Thursday, July 12, 2012

STRUNGGLE (judul sementara)


1
TANGIS BAYI DI DESA PELEMSEWU

        Pada tanggal 16 November 1982, terdengar suara tangis bayi yang begitu keras di rumah seorang dukun beranak. Suara tangis bayi laki-laki yang seakan membahana itu seperti menggambarkan betapa beratnya tantangan hidup di dunia. Akan tetapi kelahiran seorang anak manusia, makhluk apapun, atau tumbuhnya pepohonan itu adalah kehendak dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
       Seorang bayi laki-laki yang lahir dari rahim seorang ibu bernama Painah itu adalah putera kedua. Ayah dari sang bayi ini Misran alias Sudiwiarjo Kemudian bayi itu diberi nama Sigit Surahman yang artinya “Sigit = Bagos, Surahman = Seorang laki-laki yang lahir di bulan Suro”. Tangis bahagia mengiringi haadirnya sang bayi. Painah yang seorang pedagang makanan olahan dari singkong di sebuah pasar rakyat. Misran seorang buruh tani yang menggantungkan panggilan dari orang yang membutuhkan tenaganya untuk menggarap sawah. Keluarga ini tinggal di Desa Pelemsewu Panggungharjo Sewon Bantul Yogyakarta. Sebuah desa kecil yang cukup jauh dari pusat kota di Yogyakarta.
         Rasa suka cita dari kedua orang tua sang bayi, begitu terpancar dari raut wajah maasing-masing. Kedua orang tua sang bayi menaruh harapan agar kelak puteranya menjadi orang yang tegar, kuat menjalani hidup yang keras, dan berguna bagi Bangsa Indonesia.  Harapan yang sangat dalam dan besar selalu begitu mengalir salam setiap do’a mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar kelak Sigit –begitu besar kemudian sang bayi selalu disapa setelah selesai dalam do’anya – kelak memiliki pendirian yang teguh, punya prinsip, tidak mudah menyerah, berani, sekaligus taqwa kepada ALLAH SWT. Harapan yang seperti itu agaknya tidak akan terlalu jauh berbeda dari setiap orang tua untuk anak-anaknya. Kakak dari Sigit, laki-laki bernama Miradiyono, kemudian tiga tahun kemudian lahirlah seorang adik yang diberi nama Tri Mulyani.
        Dari usia di bawah lima tahun hingga masa anak-anak, Sigit tumbuh normal sebagaimana layaknya anak-anak seusianya. Ia ikut bermain sama teman-teman sebayanya, seperti petak umpet, kejar-kejaran, gobag sodor dan lain sebagainya. Hidup di desa keluarga Misran tidaklah lepas dari kekurangan-kekurangan ekonomi, terlebih dari hasil buruh dan jualan makanan olahan yang tidak seberapa. Ya keluarga Sigit bukanlah dari kalangan orang yang berada dan berlimpah harta. Akan tetapi itu semua selalu di syukuri oleh Misran dan Painah yang bisa tetap membahagiakan anak-anaknya dengan segala kekurangan yang ada.
       Akibat dari itu tidak jarang waktu bermain dari Mirad, Sigit, banyak berkurang, karena disela-sela waktu bermain harus turut membantu kedua orang tuanya. Dari sekedar mengupas singkong untuk ibunya, sisir batu bata di sawah membantu ayahnya. Batu bata yang dibuat ayahnya itu akan digunakan untuk membangun rumah sendiri, karena pada saat itu masih tinggal satu rumah dengan orang tua dari ayah yang bernama Martodimejo dan Adi Giyah.
       Sekian tahun menabung, mengencangkan ikat pinggang, dan mengesampingkan untuk kesenangan-kesenangan Misran dan Painah akhirnya bisa membangun rumah sendiri di atas tanah seluas kurang lebih 150m² di sebuah desa yang bernama Saraban yang berjarak kurang lebih 6km dari desa Pelemsewu. Selama kurang lebih 6 bulan rumah itu dibangun akhirnya selesai juga dan bisa ditempati, kendati masih beralaskan tanah. Keluarga Misran pun akhirnya pindah ke rumah barunya pada tahun 1988. Saat itu Sigit masih duduk di bangu TK, suasana senang dan ceria terpancar diraut wajah Misran, Painah dan ketiga anaknya karena menempati rumah baru. Pada saat itu listrik belum terpasang dan masih menggunakan lampu minyak sebagai penerangnya.
       Setiap pagi sebelum Painah pergi berjualan, dimeja makan tidak pernah terlewatkan menu sarapan nasi putih hangat dan tempe goreng sebagai menu sarapan Sigit bersama kakak dan adiknya. Karena saat itu  Sigit sudah belajar di TK, setiap pagi Sigit menyusuri rel kereta pengangkut tebu bersama teman-teman TK nya yang bernama, Fitri, Slamet, dan Rina. Mereka setiap pagi berjalan kurang lebih 6 km untuk menuju ke TK Pertiwi 62 yang ada di kantor kelurahan Panggungharjo. Tidak hanya berangkatnya saja, ketika pulangpun Sigit dan teman-temanya berjalan lagi menyusuri rel kereta pengangkut tebu.
       Suatu ketika Sigit memuji ibunya “mamak ki ayu tenan yo” yang artinya “ibu itu cantik ya”. Seketika itu juga ibunya berpesan pada Sigit dan mengatakan sesuatu “ati-ati yo le ayu rupo kuwi ora iso dadi jaminan, tambah ayu rupo tambah banget-nek ngelarani” yang artinya “wajah cantik tidak bisa jadi jaminan, semakin cantik wajah semakin tega kalau menyakiti”. Lalu Painah memeluk Sigit dengan erat dan penuh kasih sayang seraya berkata “sek penting urip jujur lan ojo gawe cuwo penggalih ing liyan” yang artinya “yang penting hidup jujur dan sebisa mungkin jangan membuat sakit hati orang lain”. Saat itu Sigit baru berusia 7 tahun dan tidak memahami apa arti dari itu semua.
        Tahun 1990 Sigit masuk sekolah dasar di SD Negeri Sewon II, hari demi hari dilalui dengan ceria. Hingga suatu ketika sigit duduk di bangku SD kelas 4 terpilih untuk ikut mewakili SDN Sewon II diajang lomba senam SKJ tingkat Kecamatan. Hal itu memberikan semangat baru bagi Sigit untuk terus membahagiakan orang tuanya. Tidak lama setelah ikut mewakili lomba senam SKJ, Sigit kembali terpilih untuk ikut latihan menjadi dokter kecil SD di Puskesmas Sewon. Semangat belajar Sigit pun semakin bertambah karenan bisa memberikan kebanggaan untuk ibunya.  

No comments:

Post a Comment


perjalanan