IDEOLOGI, MEDIA, BUDAYA, dan KONSTRUKSI,
Ideologi
bekerja melalui media untuk memelihara berbagai ketidaksetaraan sosial
Membicarakan
tentang konsep ideologi dan media dalam tradisi Marxian, tentunya tidak bisa
lepas dari pada kegagalan kaum proletar untuk mewujudkan revolusi dan bahwa
materialisme historis ternyata tidak memadai untuk menjelaskan persoalan
subjektivitas makna dan politik budaya. Secara sederhana ideologi bermula dari
adanya eksplorasi untuk menjawab mengapa ada kapitalisme?. Yang sebenarnya
merupakan sistem relasi sosial ekonomi
yang eksploitatif. Marx dan Engels dalam bukunya Chris Barker (Cultural Studies
: 2005 p.73) berpendapat, pertama: bahwa gagasan-gagasan yang dominan dalam
masyarakat mana pun selalu merupakan gagasan-gagasan kelas penguasa. Kedua,
Marx mengatakan bahwa apa yang kita tangkap sebagai karakter asli dari relasi
sosial dalam kapitalisme sebenarnya merupakan mistifikasi pasar. Dengan melihat
apa yang dikemukakan Marx, maka ideologi bekerja dan berfungsi untuk
mengkonstitusi subjek, ideologi turut mereproduksi formasi-formasi sosial dan
relasi-relasi kekuasaan, ideologi membawa sebuah kesadaran palsu, penyimpangan
(dari kebenaran reaalitas). Contoh kasus : dalam iklan Tolak Angin di media
massa baik radio, surat kabar, televisi dan berbagai media massa lainnya. Iklan
Tolak Angin dengan mengankaat jargon “Orang Pintar Minum Tolak Angin”. Tampak
terlihat jelas bagaimana iklan ditampilkan secara terus menerus, dimana iklan
itu memberikan doktrin kepada khalayak untuk akhirnya bisa mengikuti seperti
apa yang ditampilkan dalam iklan tersebut. Kesadaran masyarakat yang
terpengaruh oleh iklan itulah yang dinamakan kesadaran palsu, penyimpangaan
dari realitas yang sebenarnya. Dalam iklan tersebut menyiratkan atau membawa
dan menanamkan ideologi semua yang mengkonsumsi
Tolak Angin hanyalaah orang-orang pintar saja, dan orang bodoh saja
kalau masuk angin tidak minum Tolak Angin.
Industri
budaya menurut Adorno dan Horkheimer!
-
Media dalam sistem industri ini menurut
Ardono dan Horkheimer mengarah kapitalis yang selalu berupaya mencapai
keuntungan setinggi-tingginya berkonsekuensi logis pada minat kapitalis
terhadap kontrol individu.
-
Budaya digunakan untuk mengontrol
kesadaran individual maka budaya telah diindustrialisasi dan dikomodifikasi.
-
Cultural industry mengklaim bahwa industri
memproduksi budaya untuk memenuhi kebutuhan konsumen terhadap hiburan serta
menyajikan apa yang diinginkan konsumen.
-
Komodifikasi budaya yang ditampilkan di
layar kaca ini dilakukan dengan menetapkan standarisasi tertentu. Standarisasi
menjadi metode utama yang digunakan industry kapitalis dalam memproduksi budaya
massa.
-
Muncullah yang disebut sebagai
manipulasi kebutuhan konsumen dengan hasil kebutuhan semu atau pseudo
needs.
-
Apa yang kita saksikan melalui
lembar-lembar majalah, layar televisi, film, atau suara di udara akhir-akhir
ini menunjukkan gejala yang serupa.
Masyarakat Modernisme dan Posmodernisme Baudillard
Karakteristik masyarakat Modernisme dan Posmodernisme
Baudillard, perhatian utama lebih ditujukan
kepada simbol, citra, sistem tanda dan bukan lagi pada manfaat dan harga
komoditi. Baudrillard menyatakan kebudayaan postmodern memiliki
beberapa ciri menonjol.
