4.5. Konsep Tata Suara
Berbicara
tentang film terkadang suara sering dianggap nomor sekian dan lebih
mengutamakan gambar. Sebenarnya ketika membicarakan karya audio-visual,
keduanya selalu dimunculkan. Faktor suara juga sama pentingnya untuk menguatkan
gambar yang ditampilkan. Dokumenter gaya expository/eksposisi suara dari
narator akan manjadi dominan, karena ini narator sebagai penutur tunggal secara
keseluruhan dalam dokumenter, artinya narator disebut sebagai voice of God. Narasi sangat penting sebagai benang merah dari statement
narasumber serta penghubung diantara
segmen-segmen program, selain itu narasi juga difungsikan sebagai penutur
tunggal yang tentunya membutuhkan dukungan visual, stock footage
dan statement dari narasumber.
An initial planning stage for the composer is to decide what
progression of keys to use through the film, based on the emotional logic of
the story itself. Especially when one kind of music takes over as a commentary
upon another, the key of the one following must be related so that the
transition is not jarring. This is true for all adjacent music sections, not
just original scoring. A film may contain popular songs that the participants
listen to in their car, and scored music must be appropriate in key. Any sound
that is a part of their world is called diegetic sound.
Unsur
suara lain yang perlu diperhatikan adalah ilustrasi musik yang nantinya juga
turut mendukung dan membalut mood dari keseluruhan kemasan dokumenter
ini. Beat yang menyesuaikan alur cerita dokumenter dengan penggunaan
alat musik tradisional (gamelan) dan alunan gending Jawa menjadi
pengiring disepanjang program, karena sutradara menggunakan musik untuk membalut
alur cerita dokumenter dan
mengkondisikan mood penonton agar tidak merasakan bosan.
Following may be the film’s music, which of course the characters do
not hear or react to, because this is part of the film’s authorial commentary
and addressed to the audience. This is called non-diegetic sound.
4.6. Konsep Editing
Editing
pada proses pascaproduksi merupakan finishing yang sangat penting dalam sebuah produksi audio-visual.
Proses editing ini mengacu pada susunan treatment yang sebelumnya telah
dibuat oleh sutradara atau penulis naskah berdasarkan riset awal, hal ini
dimaksudkan agar alur yang diinginkan terbangun/tersusun sesuai dengan konsep
awal. Konsep editing dari dokumenter ini sendiri lebih cenderung menggunakan evidentiary
editing yang menyusun dan menghadirkan pemotongan gambar-gambar sebagai
pendukung dari argumen-argumen maupun narasi untuk lebih meyakinkan.
Konsep
editing evidentiary ini akan didukung dengan teknik editing kompilasi
untuk mempermudah penyampaian isi pesannya. Teknik editing ini dirasa cocok
diterapkan pada program dokumenter ini, karena teknik editing kompilasi adalah
teknik pemotongan-pemotongan gambar yang disusun berdasar editing script
dan tidak terikat pada kontinuitas gambar, akan tetapi mendukung narasi dan statement.
Teknik editing ini didukung suara yang dihubungkan oleh narasi secara
berkesinambungan, narasi merangkum penuturan dan membentuk alur cerita yang
sebelumnya hanya punya sedikit kemampuan untuk mempengaruhi pemirsa jika
disajikan tanpa penjelasan suara.
They register defeat and prepare for the film’s solution: planned,
green belt communities editing evidentiary. Instead of organizing cuts within a
scene to present a sense of a single, unified time and space in which we follow
the actions of central characters, evidentiary editing organizes cuts within a
scene to present the impression of a single, convincing argument supported by a
logic. Instead of cutting from one shot of a character approaching a door to a
second shot of the same character entering the room on the far side of the
door, a more typical documentary film cut would be from a close-up of a bottle
of champagne being broken across the bow of ship to a long shot of a ship,
perhaps an entirely different ship, being launched into the sea. The two shots
may have been made years or continents apart, but they contribute to the
representation of a single process rather than the development of an individual
character.
4.7. Konsep Teknis
Secara
keseluruhan pengambilan gambar dalam dokumenter “Di Balik Sosok Hanoman dalam
Sendratari Ramayana Prambanan” ini menggunakan konsep single kamera.
Pengambilan stock shot gambar kegiatan dilakukan dengan tripod
maupun tanpa tripod, hal ini lebih
mengacu pada kebutuhan stock shot gambar.
In single-system shoots, you still need to log your material as you go
by content and timecode (a unique time signature for every frame). Then, using
log and high-speed scan, a chosen section can be rapidly located for viewing
during production. This is invaluable on location when time spent reviewing
tape is often stolen from much-needed rest.
Pada
pengambilan gambar saat wawancara, untuk menjaga kestabilan hasil pengambilan
gambar akan lebih banyak menggunakan tripod. Komposisi pengambilan stock
shot gambar pada waktu latihan, persiapan pementasan, pementasan, kegiatan
Joko Pamungkas, dan lain-lain lebih banyak menggunakan variasi tipe shot,
seperti medium shot, close up, full shot, dan long shot. Variasi tipe shot
dan komposisi pengambilan gambar tersebut, berfungsi sebagai penjelas persitiwa
dan fakta secara runtun sesuai dengan narasi ataupun voice over dari
wawancara.
