2.4. Semar
Semar Badranaya adalah nama tokoh Punakawan paling utama dalam pewayangan Jawa. Tokoh ini
dikisahkan sebagai abdi/pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam
pementasan kisah-kisah Mahabarata dan Ramayana. Tentu
saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita
tersebut yang berbahasa Sansekerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan
pujangga Jawa. Menurut
sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali
ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin,
kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi
Sukuh.
Meskipun
statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata,
sedangkan dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para
Dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Rama ataupun
Sugriwa. Seolah-olah
Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul
yang sedang dikisahkan.
Semar
merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus Dewa. Dalam pewayangan,
Semar selalu bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria. Jadi dalam setiap
pewayangan kesatria asuhan Semar selalu mendengarkan nasihat Semar. Segala
bentuk nasihat Semar merupakan gambaran suara rakyat kecil yang bagaikan suara
Tuhan, maka meskipun Semar berada dalam tataran masyarakat terbawah tetap
menjadi panutan bagi majikannya. Semar menjadi perantara antara Raja dan
rakyatnya, karena Semar berasal dan dekat dengan rakyat.
3. LANDASAN TEORI
3.1. Dokumenter
Dokumenter
dibuat berdasarkan tema tertentu, sehingga dokumenter itu pada dasarnya dibuat
untuk menjawab masalah tertentu yang ada dalam pikiran pembuatnya. Selain itu
dokumenter juga menggambarkan sudut pandang atau perspektif pembuatnya terhadap
suatu realitas. Sebagian fakta dalam program dokumenter cukup diketahui dalam
garis besar, yang penting adalah inti cerita atau pesan bisa tersampaikan,
namun ada pula fakta yang memerlukan perhatian lebih cermat dan mendetail.
Program
dokumenter dapat dipandang sebagai suatu bentuk laporan hasil investigasi atas
suatu kejadian atau peristiwa, baik berkaitan dengan bidang sejarah maupun
kebudayaan. Perkembangan film dokumenter dalam hal bentuk dan pendekatan tentu
berkaitan dengan perkembangan media audio-visual dan industri film saat
ini.
3.2. Dokumenter Gaya Expository
Dokumenter
gaya ini adalah cara pemaparan tipe eksposisi (expository documentary)
yang terhitung konvensional, umumnya merupakan tipe format dokumenter televisi
yang menggunakan narator sebagai penutur tunggal. Karena itu, narasi atau
narator di sini disebut sebagai voice of God, karena subjektivitas
narator.
This mode assembles fragments of
the historical world into a more rhetorical or argumentative frame than an
aesthetic or poetic one.The expository mode addresses the viewer directly, with
titles or voices that propose a perspective, advance an argument, or recount
history. Expository films adopt either a voice-of-God commentary.
Dokumenter
gaya expository ini narator cenderung memberikan komentar atau
kesimpulan terhadap apa yang sedang terjadi dalam adegan. Itu sebabnya, narator
menjadi point of view dari dokumenter gaya expository. Oleh karena itu gambar disusun sebagai
penunjang dari argumentasi atau yang disampaikan oleh narasumber dan narator.
3.3. Penyutradaraan
Dokumenter
termasuk dalam program acara televisi nondrama (nonfiksi). Dalam sebuah
program dokumenter yang merupakan paduan seni yang dihasilkan sebagai perpaduan
dari kecakapan, kemampuan, dan bakat sejumlah orang. Pada dasarnya dalam proses
pembuatan suatu program acara televisi merupakan kerja kolektif yang melibatkan
banyak orang dengan kemampuan masing-masing yang berbeda sesuai bidang
keahliannya. Bidang tersebut diantaranya meliputi: penyutradaraan, penata kamera,
penata cahaya, penata artistik, dan penyunting gambar. Semuanya disatukan dalam
sebuah tim produksi (team work) yang dipimpin oleh seorang sutradara
atau pengarah acara.
Perencanaan
dasar melalui riset yang matang untuk menentukan tema dari pembuatan sebuah
program acara dokumenter televisi akan menjadi landasan kreativitas sutradara
dalam pembuatan desain produksi dan akan menentukan tujuan serta target pemirsa
acara dokumenter televisi.