-
Pertama, kebudayaan
postmodern adalah kebudayaan uang, excremental
culture. Uang mendapatkan peran yang sangat penting dalam masyarakat
postmodern. Berbeda dengan masa-masa modern, dimana fungsi dan makna uang dalam
budaya postmodern tidaklah sekedar sebagai alat-tukar, melainkan lebih dari itu
merupakan simbol, tanda dan motif utama berlangsungnya kebudayaan.
-
Kedua, masyarakat kebudayaan
postmodern dibandingkan masyarakat kebudayaan modern. Posmodern lebih
mengutamakan penanda (signifier), media
(medium), fiksi (fiction), sistem tanda (system
of signs), serta estetika (aesthetic).
Sedangkan budaya modern mengutamakan petanda (signified), pesan (message),
fakta (fact), sistem objek (system of objects), etika (ethic).
Kebudayaan postmodern adalah sebuah dunia simulasi,
yakni dunia yang terbangun dengan pengaturan tanda, citra dan fakta melalui
produksi maupun reproduksi secara tumpang tindih dan berjalin kelindan. Sebagai
konsekuensi logis karakter simulasi, budaya postmodern ditandai dengan sifat
hiperrealitas, dimana citra dan fakta bertubrukan dalam satu ruang kesadaran
yang sama, dan lebih jauh lagi realitas semu (citra) mengalahkan realitas yang
sesungguhnya (fakta). Kebudayaan postmodern ditandai dengan meledaknya budaya
massa, budaya populer serta budaya media massa. Baudrillard menyatakan bahwa
realitas kebudayaan dewasa ini menunjukkan adanya karakter khas yang membedakannya
dengan realitas kebudayaan modern masyarakat Barat. Kebudayaan postmodern yang
memiliki ciri-ciri hiperrealitas, simulacra dan simulasi, serta
didominasi oleh nilai-tanda dan nilai-simbol. Inilah wacana kebudayaan
yang saat ini menghidupi dan sekaligus kita hidupi, sebagai sebuah keniscayaan
yang tidak dapat ditolak. Wacana kebudayaan inilah yang menawarkan tantangan
sekaligus peluang bagi kita untuk mulai memperhatikan sisi lain realitas
masyarakat dewasa ini. Baudrillard juga mengemukakan era ini merupakan era
hiperrealitas, dimana model-model dank kode-kode menentukan pemikiran dan
tingkah laku dan dimana media hiburan, informasi, serta komunikasi memberikan
pengalaman yang lebih kuat dan melibatkan daripada adegan-adegan kehidupan
sehari-hari yang dangkal. Dalam dunia postmodern ini, individu meninggalkan ”gurun
yang-nyata” untuk ekstase hiperrealitas dan ranah komputer, media, dan
pengalaman teknonogi baru (Douglas Kellner : 1995 p.403-404).
Representasi dan cara media memberikan makna dan
mengkonstruksi identitas
Iklan adalah suatu bentuk layanan
publik, yang dimana iklan selalu berhubungan secara langsung dengan masyarakat
luas. Iklan sendiri membawa berbagai kepantingan yang beragam bagi khalayaknya.
