Sunday, August 12, 2012

part II "Dokumentar gaya Expository"



2.4. Semar
 Semar Badranaya adalah nama tokoh Punakawan paling utama dalam pewayangan Jawa. Tokoh ini dikisahkan sebagai abdi/pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabarata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa Sansekerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa. Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh.
Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata, sedangkan dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para Dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.
Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus Dewa. Dalam pewayangan, Semar selalu bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria. Jadi dalam setiap pewayangan kesatria asuhan Semar selalu mendengarkan nasihat Semar. Segala bentuk nasihat Semar merupakan gambaran suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka meskipun Semar berada dalam tataran masyarakat terbawah tetap menjadi panutan bagi majikannya. Semar menjadi perantara antara Raja dan rakyatnya, karena Semar berasal dan dekat dengan rakyat.


    3. LANDASAN TEORI
3.1. Dokumenter
Dokumenter dibuat berdasarkan tema tertentu, sehingga dokumenter itu pada dasarnya dibuat untuk menjawab masalah tertentu yang ada dalam pikiran pembuatnya. Selain itu dokumenter juga menggambarkan sudut pandang atau perspektif pembuatnya terhadap suatu realitas. Sebagian fakta dalam program dokumenter cukup diketahui dalam garis besar, yang penting adalah inti cerita atau pesan bisa tersampaikan, namun ada pula fakta yang memerlukan perhatian lebih cermat dan mendetail.
Program dokumenter dapat dipandang sebagai suatu bentuk laporan hasil investigasi atas suatu kejadian atau peristiwa, baik berkaitan dengan bidang sejarah maupun kebudayaan. Perkembangan film dokumenter dalam hal bentuk dan pendekatan tentu berkaitan dengan perkembangan media audio-visual dan industri film saat ini.

      3.2. Dokumenter Gaya Expository
Dokumenter gaya ini adalah cara pemaparan tipe eksposisi (expository documentary) yang terhitung konvensional, umumnya merupakan tipe format dokumenter televisi yang menggunakan narator sebagai penutur tunggal. Karena itu, narasi atau narator di sini disebut sebagai voice of God, karena subjektivitas narator.

This mode assembles fragments of the historical world into a more rhetorical or argumentative frame than an aesthetic or poetic one.The expository mode addresses the viewer directly, with titles or voices that propose a perspective, advance an argument, or recount history. Expository films adopt either a voice-of-God commentary.

Dokumenter gaya expository ini narator cenderung memberikan komentar atau kesimpulan terhadap apa yang sedang terjadi dalam adegan. Itu sebabnya, narator menjadi point of view dari dokumenter gaya expository. Oleh karena itu gambar disusun sebagai penunjang dari argumentasi atau yang disampaikan oleh narasumber  dan narator.

3.3. Penyutradaraan
Dokumenter termasuk dalam program acara televisi nondrama (nonfiksi). Dalam sebuah program dokumenter yang merupakan paduan seni yang dihasilkan sebagai perpaduan dari kecakapan, kemampuan, dan bakat sejumlah orang. Pada dasarnya dalam proses pembuatan suatu program acara televisi merupakan kerja kolektif yang melibatkan banyak orang dengan kemampuan masing-masing yang berbeda sesuai bidang keahliannya. Bidang tersebut diantaranya meliputi: penyutradaraan, penata kamera, penata cahaya, penata artistik, dan penyunting gambar. Semuanya disatukan dalam sebuah tim produksi (team work) yang dipimpin oleh seorang sutradara atau pengarah acara.
Perencanaan dasar melalui riset yang matang untuk menentukan tema dari pembuatan sebuah program acara dokumenter televisi akan menjadi landasan kreativitas sutradara dalam pembuatan desain produksi dan akan menentukan tujuan serta target pemirsa acara dokumenter televisi.
Sutradara televisi adalah seseorang yang menyutradarai program acara televisi yang terlibat dalam proses kreatif dari Praproduksi hingga Pascaproduksi, baik untuk drama (fiksi) nondrama (nonfiksi) dengan lokasi di studio (In-Door) maupun non studio (Out-Door), baik menggunakan single kamera ataupun multi kamera.