Once the master shot has
been achieved in traditional tripod coverage, the camera will be moved in, or
lenses changed, to get medium shots, close shots, overshoulder shots, and so
on. Each will count as a new setup, and each will get a new setup number, with
each attempt being slated as a new take.
Teknis
pencahayaan disesuaikan dengan keperluan dan keadaan, karena ingin mendapatkan
dan menampilkan gambar yang natural. Dasar pembuatan program dokumenter ini
mempresentasikan realita berupa perekaman apa adanya. Perwujudan untuk gaya
ekposisi (expository) Voice of God, dalam dokumenter ini
menggunakan seorang Dalang sebagai narator yang memainkan tokoh Punakawan
(Semar). Pemilihan tokoh Semar sebagai pemapar, karena Semar merupakan sesepuh dan
panutan yang ada dalam pewayangan. Semar adalah pengasuh dan penasihat dari
anak-anak dan tuannya (bendoro). Semar identik dengan
sifatnya yang ngemong (pengasuh yang baik), sabar, dan bijaksana. Selain
itu di dalam pewayangan suara Semar dianggap seperti suara Tuhan, artinya
sesuai dengan konsep dokumenter ini yang menggunakan gaya expository.
Proses pascaproduksi di meja editing menggunakan teknik editing kompilasi
yang memungkinkan banyak teknik kamera dapat dilakukan, seperti panning,
tilt up/down dan zoom in/out pada gambar mati, seperti foto
dokumentasi pementasan, foto kenangan masa kecil Joko, stock shot Candi
Prambanan, stock shot kegiatan Joko, dan lain sebagainya.
Untuk memperoleh shot-shot tunggal tersebut dilakukan dekupase
atau pemilihan dan pemotongan gambar yang telah dipilih dari stock shot
yang ada. Pemilihan insert juga tidak bisa lepas dari informasi yang
didapat pada proses wawancara dengan narasumber. Insert gambar yang
ditampilkan untuk mendukung informasi dari narasumber. Transisi yang digunakan
adalah cutting dan dissolve, transisi ini dirasa sangat dinamis
dan efektif untuk penggabungan gambar agar menjadi suatu satuan cerita utuh. Berbagai
kemungkinan tersebut dioptimalkan dengan memberikan tambahan musik ilustrasi
yang dinamis, sehingga dapat disesuaikan dengan pergerakan gambar.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.Kesimpulan
Dokumenter
“Di Balik Sosok Hanoman dalam Sendratari Ramayana Prambanan” ini
menitikberatkan pembahasan pada sosok Joko Pamungkas yang berada di balik
kostum Hanoman dalam sendratari Ramayana Prambanan. Joko yang mempunyai
loyalitas begitu besar terhadap kesenian terutama seni tari, maka sangatlah
pantas diketahui dan dihargai semua pengorbanannya untuk melestarikan seni
tradisi tanpa mementingkan nilai nominal materi yang akan didapat dari
berkesenian.
5.2.Saran
Kepekaan terhadap
lingkungan sekitar sangat diperlukan untuk membuat sebuah karya dokumenter.
Pencarian dan pengembangan sebuah ide dokumenter berangkat dari pengamatan
kejadian sehari-hari yang ada dilingkungan, berawal dari pengamatan kemudian
diolah menjadi sebuah program dokumenter. Pendokumentasian suatu objek, event,
atau elemen kehidupan yang terjadi dan mungkin tidak selalu aktual. Terkadang tema dari sebuah dokumenter bermula
dari peristiwa yang tidak aktual dan bahkan menjadi aktual setelah peristiwa
itu direpresentasikan dalam bentuk dokumenter, seperti pada dokumenter “Di
Balik Sosok Hanoman dalam Sendratari Ramayana Prambanan” ini..
Bebarapa hal yang
bisa disarankan untuk siapa saja yang ingin mencoba untuk membuat sebuah
produksi program dokumenter televisi antara lain:
·
Pemahaman
tentang ide dan gagasan yang akan dipilih sebagai tema dipelajari sebaik
mungkin untuk memudahkan sutradara membuat alur cerita dan konsep
penyutradaraan.
·
Sebaiknya
mencari dan mempelajari referensi beberapa struktur bentuk cerita dan berbagai
gaya pengemasan program dokumenter. Hal
ini dimaksudkan untuk membuat ciri khas pada dokumenter yang akan di produksi untuk
memberikan nilai pendidikan, komersil, dan hiburan.
·
Selektif
dalam mencari dan menentukan narasumber yang kompeten dalam tema dokumenter
yang diangkat, untuk memudahkan dalam menggali semua informasi yang dibutuhkan
sebagai pendukung fakta dari dokumenter.
·
Pada
saat syuting dilakukan pengarahan terlebih dahulu kepada seluruh talent
dan crew yang terlibat.
·
Peralatan
teknis yang digunakan sebaiknya dipersiapkan jauh-jauh hari agar pada saat
pelaksanaan syuting tidak terbengkalai