Sunday, August 12, 2012

part III "Dokumenter gaya Expository"



4.5. Konsep Tata Suara
Berbicara tentang film terkadang suara sering dianggap nomor sekian dan lebih mengutamakan gambar. Sebenarnya ketika membicarakan karya audio-visual, keduanya selalu dimunculkan. Faktor suara juga sama pentingnya untuk menguatkan gambar yang ditampilkan. Dokumenter gaya expository/eksposisi suara dari narator akan manjadi dominan, karena ini narator sebagai penutur tunggal secara keseluruhan dalam dokumenter, artinya narator disebut sebagai voice of God. Narasi sangat penting sebagai benang merah dari statement narasumber  serta penghubung diantara segmen-segmen program, selain itu narasi juga difungsikan sebagai penutur tunggal yang tentunya membutuhkan dukungan visual, stock footage dan statement dari narasumber.
An initial planning stage for the composer is to decide what progression of keys to use through the film, based on the emotional logic of the story itself. Especially when one kind of music takes over as a commentary upon another, the key of the one following must be related so that the transition is not jarring. This is true for all adjacent music sections, not just original scoring. A film may contain popular songs that the participants listen to in their car, and scored music must be appropriate in key. Any sound that is a part of their world is called diegetic sound.

Unsur suara lain yang perlu diperhatikan adalah ilustrasi musik yang nantinya juga turut mendukung dan membalut mood dari keseluruhan kemasan dokumenter ini. Beat yang menyesuaikan alur cerita dokumenter dengan penggunaan alat musik tradisional (gamelan) dan alunan gending Jawa menjadi pengiring disepanjang program, karena sutradara menggunakan musik untuk membalut alur cerita dokumenter dan  mengkondisikan mood penonton agar tidak merasakan bosan.
Following may be the film’s music, which of course the characters do not hear or react to, because this is part of the film’s authorial commentary and addressed to the audience. This is called non-diegetic sound.

4.6. Konsep Editing
Editing pada proses pascaproduksi merupakan finishing  yang sangat penting dalam sebuah produksi audio-visual. Proses editing ini mengacu pada susunan treatment yang sebelumnya telah dibuat oleh sutradara atau penulis naskah berdasarkan riset awal, hal ini dimaksudkan agar alur yang diinginkan terbangun/tersusun sesuai dengan konsep awal. Konsep editing dari dokumenter ini sendiri lebih cenderung menggunakan evidentiary editing yang menyusun dan menghadirkan pemotongan gambar-gambar sebagai pendukung dari argumen-argumen maupun narasi untuk lebih meyakinkan.
Konsep editing evidentiary ini akan didukung dengan teknik editing kompilasi untuk mempermudah penyampaian isi pesannya. Teknik editing ini dirasa cocok diterapkan pada program dokumenter ini, karena teknik editing kompilasi adalah teknik pemotongan-pemotongan gambar yang disusun berdasar editing script dan tidak terikat pada kontinuitas gambar, akan tetapi mendukung narasi dan statement. Teknik editing ini didukung suara yang dihubungkan oleh narasi secara berkesinambungan, narasi merangkum penuturan dan membentuk alur cerita yang sebelumnya hanya punya sedikit kemampuan untuk mempengaruhi pemirsa jika disajikan tanpa penjelasan suara.
They register defeat and prepare for the film’s solution: planned, green belt communities editing evidentiary. Instead of organizing cuts within a scene to present a sense of a single, unified time and space in which we follow the actions of central characters, evidentiary editing organizes cuts within a scene to present the impression of a single, convincing argument supported by a logic. Instead of cutting from one shot of a character approaching a door to a second shot of the same character entering the room on the far side of the door, a more typical documentary film cut would be from a close-up of a bottle of champagne being broken across the bow of ship to a long shot of a ship, perhaps an entirely different ship, being launched into the sea. The two shots may have been made years or continents apart, but they contribute to the representation of a single process rather than the development of an individual character.


4.7. Konsep Teknis
Secara keseluruhan pengambilan gambar dalam dokumenter “Di Balik Sosok Hanoman dalam Sendratari Ramayana Prambanan” ini menggunakan konsep single kamera. Pengambilan stock shot gambar kegiatan dilakukan dengan tripod maupun  tanpa tripod, hal ini lebih mengacu pada kebutuhan stock shot gambar.
In single-system shoots, you still need to log your material as you go by content and timecode (a unique time signature for every frame). Then, using log and high-speed scan, a chosen section can be rapidly located for viewing during production. This is invaluable on location when time spent reviewing tape is often stolen from much-needed rest.

Pada pengambilan gambar saat wawancara, untuk menjaga kestabilan hasil pengambilan gambar akan lebih banyak menggunakan tripod. Komposisi pengambilan stock shot gambar pada waktu latihan, persiapan pementasan, pementasan, kegiatan Joko Pamungkas, dan lain-lain lebih banyak menggunakan variasi tipe shot, seperti medium shot, close up, full shot, dan long shot. Variasi tipe shot dan komposisi pengambilan gambar tersebut, berfungsi sebagai penjelas persitiwa dan fakta secara runtun sesuai dengan narasi ataupun voice over dari wawancara.
Once the master shot has been achieved in traditional tripod coverage, the camera will be moved in, or lenses changed, to get medium shots, close shots, overshoulder shots, and so on. Each will count as a new setup, and each will get a new setup number, with each attempt being slated as a new take.