Sutradara televisi adalah seseorang yang
menyutradarai program acara televisi yang terlibat dalam proses kreatif dari
Praproduksi hingga Pascaproduksi, baik untuk drama (fiksi) nondrama (nonfiksi)
dengan lokasi di studio (In-Door) maupun non studio (Out-Door),
baik menggunakan single kamera ataupun multi kamera.
3.4. Human Interest
Dokumenter “Di
Balik Sosok Hanoman dalam Sendratari Ramayana Prambanan” ini adalah bentuk
dokumenter profil atau biografi. Objek penciptaan dari dokumenter ini adalah
manusia yang menarik jika diamati dari segi human interst. Human
interest merupakan kisah-kisah yang dapat membangkitkan emosi manusia
seperti unik, lucu, sedih, dramatis, aneh, ironis, dan sangat menarik, sementara
isi tuturan bisa merupakan kritik, penghormatan, atau simpati.
Deddy Iskandar
Muda menyimpulkan bahwa berita human interst di televisi memiliki daya
tarik yang lebih tinggi jika dibanding media cetak. Pada televisi berita human
interst akan dilengkapi dengan objek asli secara visual dan bukan
imajinatif, suara asli objek jika mereka makhluk hidup serta dapat diberikan
ilustrasi musik yang akan memberikan daya tarik ekstra.
Karya ini tidak
hanya memiliki nilai hiburan dan edukasi untuk pemirsanya, tetapi juga
memiliki nilai humanis yang kuat, terlihat pada bentuk penghargaan
terhadap loyalitas seorang seniman tari Indonesia pada umumnya dan seniman tari
Yogyakarta khususnya di Prambanan.
3 4. Konsep Karya
4.1.
Konsep Estetik
Program
dokumenter “Di Balik Sosok Hanoman dalam
Sendratari Ramayana Prambanan” menitikberatkan pembicaraan tentang pemeran
Hanoman dalam Sendratari Ramayana Prambanan yaitu Joko Pamungkas. Program
dokumenter ini menyoroti apa yang telah
dilakukan dan dihasilkan oleh Joko Pamungkas dalam aktivitas seni, komunitas,
di lingkungan masyarakat, dan keluarga.
Melalui
dedikasi, komunitas, dan karya yang dihasilkannya, Joko ingin lebih menegaskan
seni tari itu milik semua orang tanpa ada pembatasan latar belakang ekonomi dan
pendidikan. Salah satunya bisa dilihat dari kebanyakan anggota komunitas Bayu
Badjra berasal dari berbagai latar belakang pendidikan non seni, karena memang
hampir semua komunitas yang ada di Prambanan beranggotakan penduduk sekitar
Prambanan sebagai penari maupun pengrawitnya. Proses regenerasi penari
dan pengrawit menjadi sebuah nilai utama. Melihat dedikasi, kecintaan, semangat, karya-karya,
dan penghargaan yang diperoleh Joko, maka sangatlah pantas untuk menjadikan
Joko sebagai objek penciptaan ke dalam bentuk karya dokumenter profil.
Pengemasan
yang dilakukan dalam dokumenter “Di Balik Sosok Hanoman dalam Sendratari
Ramayana Prambanan” ini menggunakan gaya expository, yaitu
narator sebagai penutur tunggal. Dokumenter ini akan mengemas gaya expository
dengan menggunakan Semar sebagai penutur keseluruhan alur cerita dokumenter.
Penggunaan tokoh Semar sebagai penutur yang seolah-olah bercerita langsung
kepada pemirsanya diharapkan dokumenter ini akan lebih mudah, karena Semar
sangat familiar dikalangan masyarakat Indonesia, khususnya Yogyakarta.
4.2.Konsep penyutradaraan
Mengawali
dengan sebuah riset untuk mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai objek
permasalahan yang akan diangkat dalam sebuah dokumenter mutlak untuk dilakukan
sebelum sutradara dan tim produksi melakukan pengambilan gambar di lapangan.
Riset dilakukan untuk mengumpulkan data, menemukan fakta, dan informasi melalui
observasi di lapangan, sehingga sutradara bisa menentukan objeknya layak untuk
dikemas dalam dokumenter.
