Penerapan Gaya Expository dalam Program Dokumenter
Televisi
”Di Balik Sosok Hanoman dalam Sendratari Ramayana Prambanan”
Oleh
Sigit Surahman
ABSTRAK
Karya Seni Dokumenter Program Televisi ini mengemas profil sosok di
Balik Hanoman dalam Sendratari Ramayana Prambanan. Program dokumenter profil
ini mencoba mengungkap dan mencari tahu seberapa besar loyalitas seorang
seniman tari/penari Hanoman yaitu Joko Pamungkas.
Karya dokumenter profil memasukkan
opini-opini dari orang-orang terdekat yang tahu betul tentang Joko Pamungkas
sosok dibalik penari Hanoman yang sejak kecil telah mendedikasikan hidupnya
untuk seni. Dalam penciptaan karya seni ini menerapkan pendekatan Gaya Expository yaitu gaya
dokumenter yang bertujuan memaparkan fakta secara berulang-ulang oleh narator
untuk mempengaruhi penonton.
Hasil karya seni ini menujukkan
bahwa fakta-fakta mengungkapkan sosok Joko Pamungkas memang mempunyai loyalitas
dan dedikasi yang besar untuk mempertahankan dan mengenalkan seni tradisi
kepada generasi muda. Nilai-nilai humanis sangat terlihat dari cara
pembelajaran yang diberikan oleh Joko Pamungkas.
Key Word : Dokumenter Profil, Expository, Hanoman Sendratari Ramayana
ABSTRACT
Television Documentary Art Program is to package the profile behind
the figure of Hanuman in the Ramayana Prambanan.
The program is trying
to uncover documentary profiles and find out how
much loyalty a dance artist / dancer Hanuman is
Joko Pamungkas.
Profile documentaries include the opinions of
the people closest to who knew about the person behind
Joko Pamungkas Hanuman
dancers who since
childhood has dedicated his life
to art. In the creation of
this artwork style
Expository approach is the documentary style that aims to expose the
facts over and over again by the
narrator to the
audience.
The results of this work
of art shows that the facts
disclose a figure Joko Pamungkas did have
a great loyalty
and dedication to
preserve and introduce
traditional arts to the younger
generation. Humanist values
are very visible in the way of learning provided
by Joko Pamungkas.
Key Word: Documentary Profile, Expository, Hanuman Ramayana
1. PENDAHULUAN
Televisi
adalah sebuah pengalaman yang kita terima begitu saja. Kendati demikian,
televisi juga merupakan sesuatu yang membentuk cara berpikir kita tentang
dunia. Dewasa ini televisi telah menjadi salah
satu bentuk media komunikasi sosial yang populer dan berkembang luas di
masyarakat. Terutama dalam masyarakat
industri maju, situasi nyaris sangat universal hampir setiap rumah
memiliki lebih dari satu pesawat televisi.
Kepemilikan
dan kehadiran televisi di masyarakat telah mendorong untuk melihat posisi
televisi dalam perubahan sosial dan kultur budaya yang begitu pesat. Hal
tersebut menjadikan televisi tidak hanya sebagai media hiburan semata. Televisi
juga mempunyai konsekuensi-konsekuensi untuk menghadirkan siaran berita, pendidikan,
kebudayaan, dan sosial yang mempunyai peran penting kehadirannya dalam
kehidupan keluarga.
Pada
prinsipnya, penyelenggaraan siaran di stasiun televisi terbagi menjadi dua
ketegori, yakni karya artistik dan karya jurnalistik. Siaran karya artistik
merupakan produksi acara televisi yang menekankan pada aspek artistik dan
estetik, sehingga unsur keindahan menjadi unggulan dan daya tarik acara ini.
Sedangkan karya jurnalistik merupakan produksi acara televisi yang mengutamakan
kecepatan penyampaian informasi, mengedepankan realitas atau peristiwa yang
terjadi. Berita adalah segmen programming
yang diwajibkan. Berita selaras dengan kemutakhiran (cutting edge) teknologi
baru karena bisa mengakses suara dan gambar segera dari penjuru dunia, tentu saja ini merupakan fenomena budaya.
Deddy
Iskandar Muda menuliskan bahwa program dokumenter merupakan salah satu bagian
dari karya jurnalistik. Program dokumenter adalah sebuah program yang berkaitan
langsung dengan suatu fakta yang berusaha untuk menyampaikan kenyataan dan
bukan sebuah kenyataan yang direkayasa. Program atau film-film seperti ini
peduli terhadap perilaku masyarakat, suatu tempat atau suatu aktivitas.
Dokumenter
memiliki cakupan yang sangat kompleks tentang representasi sebagaimana
observasi kesenian, ada respon, dan dikombinasikan dengan seni untuk memberikan
argumentasi. Pemirsa televisi dapat menerima ketika menonton tayangan
dokumenter sebagai kenyataan baru yang kompleks, bahkan bercampur dengan
kenyataan sejarah dan sedikit adanya pengembangan kreatifitas yang telah dikonstruksi
oleh sutradara untuk memberikan daya tarik.