Iklan selalu berusaha mengkonstruksi realitas masyarakat dan merepresentasikan
sesuatu yang tidak realis/tidak selazimnya di masyarakat. Representasi
merupakan sebuah gambaran dari hasil kreativitas seorang copywriter, visualize, art director, typographer, ataupun tim
kreatif yang sengaja dibentuk. Bagaimana sebuah realitas ditangkap oleh pembuat
iklan untuk kemudian di rekronstruksi menjadi sebuah realitas baru/realitas palsu
(hiperrealitas)/dikemas ulang secara berlebih-lebihan. Representasi kultural
dan makna memiliki sifat material, itu semua tertanam dan terpampang dalam
bentuk, gambar, tulisan, buku, suara, dan audio visual, dan sebagainya. Disinilah
lokus konsep konstruksi iklan dan realitas sosial, bahwa realitas sosial dimaksud
adalah citra produk yang dikonstruksi oleh iklan dan itu seolah-olah
merepresentasi masyarakat yang sebenarnya. Pesan dan konstruksi iklan terutama televisi
lebih mudah dilakukan, karena televise mempunyai kekuatan yang lebih disbanding
media lain. Konstruksi dibangun menggunakan simbol-simbol kals sosial,
symbol-simbol budaya populer; misalnya kemewahaan, kualitas, efektivitas,
kenikmatan dan cita rasa, kemudahan, aktualisasi serta simbol budaya populer
dan kelas lainnya. Semua ditayangkan secara terus-menerus oleh media sehingga
terus mempengaruhi masyarakat atau khalayak untuk mengkonsumsi produk/barang
yang di iklankan. Dengan demikian terbentuklah sebuah kesadaran
palsu/konstruksi identitas dari masyarakat/khalayak.
Budaya Massa dan Budaya Populer
Budaya
Massa adalah
sebuah budaya yang sudah bersifat massa/masal, sudah dipabrikasi, sudah menjadi
konsumsi dari semua kalangan masyarakat, sudah ada unsur kapitalisme di
dalamnya dan konstruksi secara masif demi kepentingaan khalayak/pasar. Budaya
massa tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari, sebelum budaya massa
menjadi bagian dari masyarakat pasti ada kelompok atau bagian masyarakat yang
merancang atau memproduksinya. Bagaimana produk budaya itu sampai ke masyarakat
dan produk yang ‘sebagaimana’ itu yang disampaikan kepada masyarakat
membutuhkan media atau agen yang menyampaikannya. Contoh kasus : penggunaan kata
“WOW” yang awalnya hanya digunakan atau popular di kalangan tertentu saja,
akhirnya menjadi sebuah budaya massa yang banyak diadopsi oleh kreator-kreator
advertaising dan ditampilkan dalam iklan televisi, media cetak dan media-media
lainnya dan hal itu tidak lepas dari kepentingaan keuntungan/kapitalisme yang
menghipnotis khalayak ikut mengucapkan kata “WOW”. Selain itu ada juga kata
“WOLES” yang pada awalnya juga merupakan kata-kata yang sering diucapkan dan
popular oleh kalangan atau komunitas tertentu saja, akan tetapi setelah mulai
banyak dibawa ke dalam sinetron salah satunya “Si Biangkerok Cilik”.
Pemain-pemain cilik dalam sinetron itu sering mengucapkan kata “WOLES” dengaan
intensitas yang bisa dibilang sering. Pada akhirnya anak-anak kecil yang
menyaksikaan itu mengikuti apa yang diucapkan tanpa mengetahui apa arti dari
kata “WOLES” itu sendiri.
Budaya
Populer adalah
sebuah budaya yang hanya populer dikalangan tertentu atau wilayah tertentu
saja, tidak ada kepentingan pabrikasi, kapitalisme, dan hanya menjadi konsumsi
kalangan/komunitas dan wilayah tertentu. Budaya popular merupakan
gaya, style, ide, perspektif, dan sikap yang benar-benar berbeda dengan budaya
arus utama 'mainstream' (budaya kebanyakan). Budaya populer sering dipandang
sepele, rendahan, murahan dan "tidak intelek" jika dibandingkan
dengan apa yang disetujui sebagai budaya arus utama. Contoh kasus : Budaya grebeg panjang
maulid yang hanya ada dan populer di masyarakat Banten khususnya masyarakat
Kota Serang saja. Ritual atau tradisi ini bersifat lokalitas/terbatas kalangan
tertentu saja. Contoh budaya populer yang lain misalnya dangdut pantura yang
memang hanya populer dan ada di sepanjang jalur pantura saja, dimana ketika
orang/masyarakat yang mendengarkan musik dangdut banyak dibilang kelas rendahan
dan tidak intelek.
No comments:
Post a Comment