Sebuah
program dokumenter tidak bisa lepas dari beberapa aspek penting, seperti
gambar, suara, serta pengemasan yang menarik, karena semua program audio
visual tidak bisa terlepas dari hal tersebut. Mengingat hal itu seorang
sutradara dituntut harus kreatif dalam mengemas dan menyajikan sebuah program
dokumenter televisi, sehingga dapat menarik perhatian penonton. Gagasan/ide,
kreativitas, dan subyektifitas dari sutradara sangat berpengaruh mulai dari
praproduksi hingga pascaproduksi.
The director is responsible for nothing less than the quality and
meaning of the final film. He or she must conduct or supervise research, decide
on content, assemble a crew, schedule shooting, lead the crew, and direct
participants during shooting. Then he or she supervises the editing and
finalization of the project. Because funds are always a problem, the film
frequently has no producer, so the director must also assemble funding before
shooting and hustle distribution afterward.
Statement yang didapatkan dari narasumber melalui
wawancara akan dijadikan bahan acuan untuk menyusun kembali alur yang telah
dibuat sebelumnya. Hasil wawancara dengan narasumber selain menjadi acuan saat
menggali informasi pada saat wawancara dengan objek penciptaan, ini juga digunakan sebagai pendukung dari suara narator
yang menuturkan keseluruhan cerita dokumenter.
Pengemasan
gaya expository pada dokumenter ini menggunakan tokoh Wayang Kulit Punakawan
(Semar) gaya Yogyakarta yang dimainkan seorang Dalang sebagai narator, karena
wilayah Prambanan yang letak geografisnya masuk di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kemunculan tokoh Semar sebagai penutur/narator dalam dokumenter ini menjadi
suatu sajian yang unik, karena belum pernah ada yang menyajikan tokoh
pewayangan sebagai narator. Keberadaan tokoh Semar dirasa akan lebih memudahkan
dalam menyampaikan pesan dan alur cerita dokumenter ini, karena Semar akan muncul
dengan seolah-olah sedang bercerita kepada anak-anaknya. Tokoh Semar yang
memang sudah sangat familiar di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya
masyarakat Jawa dirasa akan bisa menuntun pemirsa untuk mengikuti dan menerima
pesan yang disampaikan dalam program dokumenter ini.
4.3.Konsep Videografi
Dokumenter
ini membahas tentang profil Joko Pamungkas yang loyal kepada profesinya sebagai
seniman tari dan pengajar, maka informasi visual banyak memperlihatkan
aktifitas keseharian Joko saat latihan tari, saat persiapan pentas, saat
pentas, hingga saat Joko mengajar. Artinya visual dari profil objek dan
subjek yang ditampilkan benar-benar bisa membantu pemaparan dari narator dengan
tampilan stock shot video ataupun gambar diam yang berupa foto yang
digerakkan/motion graphic, untuk memaksimalkan pencapaian konsep gaya expository.
Sebuah dokumenter tentunya menyajikan gambar yang
nyata sesuai dengan keadaan di lapangan. Karya ini akan ditampilkan dengan visual
yang lebih natural seperti mata telanjang melihat. Pencahayaan untuk
pengambilan gambar, baik footage ataupun statement ketika di
dalam ruangan memanfaatkan cahaya yang ada di ruangan itu dan menambahkan fill
light jika di perlukan cahaya tambahan.
An interior lit by daylight has bright highlight areas and impossibly
dark shadow areas. (Problem: contrast ratio of key to fill light is too high.
Solution: boost shadow area lighting.)
Frontal lighting setups have the key light close to the
camera-to-subject axis so that shadows are thrown backward out of the camera’s
view. You can see a small shadow from the blouse collar on the subject’s neck.
4.4. Konsep Tata Artistik
Produksi
program dokumenter yang hampir semua lebih banyak menghabiskan waktu dan
bekerja di lapangan (on location) sangat kecil kemungkinan dan hampir
tidak mungkin untuk melakukan setting sebelumnya. Mengingat dokumenter
ini sudah memiliki setting yang bagus, maka tidak perlu banyak melakukan
setting artistik, karena gambar-gambar yang dihasilkan sudah tampak
begitu artistik. Itulah yang membuat dokumenter ini tidak memerlukan setting
khusus untuk penggambilan gambar footage, baik saat pementasan in
door maupun out door.
Setting: You can shoot interviews
in almost any surroundings, but you must consider Setting: the likely effect on the
interviewee. In settings such as home, workplace, or home of a friend, the interviewee is more at ease and
will give more intimate and
individual responses.
keren
ReplyDelete