Sunday, August 12, 2012

part 1 "Dokumenter gaya Expository"


Penerapan Gaya Expository dalam Program Dokumenter Televisi
”Di Balik Sosok Hanoman dalam Sendratari Ramayana Prambanan”


Oleh
Sigit Surahman







ABSTRAK

Karya Seni Dokumenter Program Televisi ini mengemas profil sosok di Balik Hanoman dalam Sendratari Ramayana Prambanan. Program dokumenter profil ini mencoba mengungkap dan mencari tahu seberapa besar loyalitas seorang seniman tari/penari Hanoman yaitu Joko Pamungkas.
            Karya dokumenter profil memasukkan opini-opini dari orang-orang terdekat yang tahu betul tentang Joko Pamungkas sosok dibalik penari Hanoman yang sejak kecil telah mendedikasikan hidupnya untuk seni. Dalam penciptaan karya seni ini menerapkan pendekatan Gaya Expository yaitu gaya dokumenter yang bertujuan memaparkan fakta secara berulang-ulang oleh narator untuk mempengaruhi penonton.
            Hasil karya seni ini menujukkan bahwa fakta-fakta mengungkapkan sosok Joko Pamungkas memang mempunyai loyalitas dan dedikasi yang besar untuk mempertahankan dan mengenalkan seni tradisi kepada generasi muda. Nilai-nilai humanis sangat terlihat dari cara pembelajaran yang diberikan oleh Joko Pamungkas.


Key Word : Dokumenter Profil, Expository, Hanoman Sendratari Ramayana







ABSTRACT

Television Documentary Art Program is to package the profile behind the figure of Hanuman in the Ramayana Prambanan. The program is trying to uncover documentary profiles and find out how much loyalty a dance artist / dancer Hanuman is Joko Pamungkas.
Profile documentaries include the opinions of the people closest to who knew about the person behind Joko Pamungkas Hanuman dancers who since childhood has dedicated his life to art. In the creation of this artwork style Expository approach is the documentary style that aims to expose the facts over and over again by the narrator to the audience.
The results of this work of art shows that the facts disclose a figure Joko Pamungkas did have a great loyalty and dedication to preserve and introduce traditional arts to the younger generation. Humanist values ​​are very visible in the way of learning provided by Joko Pamungkas.

Key Word: Documentary Profile, Expository, Hanuman Ramayana



1.      PENDAHULUAN
Televisi adalah sebuah pengalaman yang kita terima begitu saja. Kendati demikian, televisi juga merupakan sesuatu yang membentuk cara berpikir kita tentang dunia. Dewasa ini televisi telah menjadi salah satu bentuk media komunikasi sosial yang populer dan berkembang luas di masyarakat.  Terutama dalam masyarakat industri maju, situasi nyaris sangat universal hampir setiap rumah memiliki lebih dari satu pesawat televisi.
Kepemilikan dan kehadiran televisi di masyarakat telah mendorong untuk melihat posisi televisi dalam perubahan sosial dan kultur budaya yang begitu pesat. Hal tersebut menjadikan televisi tidak hanya sebagai media hiburan semata. Televisi juga mempunyai konsekuensi-konsekuensi untuk menghadirkan siaran berita, pendidikan, kebudayaan, dan sosial yang mempunyai peran penting kehadirannya dalam kehidupan keluarga.
Pada prinsipnya, penyelenggaraan siaran di stasiun televisi terbagi menjadi dua ketegori, yakni karya artistik dan karya jurnalistik. Siaran karya artistik merupakan produksi acara televisi yang menekankan pada aspek artistik dan estetik, sehingga unsur keindahan menjadi unggulan dan daya tarik acara ini. Sedangkan karya jurnalistik merupakan produksi acara televisi yang mengutamakan kecepatan penyampaian informasi, mengedepankan realitas atau peristiwa yang terjadi. Berita adalah segmen programming yang diwajibkan. Berita selaras dengan kemutakhiran (cutting edge) teknologi baru karena bisa mengakses suara dan gambar segera dari penjuru dunia, tentu saja ini merupakan fenomena budaya.
Deddy Iskandar Muda menuliskan bahwa program dokumenter merupakan salah satu bagian dari karya jurnalistik. Program dokumenter adalah sebuah program yang berkaitan langsung dengan suatu fakta yang berusaha untuk menyampaikan kenyataan dan bukan sebuah kenyataan yang direkayasa. Program atau film-film seperti ini peduli terhadap perilaku masyarakat, suatu tempat atau suatu aktivitas.
Dokumenter memiliki cakupan yang sangat kompleks tentang representasi sebagaimana observasi kesenian, ada respon, dan dikombinasikan dengan seni untuk memberikan argumentasi. Pemirsa televisi dapat menerima ketika menonton tayangan dokumenter sebagai kenyataan baru yang kompleks, bahkan bercampur dengan kenyataan sejarah dan sedikit adanya pengembangan kreatifitas yang telah dikonstruksi oleh sutradara untuk memberikan daya tarik.
Format program dokumenter juga memiliki bentuk penyajian yang bertujuan menekankan sebuah objek atau permasalahan yang ingin disajikan, sehingga fokus alur cerita mudah dipahami oleh penonton. Sebuah program dokumenter secara tidak langsung dipengaruhi oleh pembuatnya, artinya point of view berperan besar dalam pemaparan permasalahan yang dikemas dalam bentuk dokumenter.
Dokumenter ini akan diperkuat dengan menggunakan pendekatan gaya Expository (pemaparan) karena ingin menampilkan pesan kepada penonton secara langsung  dalam bentuk narasi. Dokumenter gaya ini seperti merangkai potongan-potongan sejarah menjadi lebih retoris. Dokumenter expository dapat berupa argumen, atau menceritakan sejarah, dokumenter ini mengadopsi narator sebagai suara Tuhan (Voive of God)  suara narator bisa berupa komentar-komentar atau kesimpulan.
This mode assembles fragments of the historical world into a more rhetorical or argumentative frame than an aesthetic or poetic one.The expository mode addresses the viewer directly, with titles or voices that propose a perspective, advance an argument, or recount history. Expository films adopt either a voice-of-God commentary.

