditi. Baudrillard menyatakan kebudayaan postmodern memiliki beberapa ciri menonjol.
-          Pertama, kebudayaan postmodern adalah kebudayaan uang, excremental culture. Uang mendapatkan peran yang sangat penting dalam masyarakat postmodern. Berbeda dengan masa-masa modern, dimana fungsi dan makna uang dalam budaya postmodern tidaklah sekedar sebagai alat-tukar, melainkan lebih dari itu merupakan simbol, tanda dan motif utama berlangsungnya kebudayaan.
-          Kedua, masyarakat kebudayaan postmodern dibandingkan masyarakat kebudayaan modern. Posmodern lebih mengutamakan penanda (signifier), media (medium), fiksi (fiction), sistem tanda (system of signs), serta estetika (aesthetic). Sedangkan budaya modern mengutamakan petanda (signified), pesan (message), fakta (fact), sistem objek (system of objects), etika (ethic).
Kebudayaan postmodern adalah sebuah dunia simulasi, yakni dunia yang terbangun dengan pengaturan tanda, citra dan fakta melalui produksi maupun reproduksi secara tumpang tindih dan berjalin kelindan. Sebagai konsekuensi logis karakter simulasi, budaya postmodern ditandai dengan sifat hiperrealitas, dimana citra dan fakta bertubrukan dalam satu ruang kesadaran yang sama, dan lebih jauh lagi realitas semu (citra) mengalahkan realitas yang sesungguhnya (fakta). Kebudayaan postmodern ditandai dengan meledaknya budaya massa, budaya populer serta budaya media massa. Baudrillard menyatakan bahwa realitas kebudayaan dewasa ini menunjukkan adanya karakter khas yang membedakannya dengan realitas kebudayaan modern masyarakat Barat. Kebudayaan postmodern yang memiliki ciri-ciri hiperrealitas, simulacra dan simulasi, serta  didominasi oleh nilai-tanda dan nilai-simbol. Inilah wacana kebudayaan yang saat ini menghidupi dan sekaligus kita hidupi, sebagai sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditolak. Wacana kebudayaan inilah yang menawarkan tantangan sekaligus peluang bagi kita untuk mulai memperhatikan sisi lain realitas masyarakat dewasa ini. Baudrillard juga mengemukakan era ini merupakan era hiperrealitas, dimana model-model dank kode-kode menentukan pemikiran dan tingkah laku dan dimana media hiburan, informasi, serta komunikasi memberikan pengalaman yang lebih kuat dan melibatkan daripada adegan-adegan kehidupan sehari-hari yang dangkal. Dalam dunia postmodern ini, individu meninggalkan ”gurun yang-nyata” untuk ekstase hiperrealitas dan ranah komputer, media, dan pengalaman teknonogi baru (Douglas Kellner : 1995 p.403-404).

Representasi dan cara media memberikan makna dan mengkonstruksi identitas
Iklan adalah suatu bentuk layanan publik, yang dimana iklan selalu berhubungan secara langsung dengan masyarakat luas. Iklan sendiri membawa berbagai kepantingan yang beragam bagi khalayaknya. Iklan selalu berusaha mengkonstruksi realitas masyarakat dan merepresentasikan sesuatu yang tidak realis/tidak selazimnya di masyarakat. Representasi merupakan sebuah gambaran dari hasil kreativitas seorang copywriter, visualize, art director, typographer, ataupun tim kreatif yang sengaja dibentuk. Bagaimana sebuah realitas ditangkap oleh pembuat iklan untuk kemudian di rekronstruksi menjadi sebuah realitas baru/realitas palsu (hiperrealitas)/dikemas ulang secara berlebih-lebihan. Representasi kultural dan makna memiliki sifat material, itu semua tertanam dan terpampang dalam bentuk, gambar, tulisan, buku, suara, dan audio visual, dan sebagainya. Disinilah lokus konsep konstruksi iklan dan realitas sosial, bahwa realitas sosial dimaksud adalah citra produk yang dikonstruksi oleh iklan dan itu seolah-olah merepresentasi masyarakat yang sebenarnya. Pesan dan konstruksi iklan terutama televisi lebih mudah dilakukan, karena televise mempunyai kekuatan yang lebih disbanding media lain. Konstruksi dibangun menggunakan simbol-simbol kals sosial, symbol-simbol budaya populer; misalnya kemewahaan, kualitas, efektivitas, kenikmatan dan cita rasa, kemudahan, aktualisasi serta simbol budaya populer dan kelas lainnya. Semua ditayangkan secara terus-menerus oleh media sehingga terus mempengaruhi masyarakat atau khalayak untuk mengkonsumsi produk/barang yang di iklankan. Dengan demikian terbentuklah sebuah kesadaran palsu/konstruksi identitas dari masyarakat/khalayak.

Budaya Massa dan Budaya Populer
Budaya Massa adalah sebuah budaya yang sudah bersifat massa/masal, sudah dipabrikasi, sudah menjadi konsumsi dari semua kalangan masyarakat, sudah ada unsur kapitalisme di dalamnya dan konstruksi secara masif demi kepentingaan khalayak/pasar. Budaya massa tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari, sebelum budaya massa menjadi bagian dari masyarakat pasti ada kelompok atau bagian masyarakat yang merancang atau memproduksinya. Bagaimana produk budaya itu sampai ke masyarakat dan produk yang ‘sebagaimana’ itu yang disampaikan kepada masyarakat membutuhkan media atau agen yang menyampaikannya. Contoh kasus : penggunaan kata “WOW” yang awalnya hanya digunakan atau popular di kalangan tertentu saja, akhirnya menjadi sebuah budaya massa yang banyak diadopsi oleh kreator-kreator advertaising dan ditampilkan dalam iklan televisi, media cetak dan media-media lainnya dan hal itu tidak lepas dari kepentingaan keuntungan/kapitalisme yang menghipnotis khalayak ikut mengucapkan kata “WOW”. Selain itu ada juga kata “WOLES” yang pada awalnya juga merupakan kata-kata yang sering diucapkan dan popular oleh kalangan atau komunitas tertentu saja, akan tetapi setelah mulai banyak dibawa ke dalam sinetron salah satunya “Si Biangkerok Cilik”. Pemain-pemain cilik dalam sinetron itu sering mengucapkan kata “WOLES” dengaan intensitas yang bisa dibilang sering. Pada akhirnya anak-anak kecil yang menyaksikaan itu mengikuti apa yang diucapkan tanpa mengetahui apa arti dari kata “WOLES” itu sendiri.
Budaya Populer adalah sebuah budaya yang hanya populer dikalangan tertentu atau wilayah tertentu saja, tidak ada kepentingan pabrikasi, kapitalisme, dan hanya menjadi konsumsi kalangan/komunitas dan wilayah tertentu. Budaya popular merupakan gaya, style, ide, perspektif, dan sikap yang benar-benar berbeda dengan budaya arus utama 'mainstream' (budaya kebanyakan). Budaya populer sering dipandang sepele, rendahan, murahan dan "tidak intelek" jika dibandingkan dengan apa yang disetujui sebagai budaya arus utama. Contoh kasus : Budaya grebeg panjang maulid yang hanya ada dan populer di masyarakat Banten khususnya masyarakat Kota Serang saja. Ritual atau tradisi ini bersifat lokalitas/terbatas kalangan tertentu saja. Contoh budaya populer yang lain misalnya dangdut pantura yang memang hanya populer dan ada di sepanjang jalur pantura saja, dimana ketika orang/masyarakat yang mendengarkan musik dangdut banyak dibilang kelas rendahan dan tidak intelek.

No comments:

Post a Comment


perjalanan