3.4. Human Interest
Dokumenter “Di Balik Sosok Hanoman dalam Sendratari Ramayana Prambanan” ini adalah bentuk dokumenter profil atau biografi. Objek penciptaan dari dokumenter ini adalah manusia yang menarik jika diamati dari segi human interst. Human interest merupakan kisah-kisah yang dapat membangkitkan emosi manusia seperti unik, lucu, sedih, dramatis, aneh, ironis, dan sangat menarik, sementara isi tuturan bisa merupakan kritik, penghormatan, atau simpati.
Deddy Iskandar Muda menyimpulkan bahwa berita human interst di televisi memiliki daya tarik yang lebih tinggi jika dibanding media cetak. Pada televisi berita human interst akan dilengkapi dengan objek asli secara visual dan bukan imajinatif, suara asli objek jika mereka makhluk hidup serta dapat diberikan ilustrasi musik yang akan memberikan daya tarik ekstra.
Karya ini tidak hanya memiliki nilai hiburan dan edukasi untuk pemirsanya, tetapi juga memiliki nilai humanis yang kuat, terlihat pada bentuk penghargaan terhadap loyalitas seorang seniman tari Indonesia pada umumnya dan seniman tari Yogyakarta khususnya di Prambanan. 

3           4. Konsep Karya
            4.1. Konsep Estetik
Program dokumenter  “Di Balik Sosok Hanoman dalam Sendratari Ramayana Prambanan” menitikberatkan pembicaraan tentang pemeran Hanoman dalam Sendratari Ramayana Prambanan yaitu Joko Pamungkas. Program dokumenter ini  menyoroti apa yang telah dilakukan dan dihasilkan oleh Joko Pamungkas dalam aktivitas seni, komunitas, di lingkungan masyarakat, dan keluarga.
Melalui dedikasi, komunitas, dan karya yang dihasilkannya, Joko ingin lebih menegaskan seni tari itu milik semua orang tanpa ada pembatasan latar belakang ekonomi dan pendidikan. Salah satunya bisa dilihat dari kebanyakan anggota komunitas Bayu Badjra berasal dari berbagai latar belakang pendidikan non seni, karena memang hampir semua komunitas yang ada di Prambanan beranggotakan penduduk sekitar Prambanan sebagai penari maupun pengrawitnya. Proses regenerasi penari dan pengrawit menjadi sebuah nilai utama.  Melihat dedikasi, kecintaan, semangat, karya-karya, dan penghargaan yang diperoleh Joko, maka sangatlah pantas untuk menjadikan Joko sebagai objek penciptaan ke dalam bentuk karya dokumenter profil.
Pengemasan yang dilakukan dalam dokumenter “Di Balik Sosok Hanoman dalam Sendratari Ramayana Prambanan” ini menggunakan gaya expository, yaitu narator sebagai penutur tunggal. Dokumenter ini akan mengemas gaya expository dengan menggunakan Semar sebagai penutur keseluruhan alur cerita dokumenter. Penggunaan tokoh Semar sebagai penutur yang seolah-olah bercerita langsung kepada pemirsanya diharapkan dokumenter ini akan lebih mudah, karena Semar sangat familiar dikalangan masyarakat Indonesia, khususnya Yogyakarta.

4.2.Konsep penyutradaraan
Mengawali dengan sebuah riset untuk mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai objek permasalahan yang akan diangkat dalam sebuah dokumenter mutlak untuk dilakukan sebelum sutradara dan tim produksi melakukan pengambilan gambar di lapangan. Riset dilakukan untuk mengumpulkan data, menemukan fakta, dan informasi melalui observasi di lapangan, sehingga sutradara bisa menentukan objeknya layak untuk dikemas dalam dokumenter.
Sebuah program dokumenter tidak bisa lepas dari beberapa aspek penting, seperti gambar, suara, serta pengemasan yang menarik, karena semua program audio visual tidak bisa terlepas dari hal tersebut. Mengingat hal itu seorang sutradara dituntut harus kreatif dalam mengemas dan menyajikan sebuah program dokumenter televisi, sehingga dapat menarik perhatian penonton. Gagasan/ide, kreativitas, dan subyektifitas dari sutradara sangat berpengaruh mulai dari praproduksi hingga pascaproduksi.
The director is responsible for nothing less than the quality and meaning of the final film. He or she must conduct or supervise research, decide on content, assemble a crew, schedule shooting, lead the crew, and direct participants during shooting. Then he or she supervises the editing and finalization of the project. Because funds are always a problem, the film frequently has no producer, so the director must also assemble funding before shooting and hustle distribution afterward.