Bentuk gaya expository tentunya akan berbicara sebagai orang ketiga memaparkan kepada penonton secara langsung. Penerapan gaya epository ini lebih mudah untuk bisa mempengaruhi pemirsa/penonton sehingga dapat menghadirkan sebuah sudut pandang yang jelas. Penerapan gaya expository ini akan diwujudkan dengan menggunakan Semar sebagai penutur/naratornya, karena Semar merupakan tokoh panutan di dalam cerita pewayangan.
Penayangan yang gencar terhadap materi dokumenter/aktualitas/realis di televisi tidak hanya mendukung pandangan tidak kritis televisi menyediakan potret dunia, melainkan juga memperkuat pandangan kritis bahwa televisi menarik pemirsa ke dalam posisi dan pemahaman budaya tertentu. Dokumenter “Di Balik Sosok Hanoman dalam Sendratari Ramayana Prambanan” ini tidak hanya memiliki nilai budaya, tetapi juga memiliki nilai pendidikan, dan nilai hiburan yang menjual.






2.      OBJEK PENCIPTAAN DAN ANALISIS
Dunia seni merupakan dunia yang sangat tidak terbatas dalam bentuk ekspresi manusia menuangkan semua ide dan konsep pemikiran. Jika dilihat dari sudut cara berkesenian, maka bisa dibagi menjadi dua macam, yaitu seni rupa, kesenian yang bisa dinikmati dengan mata dan seni suara, kesenian yang bisa dinikmati dengan pendengaran (telinga).
Ranah seni rupa pada prakteknya meliputi seni patung, seni relief (termasuk seni ukir), seni lukis, dan seni rias. Seni suara meliputi seni musik vokal, instrumental, dan seni sastra. Lebih khususnya terdiri dari prosa dan puisi. Seni yang meliputi keduanya adalah seni gerak atau seni tari, karena kesenian ini dapat dinikmati dengan mata dan telinga. Akhirnya ada suatu bentuk kesenian yang meliputi keseluruhannya, yaitu seni drama, karena kesenian ini mengandung unsur-unsur seni lukis, rias, musik, sastra, dan seni tari, yang semua diintegrasikan menjadi satu kebulatan. Seni drama bisa bersifat tradisional seperti Wayang Wong (wayang orang) atau bisa bersifat modern dengan teknologi seperti film.

Sendratari Ramayana Prambanan pada tahun 1961 merupakan babak baru bentuk seni pertunjukan Indonesia, yang secara khusus ditunjukan untuk menarik wisatawan. Sendratari Ramayana yang ada di Prambanan memiliki daya tarik yang lebih, karena panggung pertunjukan Sendratari tepat berada di barat Candi Prambanan sekaligus sebagai latar belakang pertunjukan.
Program dokumenter “Di Balik Sosok Hanoman dalam Sendratari Ramayana Prambanan” ini menampilkan seorang seniman tari yaitu Joko Pamungkas, yang sejak kecil telah mendedikasikan hidup dan jiwanya untuk berkesenian dan melestarikan budaya tanpa memikirkan materi yang akan didapat dari itu semua. Joko Pamungkas mulai bergabung dengan Sendratari Ramayana Prambanan sejak usia 9 tahun atau pada tahun 1985 dengan masuk di Sanggar Puri dan Yayasan Roro Jonggrang Prambanan. Di bawah gemblengan gurunya, Pak Suroyo dan Pak Surojo, Joko disiapkan dari kecil untuk memerankan tokoh Hanoman, karena kelincahannya yang mendukung sebagai peran Hanoman. Setelah selama hampir sepuluh tahun Joko Pamungkas ditempa untuk memerankan kera, barulah pada tahun 1995  diperbolehkan dan dirasa mampu untuk memerankan Hanoman dalam pentas di panggung terbuka dalam Sendratari Ramayana Prambanan.

