1
TANGIS BAYI DI DESA PELEMSEWU
Pada
tanggal 16 November 1982, terdengar suara tangis bayi yang begitu keras di
rumah seorang dukun beranak. Suara tangis bayi laki-laki yang seakan membahana
itu seperti menggambarkan betapa beratnya tantangan hidup di dunia. Akan tetapi
kelahiran seorang anak manusia, makhluk apapun, atau tumbuhnya pepohonan itu
adalah kehendak dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Seorang
bayi laki-laki yang lahir dari rahim seorang ibu bernama Painah itu adalah
putera kedua. Ayah dari sang bayi ini
Misran alias Sudiwiarjo Kemudian bayi itu diberi nama Sigit Surahman yang
artinya “Sigit = Bagos, Surahman = Seorang laki-laki yang lahir di bulan Suro”.
Tangis bahagia mengiringi haadirnya sang bayi. Painah yang seorang pedagang
makanan olahan dari singkong di sebuah pasar rakyat. Misran seorang buruh tani
yang menggantungkan panggilan dari orang yang membutuhkan tenaganya untuk
menggarap sawah. Keluarga ini tinggal di Desa Pelemsewu Panggungharjo Sewon
Bantul Yogyakarta. Sebuah desa kecil yang cukup jauh dari pusat kota di
Yogyakarta.
Rasa
suka cita dari kedua orang tua sang bayi, begitu terpancar dari raut wajah
maasing-masing. Kedua orang tua sang bayi menaruh harapan agar kelak puteranya
menjadi orang yang tegar, kuat menjalani hidup yang keras, dan berguna bagi
Bangsa Indonesia. Harapan yang sangat
dalam dan besar selalu begitu mengalir salam setiap do’a mereka kepada Tuhan
Yang Maha Esa, agar kelak Sigit –begitu besar kemudian sang bayi selalu disapa
setelah selesai dalam do’anya – kelak memiliki pendirian yang teguh, punya
prinsip, tidak mudah menyerah, berani, sekaligus taqwa kepada ALLAH SWT.
Harapan yang seperti itu agaknya tidak akan terlalu jauh berbeda dari setiap
orang tua untuk anak-anaknya. Kakak dari Sigit, laki-laki bernama Miradiyono, kemudian
tiga tahun kemudian lahirlah seorang adik yang diberi nama Tri Mulyani.
Dari
usia di bawah lima tahun hingga masa anak-anak, Sigit tumbuh normal sebagaimana
layaknya anak-anak seusianya. Ia ikut bermain sama teman-teman sebayanya,
seperti petak umpet, kejar-kejaran, gobag sodor dan lain sebagainya. Hidup di
desa keluarga Misran tidaklah lepas dari kekurangan-kekurangan ekonomi,
terlebih dari hasil buruh dan jualan makanan olahan yang tidak seberapa. Ya
keluarga Sigit bukanlah dari kalangan orang yang berada dan berlimpah harta.
Akan tetapi itu semua selalu di syukuri oleh Misran dan Painah yang bisa tetap
membahagiakan anak-anaknya dengan segala kekurangan yang ada.
Akibat
dari itu tidak jarang waktu bermain dari Mirad, Sigit, banyak berkurang, karena
disela-sela waktu bermain harus turut membantu kedua orang tuanya. Dari sekedar
mengupas singkong untuk ibunya, sisir batu bata di sawah membantu ayahnya. Batu
bata yang dibuat ayahnya itu akan digunakan untuk membangun rumah sendiri,
karena pada saat itu masih tinggal satu rumah dengan orang tua dari ayah yang
bernama Martodimejo dan Adi Giyah.
Sekian
tahun menabung, mengencangkan ikat pinggang, dan mengesampingkan untuk
kesenangan-kesenangan Misran dan Painah akhirnya bisa membangun rumah sendiri
di atas tanah seluas kurang lebih 150m² di sebuah desa yang bernama Saraban
yang berjarak kurang lebih 6km dari desa Pelemsewu. Selama kurang lebih 6 bulan
rumah itu dibangun akhirnya selesai juga dan bisa ditempati, kendati masih
beralaskan tanah. Keluarga Misran pun akhirnya pindah ke rumah barunya pada
tahun 1988. Saat itu Sigit masih duduk di bangu TK, suasana senang dan ceria
terpancar diraut wajah Misran, Painah dan ketiga anaknya karena menempati rumah
baru. Pada saat itu listrik belum terpasang dan masih menggunakan lampu minyak
sebagai penerangnya.
Setiap
pagi sebelum Painah pergi berjualan, dimeja makan tidak pernah terlewatkan menu
sarapan nasi putih hangat dan tempe goreng sebagai menu sarapan Sigit bersama
kakak dan adiknya. Karena saat itu Sigit
sudah belajar di TK, setiap pagi Sigit menyusuri rel kereta pengangkut tebu
bersama teman-teman TK nya yang bernama, Fitri, Slamet, dan Rina. Mereka setiap
pagi berjalan kurang lebih 6 km untuk menuju ke TK Pertiwi 62 yang ada di
kantor kelurahan Panggungharjo. Tidak hanya berangkatnya saja, ketika pulangpun
Sigit dan teman-temanya berjalan lagi menyusuri rel kereta pengangkut tebu.
Suatu
ketika Sigit memuji ibunya “mamak ki ayu
tenan yo” yang artinya “ibu itu cantik ya”. Seketika itu juga ibunya
berpesan pada Sigit dan mengatakan sesuatu “ati-ati
yo le ayu rupo kuwi ora iso dadi jaminan, tambah ayu rupo tambah banget-nek
ngelarani” yang artinya “wajah cantik tidak bisa jadi jaminan, semakin
cantik wajah semakin tega kalau menyakiti”. Lalu Painah memeluk Sigit dengan
erat dan penuh kasih sayang seraya berkata “sek
penting urip jujur lan ojo gawe cuwo penggalih ing liyan” yang artinya
“yang penting hidup jujur dan sebisa mungkin jangan membuat sakit hati orang
lain”. Saat itu Sigit baru berusia 7 tahun dan tidak memahami apa arti dari itu
semua.
Tahun 1990 Sigit masuk sekolah dasar di SD Negeri Sewon II, hari demi hari dilalui dengan ceria. Hingga suatu ketika sigit duduk di bangku SD kelas 4 terpilih untuk ikut mewakili SDN Sewon II diajang lomba senam SKJ tingkat Kecamatan. Hal itu memberikan semangat baru bagi Sigit untuk terus membahagiakan orang tuanya. Tidak lama setelah ikut
mewakili lomba senam SKJ, Sigit kembali terpilih untuk ikut latihan menjadi
dokter kecil SD di Puskesmas Sewon. Semangat belajar Sigit pun semakin
bertambah karenan bisa memberikan kebanggaan untuk ibunya.
No comments:
Post a Comment