Format program dokumenter juga memiliki bentuk penyajian yang bertujuan menekankan sebuah objek atau permasalahan
yang ingin disajikan, sehingga fokus alur cerita mudah dipahami oleh penonton. Sebuah program dokumenter secara tidak langsung dipengaruhi oleh pembuatnya, artinya point of view berperan besar dalam pemaparan
permasalahan yang dikemas dalam
bentuk dokumenter.
Dokumenter
ini akan diperkuat dengan menggunakan pendekatan gaya Expository (pemaparan)
karena ingin menampilkan pesan kepada penonton secara langsung dalam bentuk narasi. Dokumenter gaya ini seperti merangkai
potongan-potongan sejarah menjadi lebih retoris. Dokumenter expository dapat
berupa argumen, atau menceritakan sejarah, dokumenter ini mengadopsi narator
sebagai suara Tuhan (Voive of God) suara narator bisa berupa komentar-komentar
atau kesimpulan.
This mode assembles fragments of
the historical world into a more rhetorical or argumentative frame than an
aesthetic or poetic one.The expository mode addresses the viewer directly, with
titles or voices that propose a perspective, advance an argument, or recount
history. Expository films adopt either a voice-of-God commentary.
Bentuk gaya expository
tentunya akan berbicara sebagai orang ketiga memaparkan kepada penonton secara
langsung. Penerapan gaya epository ini lebih mudah untuk bisa mempengaruhi
pemirsa/penonton sehingga dapat menghadirkan sebuah sudut pandang yang jelas. Penerapan
gaya expository ini akan diwujudkan dengan menggunakan Semar sebagai
penutur/naratornya, karena Semar
merupakan tokoh panutan di dalam cerita pewayangan.
Penayangan
yang gencar terhadap materi dokumenter/aktualitas/realis di televisi tidak
hanya mendukung pandangan tidak kritis televisi menyediakan potret dunia,
melainkan juga memperkuat pandangan kritis bahwa televisi menarik pemirsa ke
dalam posisi dan pemahaman budaya tertentu. Dokumenter “Di Balik Sosok Hanoman dalam Sendratari Ramayana Prambanan”
ini tidak hanya memiliki nilai budaya, tetapi juga memiliki nilai pendidikan,
dan nilai hiburan yang menjual.
2. OBJEK PENCIPTAAN DAN ANALISIS
Dunia seni
merupakan dunia yang sangat tidak terbatas dalam bentuk ekspresi manusia
menuangkan semua ide dan konsep pemikiran. Jika dilihat dari sudut cara
berkesenian, maka bisa dibagi menjadi dua macam, yaitu seni rupa, kesenian yang
bisa dinikmati dengan mata dan seni suara, kesenian yang bisa dinikmati dengan
pendengaran (telinga).
Ranah seni rupa pada prakteknya meliputi seni
patung, seni relief (termasuk seni ukir), seni lukis, dan seni rias. Seni suara
meliputi seni musik vokal, instrumental, dan seni sastra. Lebih khususnya
terdiri dari prosa dan puisi. Seni yang meliputi keduanya adalah seni gerak
atau seni tari, karena kesenian ini dapat dinikmati dengan mata dan telinga.
Akhirnya ada suatu bentuk kesenian yang meliputi keseluruhannya, yaitu seni
drama, karena kesenian ini mengandung unsur-unsur seni lukis, rias, musik,
sastra, dan seni tari, yang semua diintegrasikan menjadi satu kebulatan. Seni
drama bisa bersifat tradisional seperti Wayang Wong (wayang orang) atau
bisa bersifat modern dengan teknologi seperti film.
Sendratari
Ramayana Prambanan pada tahun 1961 merupakan babak baru bentuk seni pertunjukan
Indonesia, yang secara khusus ditunjukan untuk menarik wisatawan. Sendratari
Ramayana yang ada di Prambanan memiliki daya tarik yang lebih, karena panggung
pertunjukan Sendratari tepat berada di barat Candi Prambanan sekaligus sebagai
latar belakang pertunjukan.
Program dokumenter
“Di Balik Sosok Hanoman dalam Sendratari Ramayana Prambanan” ini menampilkan
seorang seniman tari yaitu Joko Pamungkas, yang sejak kecil telah
mendedikasikan hidup dan jiwanya untuk berkesenian dan melestarikan budaya
tanpa memikirkan materi yang akan didapat dari itu semua. Joko Pamungkas mulai
bergabung dengan Sendratari Ramayana Prambanan sejak usia 9 tahun atau pada
tahun 1985 dengan masuk di Sanggar Puri dan Yayasan Roro Jonggrang Prambanan.