2.1. Sendratari Ramayana Prambanan
Candi Prambanan yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu bentuk peninggalan sejarah purbakala dan memiliki cerita yang khas. Candi Prambanan merupakan candi Hindu terbesar di Indonesia yang berketinggian 47 meter, dibangun pada abad 9. Letaknya berada 17 km arah timur Yogyakarta di tepi jalan raya menuju Solo. Pada dinding pagar langkan candi Siwa dan candi Brahma dipahatkan relief cerita Ramayana. Berawal dari itu maka pada tahun 1960 Menteri Perhubungan Darat, Pos  Telekomunikasi, dan Pariwisata (DPDPTP) Mayjed TNI G.P.H. Djatikusumo memilih Prambanan sebagai tempat pementasan Sendratari Ramayana Prambanan. Peresmian pementasan perdana Sendratari Ramayana Prambanan dilaksanakan pada tanggal 26 Juli 1961 yang dibuka secara gratis tanpa adanya pungutan tiket. Pementasan Sendratari Ramayana Prambanan ini merupakan satu percobaan (good effort) untuk membawa bentuk kesenian Indonesia ketaraf pentas internasional.

2.2. Hanoman
Sosok Hanoman dalam cerita pewayangan adalah tokoh yang memiliki karakter intelijen sejati, kecerdasan, kecerdikan, wawasan yang luas, dan mawas diri. Hanoman terlahir dalam sosok kera putih yang sebenarnya titisan dari Dewa Bayu. Ibunya bernama Dewi Anjani, seorang bidadari yang terkena kutukan, sehingga berubah wujud menjadi wanara (kera). Tidak berlebihan kalau Hanoman ditempatkan sebagai tokoh berkarakter intelijen sejati yang tergambar dalam filosofi wujud, perilaku dan jalan pikirannya. Hanoman tidak digambarkan sebagai kesatria pada umumnya yang bersosok manusia rupawan. Wujudnya sebagai wanara membungkus segala kelebihan yang ada pada dirinya yaitu kebijakan, kepintaran, kecerdikan dan kesaktian.

2.3.Joko Pamungkas
Joko Pamungkas lahir di Desa Gatak, Boko Harjo, sebuah desa kecil di lereng Gunung Boko, Jawa Tengah pada 21 Agustus 1977. Ia mulai bergabung disanggar Puri Prambanan pada tahun 1985. Awal kariernya di Sendratari Ramayana Prambanan adalah memerankan seekor kethèk/kera kecil hingga pada tahun 1995 baru dipercaya untuk memerankan Hanoman. Butuh waktu 10 tahun bagi Joko untuk bisa dan boleh memerankan tokoh Hanoman. Untuk bisa memerankan sosok Hanoman dibutuhkan 9 tahapan tingkatan kera dan itu semua bisa dilalui oleh Joko. Beberapa tahapan tersebut adalah: Tantangan, Adegan Kethèk lakon 1, Adegan Kethèk lakon 2, Mina, Gelar, Jembawan, Anila, Anggada, dan Hanoman.
Joko Pamungkas mengenyam pendidikan seni tari secara formal ketika mulai masuk di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Yogyakarta, lalu melanjutkan pendidikan tingginya di Fakultas Ilmu Pendidikan  Univesitas Negeri Yogyakarta (UNY), dan masuk bergabung di Komunitas Mahasiswa Seni Tradisi (KAMASETRA) yang ada di UNY. Semangat dan dedikasi Joko yang kuat menjadi modal untuk melestarikan budaya/seni tradisi, akhirnya pada tahun 2006 cita-cita Joko Pamungkas untuk membuat sanggar tari terwujud dan diberi nama Komunitas Bayu Badjra. Joko Pamungkas juga memiliki impian untuk mewujudkan dan tetap melestarikan kebudayaan leluhur kesenian tari agar anak cucu generasi selanjutnya bisa dengan bangga membawakan kesenian tari. Regenerasi yang selalu dilakukan secara terus menerus akan sangat mendukung pelestarian budaya khususnya Sendratari Ramayana di Prambanan.

1 comment:


perjalanan