Statement yang didapatkan dari narasumber melalui wawancara akan dijadikan bahan acuan untuk menyusun kembali alur yang telah dibuat sebelumnya. Hasil wawancara dengan narasumber selain menjadi acuan saat menggali informasi pada saat wawancara dengan objek penciptaan, ini juga  digunakan sebagai pendukung dari suara narator yang menuturkan keseluruhan cerita dokumenter.
Pengemasan gaya expository pada dokumenter ini menggunakan tokoh Wayang Kulit Punakawan (Semar) gaya Yogyakarta yang dimainkan seorang Dalang sebagai narator, karena wilayah Prambanan yang letak geografisnya masuk di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kemunculan tokoh Semar sebagai penutur/narator dalam dokumenter ini menjadi suatu sajian yang unik, karena belum pernah ada yang menyajikan tokoh pewayangan sebagai narator. Keberadaan tokoh Semar dirasa akan lebih memudahkan dalam menyampaikan pesan dan alur cerita dokumenter ini, karena Semar akan muncul dengan seolah-olah sedang bercerita kepada anak-anaknya. Tokoh Semar yang memang sudah sangat familiar di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa dirasa akan bisa menuntun pemirsa untuk mengikuti dan menerima pesan yang disampaikan dalam program dokumenter ini.

4.3.Konsep Videografi
Dokumenter ini membahas tentang profil Joko Pamungkas yang loyal kepada profesinya sebagai seniman tari dan pengajar, maka informasi visual banyak memperlihatkan aktifitas keseharian Joko saat latihan tari, saat persiapan pentas, saat pentas, hingga saat Joko mengajar. Artinya visual dari profil objek dan subjek yang ditampilkan benar-benar bisa membantu pemaparan dari narator dengan tampilan stock shot video ataupun gambar diam yang berupa foto yang digerakkan/motion graphic, untuk memaksimalkan pencapaian konsep gaya expository.
            Sebuah dokumenter tentunya menyajikan gambar yang nyata sesuai dengan keadaan di lapangan. Karya ini akan ditampilkan dengan visual yang lebih natural seperti mata telanjang melihat. Pencahayaan untuk pengambilan gambar, baik footage ataupun statement ketika di dalam ruangan memanfaatkan cahaya yang ada di ruangan itu dan menambahkan fill light jika di perlukan cahaya tambahan.
An interior lit by daylight has bright highlight areas and impossibly dark shadow areas. (Problem: contrast ratio of key to fill light is too high. Solution: boost shadow area lighting.)

Frontal lighting setups have the key light close to the camera-to-subject axis so that shadows are thrown backward out of the camera’s view. You can see a small shadow from the blouse collar on the subject’s neck.

4.4. Konsep Tata Artistik
Produksi program dokumenter yang hampir semua lebih banyak menghabiskan waktu dan bekerja di lapangan (on location) sangat kecil kemungkinan dan hampir tidak mungkin untuk melakukan setting sebelumnya. Mengingat dokumenter ini sudah memiliki setting yang bagus, maka tidak perlu banyak melakukan setting artistik, karena gambar-gambar yang dihasilkan sudah tampak begitu artistik. Itulah yang membuat dokumenter ini tidak memerlukan setting khusus untuk penggambilan gambar footage, baik saat pementasan in door maupun out door.
Setting: You can shoot interviews in almost any surroundings, but you must consider Setting: the likely effect on the interviewee. In settings such as home, workplace, or home of a friend, the interviewee is more at ease and will give more intimate and individual responses.

1 comment:


perjalanan