Di bawah gemblengan gurunya, Pak Suroyo dan Pak Surojo, Joko disiapkan
dari kecil untuk memerankan tokoh Hanoman, karena kelincahannya yang mendukung
sebagai peran Hanoman. Setelah selama hampir sepuluh tahun Joko Pamungkas
ditempa untuk memerankan kera, barulah pada tahun 1995 diperbolehkan dan dirasa mampu untuk memerankan
Hanoman dalam pentas di panggung terbuka dalam Sendratari Ramayana Prambanan.
2.1. Sendratari Ramayana Prambanan
Candi
Prambanan yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu
bentuk peninggalan sejarah purbakala dan memiliki cerita yang khas. Candi Prambanan
merupakan candi Hindu terbesar di Indonesia yang berketinggian 47 meter,
dibangun pada abad 9. Letaknya berada 17 km arah timur Yogyakarta di tepi jalan
raya menuju Solo. Pada dinding pagar langkan candi Siwa dan candi Brahma
dipahatkan relief cerita Ramayana. Berawal dari itu maka pada tahun 1960 Menteri Perhubungan Darat, Pos Telekomunikasi, dan Pariwisata (DPDPTP)
Mayjed TNI G.P.H. Djatikusumo memilih Prambanan sebagai tempat pementasan Sendratari
Ramayana Prambanan. Peresmian pementasan perdana Sendratari Ramayana
Prambanan dilaksanakan pada tanggal 26 Juli 1961 yang dibuka secara gratis
tanpa adanya pungutan tiket. Pementasan Sendratari Ramayana Prambanan ini
merupakan satu percobaan (good effort) untuk membawa bentuk kesenian
Indonesia ketaraf pentas internasional.
2.2. Hanoman
Sosok Hanoman
dalam cerita pewayangan adalah tokoh yang memiliki karakter intelijen sejati, kecerdasan,
kecerdikan, wawasan yang luas, dan mawas diri. Hanoman terlahir dalam sosok
kera putih yang sebenarnya titisan dari Dewa Bayu. Ibunya bernama Dewi Anjani,
seorang bidadari yang terkena kutukan, sehingga berubah wujud menjadi wanara
(kera). Tidak berlebihan kalau Hanoman ditempatkan sebagai tokoh berkarakter
intelijen sejati yang tergambar dalam filosofi wujud, perilaku dan jalan
pikirannya. Hanoman tidak digambarkan sebagai kesatria pada umumnya yang
bersosok manusia rupawan. Wujudnya sebagai wanara membungkus segala
kelebihan yang ada pada dirinya yaitu kebijakan, kepintaran, kecerdikan dan
kesaktian.
2.3.Joko Pamungkas
Joko
Pamungkas lahir di Desa Gatak, Boko Harjo, sebuah desa kecil di lereng Gunung
Boko, Jawa Tengah pada 21 Agustus 1977. Ia mulai bergabung disanggar Puri
Prambanan pada tahun 1985. Awal kariernya di Sendratari Ramayana Prambanan adalah
memerankan seekor kethèk/kera kecil hingga pada tahun 1995 baru
dipercaya untuk memerankan Hanoman. Butuh waktu 10 tahun bagi Joko untuk bisa
dan boleh memerankan tokoh Hanoman. Untuk bisa memerankan sosok Hanoman
dibutuhkan 9 tahapan tingkatan kera dan itu semua bisa dilalui oleh Joko.
Beberapa tahapan tersebut adalah: Tantangan, Adegan Kethèk lakon 1,
Adegan Kethèk lakon 2, Mina, Gelar, Jembawan, Anila, Anggada, dan
Hanoman.
Joko
Pamungkas mengenyam pendidikan seni tari secara formal ketika mulai masuk di
Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Yogyakarta, lalu melanjutkan
pendidikan tingginya di Fakultas Ilmu Pendidikan Univesitas Negeri Yogyakarta (UNY), dan masuk
bergabung di Komunitas Mahasiswa Seni Tradisi (KAMASETRA) yang ada di UNY.
Semangat dan dedikasi Joko yang kuat menjadi modal untuk melestarikan budaya/seni
tradisi, akhirnya pada tahun 2006 cita-cita Joko Pamungkas untuk membuat
sanggar tari terwujud dan diberi nama Komunitas Bayu Badjra. Joko Pamungkas juga
memiliki impian untuk mewujudkan dan tetap melestarikan kebudayaan leluhur
kesenian tari agar anak cucu generasi selanjutnya bisa dengan bangga membawakan
kesenian tari. Regenerasi yang selalu dilakukan secara terus menerus akan
sangat mendukung pelestarian budaya khususnya Sendratari Ramayana di Prambanan.
dokumenter itu ada ap aj jnisny/typeny???
ReplyDeletethx