2
TERDENGAR LAGI SUARA TANGIS
Tahun
ajaran baru 1993/1994 baru saja akan
dimulai, saat itu Mirad baru masuk ke SMP, Sigit naik kelas 5 SD dan Yani
adiknya naik kelas 3 SD. Tiba-tiba sunyinya fajar pagi terpecah oleh suara
teriakan keras dari Misran yang baru pulang dari ronda dan mendapati Painah
istrinya tergulai lemah ditempat tidur sambil memeluk Sigit dan Yani.
Tolong…!!! tolong…!!! tolong…!!! suara itu seakan membelah penjuru dunia,
merontokkan jiwa dan melemahkan semangat hidup. Seketika itu juga semua warga
terbangun dan menghampiri rumah Misran. Innalillahi Wa Innaillaihi Roji’un,
hati dan jiwa terasa tersambar petir. Painah istri dari Misran, ibu dari Mirad,
Sigit dan Yani telah dipanggil menghadap sang Khalik.
Kabar
itu mengejutkan semua keluarga besar, tanpa sakit dan tak ada tanda-tanda
apapun sebelumnya.
Sigit
masih teringat malam itu sebelum tidur ibunya berpesan “Le adimu dijogo yo! Ojo tok tinggal nek hurung ngadeg dewe” yang
artinya “Nak jaga adikmu, jangan ditinggal kalau belum bisa berdiri sendiri
(berkeluarga). Tak ada air mata menetes dari mata Sigit, yang ada hanya bengong
seperti orang ling-lung melihat keramaian banyak orang dan keluarga besar yang
berkumpul di rumahnya.
Pagi
itu Sigit dengan polosnya pergi menuju sekolah dan minta ijin pada salah satu
gurunya yang bernama Pak Mur, “maaf pak saya tiddak bisa masuk sekolah karena
ibu saya meninggal”. Setelah minta ijin tidak masuk sekolah, Sigit kembali
menuju rumahnya dan hanya terdiam mengangkat tangan diatas kepalanya sambil
menatap jenazah ibunya yang terbungkus kain kafan.
Sejak
saat itu jarang lagi terlihat senyum ceria, dan canda tawa di rumah. Pulang
sekolah Sigit selalu menggembala kambing dan mencari rumput untuk persediaan
makan kambingnya. Waktu bermainpun semakin habis dan hilang, karena hanya dari
kambing itu yang bisa diharapkan untuk membiayai sekolah. Disela-sela waktu
Sigit juga tak jarang membantu ayahnya menyiangi rumput penganggu tanaman padi
milik tetangga. Sungguh sebuah ironi ketika tangan lembut anak-anak harus
merasakan kerasnya hidup di dunia.
Tidak
jarang Sigit menjadi bahan olok-olokan teman-temannya di sekolah. “Hei anak g
punya ibu, ngapain kamu sekolah?”, begitu pedih ketika harus mendengar itu.
Belum dari tetangga-tetangga yang acap kali menyepelekan, memandang sebelah
mata, dan mencibir Sigit. “Ngapain kamu sekolah? Memangnya punya uang, bapakmu
itu cuma buruh kasar disawah, sudah nggak perlu sekolah”.
Karena
dengan banyaknya cemoohan dari teman-teman ataupun tetangga-tetangganya, hal
itu tidaklah melemahkan semangat dari Sigit. Akan tetapi itu semua dijadikan
cambuk api untuk nantinya bisa memperlihatkan Sigit juga bisa sukses, bisa
berhasil melebihi dari orang-orang yang menagnggapnya tidak layak mengenyam
pindidikan tinggi. Watak yang kalem, pendirian yang teguh, dan suka bekerja
keras itu yang Sigit tanamkan pada diriya sendiri.
Semua yang dialami Sigit di luar rumah itu tidak
pernah diceritakan sama Ayah ataupun adikny. Sigit menyimpan pedihnya sendiri
dan menjadikan itu sebagai pemicu dalam perjalananny untuk bisa mewujudka itu
mimpi-mimpinya. Sementara itu semenjak Painah meningal, Misran berjuang untuk
menghidupi keluarganya. Misran tidak pernah lagi memikirkan
kesenangan-kesenangan untuk dirinya sendiri, yang ada dibenaknya hanyalah
bagaimana anak-anaknya bisa mengenyam pendidikan dengan layak selayaknya
anak-anak kebanyakan yang bisa merasakan pendidikan.
No comments:
Post a Comment