Teknis pencahayaan disesuaikan dengan keperluan dan keadaan, karena ingin mendapatkan dan menampilkan gambar yang natural. Dasar pembuatan program dokumenter ini mempresentasikan realita berupa perekaman apa adanya. Perwujudan untuk gaya ekposisi (expository) Voice of God, dalam dokumenter ini menggunakan seorang Dalang sebagai narator yang memainkan tokoh Punakawan (Semar). Pemilihan tokoh Semar sebagai pemapar, karena Semar merupakan sesepuh dan panutan yang ada dalam pewayangan. Semar adalah pengasuh dan penasihat dari anak-anak dan tuannya (bendoro). Semar identik dengan sifatnya yang ngemong (pengasuh yang baik), sabar, dan bijaksana. Selain itu di dalam pewayangan suara Semar dianggap seperti suara Tuhan, artinya sesuai dengan konsep dokumenter ini yang menggunakan gaya expository.
Proses pascaproduksi di meja editing menggunakan teknik editing kompilasi yang memungkinkan banyak teknik kamera dapat dilakukan, seperti panning, tilt up/down dan zoom in/out pada gambar mati, seperti foto dokumentasi pementasan, foto kenangan masa kecil Joko, stock shot Candi Prambanan, stock shot kegiatan Joko, dan lain sebagainya.
Untuk memperoleh shot-shot tunggal tersebut dilakukan dekupase atau pemilihan dan pemotongan gambar yang telah dipilih dari stock shot yang ada. Pemilihan insert juga tidak bisa lepas dari informasi yang didapat pada proses wawancara dengan narasumber. Insert gambar yang ditampilkan untuk mendukung informasi dari narasumber. Transisi yang digunakan adalah cutting dan dissolve, transisi ini dirasa sangat dinamis dan efektif untuk penggabungan gambar agar menjadi suatu satuan cerita utuh. Berbagai kemungkinan tersebut dioptimalkan dengan memberikan tambahan musik ilustrasi yang dinamis, sehingga dapat disesuaikan dengan pergerakan gambar.

              5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.Kesimpulan
Dokumenter “Di Balik Sosok Hanoman dalam Sendratari Ramayana Prambanan” ini menitikberatkan pembahasan pada sosok Joko Pamungkas yang berada di balik kostum Hanoman dalam sendratari Ramayana Prambanan. Joko yang mempunyai loyalitas begitu besar terhadap kesenian terutama seni tari, maka sangatlah pantas diketahui dan dihargai semua pengorbanannya untuk melestarikan seni tradisi tanpa mementingkan nilai nominal materi yang akan didapat dari berkesenian.
5.2.Saran
Kepekaan terhadap lingkungan sekitar sangat diperlukan untuk membuat sebuah karya dokumenter. Pencarian dan pengembangan sebuah ide dokumenter berangkat dari pengamatan kejadian sehari-hari yang ada dilingkungan, berawal dari pengamatan kemudian diolah menjadi sebuah program dokumenter. Pendokumentasian suatu objek, event, atau elemen kehidupan yang terjadi dan mungkin tidak selalu aktual.  Terkadang tema dari sebuah dokumenter bermula dari peristiwa yang tidak aktual dan bahkan menjadi aktual setelah peristiwa itu direpresentasikan dalam bentuk dokumenter, seperti pada dokumenter “Di Balik Sosok Hanoman dalam Sendratari Ramayana Prambanan” ini..
Bebarapa hal yang bisa disarankan untuk siapa saja yang ingin mencoba untuk membuat sebuah produksi program dokumenter televisi antara lain:
·         Pemahaman tentang ide dan gagasan yang akan dipilih sebagai tema dipelajari sebaik mungkin untuk memudahkan sutradara membuat alur cerita dan konsep penyutradaraan.
·         Sebaiknya mencari dan mempelajari referensi beberapa struktur bentuk cerita dan berbagai gaya pengemasan program dokumenter.  Hal ini dimaksudkan untuk membuat ciri khas pada dokumenter yang akan di produksi untuk memberikan nilai pendidikan, komersil, dan hiburan.
·         Selektif dalam mencari dan menentukan narasumber yang kompeten dalam tema dokumenter yang diangkat, untuk memudahkan dalam menggali semua informasi yang dibutuhkan sebagai pendukung fakta dari dokumenter.
·         Pada saat syuting dilakukan pengarahan terlebih dahulu kepada seluruh talent dan crew yang terlibat.
·         Peralatan teknis yang digunakan sebaiknya dipersiapkan jauh-jauh hari agar pada saat pelaksanaan syuting tidak terbengkalai

4 comments:

  1. weyy....mantapp mantaappp.. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. makaasih miki.... :)


      klo ada masukan silahkan tulis saja...

      Delete
  2. berbicara dokumenter itu menarik...
    tanya dunk dokumenter ada berapa macem/berapa jenis...selain dokumenter dengan gaya expository?

    thx

    ReplyDelete


perjalanan