Saturday, July 14, 2012

continuity part II


2
TERDENGAR LAGI SUARA TANGIS

Tahun ajaran baru 1993/1994  baru saja akan dimulai, saat itu Mirad baru masuk ke SMP, Sigit naik kelas 5 SD dan Yani adiknya naik kelas 3 SD. Tiba-tiba sunyinya fajar pagi terpecah oleh suara teriakan keras dari Misran yang baru pulang dari ronda dan mendapati Painah istrinya tergulai lemah ditempat tidur sambil memeluk Sigit dan Yani. Tolong…!!! tolong…!!! tolong…!!! suara itu seakan membelah penjuru dunia, merontokkan jiwa dan melemahkan semangat hidup. Seketika itu juga semua warga terbangun dan menghampiri rumah Misran. Innalillahi Wa Innaillaihi Roji’un, hati dan jiwa terasa tersambar petir. Painah istri dari Misran, ibu dari Mirad, Sigit dan Yani telah dipanggil menghadap sang Khalik.
Kabar itu mengejutkan semua keluarga besar, tanpa sakit dan tak ada tanda-tanda apapun sebelumnya.
Sigit masih teringat malam itu sebelum tidur ibunya berpesan “Le adimu dijogo yo! Ojo tok tinggal nek hurung ngadeg dewe” yang artinya “Nak jaga adikmu, jangan ditinggal kalau belum bisa berdiri sendiri (berkeluarga). Tak ada air mata menetes dari mata Sigit, yang ada hanya bengong seperti orang ling-lung melihat keramaian banyak orang dan keluarga besar yang berkumpul di rumahnya.
Pagi itu Sigit dengan polosnya pergi menuju sekolah dan minta ijin pada salah satu gurunya yang bernama Pak Mur, “maaf pak saya tiddak bisa masuk sekolah karena ibu saya meninggal”. Setelah minta ijin tidak masuk sekolah, Sigit kembali menuju rumahnya dan hanya terdiam mengangkat tangan diatas kepalanya sambil menatap jenazah ibunya yang terbungkus kain kafan.
Sejak saat itu jarang lagi terlihat senyum ceria, dan canda tawa di rumah. Pulang sekolah Sigit selalu menggembala kambing dan mencari rumput untuk persediaan makan kambingnya. Waktu bermainpun semakin habis dan hilang, karena hanya dari kambing itu yang bisa diharapkan untuk membiayai sekolah. Disela-sela waktu Sigit juga tak jarang membantu ayahnya menyiangi rumput penganggu tanaman padi milik tetangga. Sungguh sebuah ironi ketika tangan lembut anak-anak harus merasakan kerasnya hidup di dunia.
Tidak jarang Sigit menjadi bahan olok-olokan teman-temannya di sekolah. “Hei anak g punya ibu, ngapain kamu sekolah?”, begitu pedih ketika harus mendengar itu. Belum dari tetangga-tetangga yang acap kali menyepelekan, memandang sebelah mata, dan mencibir Sigit. “Ngapain kamu sekolah? Memangnya punya uang, bapakmu itu cuma buruh kasar disawah, sudah nggak perlu sekolah”.
Karena dengan banyaknya cemoohan dari teman-teman ataupun tetangga-tetangganya, hal itu tidaklah melemahkan semangat dari Sigit. Akan tetapi itu semua dijadikan cambuk api untuk nantinya bisa memperlihatkan Sigit juga bisa sukses, bisa berhasil melebihi dari orang-orang yang menagnggapnya tidak layak mengenyam pindidikan tinggi. Watak yang kalem, pendirian yang teguh, dan suka bekerja keras itu yang Sigit tanamkan pada diriya sendiri.
Semua yang dialami Sigit di luar rumah itu tidak pernah diceritakan sama Ayah ataupun adikny. Sigit menyimpan pedihnya sendiri dan menjadikan itu sebagai pemicu dalam perjalananny untuk bisa mewujudka itu mimpi-mimpinya. Sementara itu semenjak Painah meningal, Misran berjuang untuk menghidupi keluarganya. Misran tidak pernah lagi memikirkan kesenangan-kesenangan untuk dirinya sendiri, yang ada dibenaknya hanyalah bagaimana anak-anaknya bisa mengenyam pendidikan dengan layak selayaknya anak-anak kebanyakan yang bisa merasakan pendidikan.

No comments:

Post a Comment


perjalanan